Ragam

Industri Batu Alam yang Lumpuh

PENUTUPAN total tambang galian C di wilayah Majalengka dan Cirebon pasca tragedi longsor di Gunung Kuda melahirkan luka baru, yakni ekonomi kerakyatan yang lumpuh.
Kebijakan yang semestinya menjadi wujud dari tanggung jawab negara terhadap keselamatan, justru melahirkan paradoks: menyelamatkan nyawa dengan membiarkan kehidupan sosial dan ekonomi terpuruk.

Lebih dari 13 ribu tenaga kerja terdampak. Sekitar 75 persen dari 270 pelaku usaha batu alam telah menghentikan operasi.
Ini bukan angka biasa. Di baliknya, ada wajah-wajah buruh yang kini tak lagi memiliki upah, pengrajin yang kehilangan bahan baku, sopir truk yang berhenti mengantar barang, hingga pedagang kecil di sekitar sentra produksi yang omzetnya turun drastis.
Tak berlebihan jika kondisi ini disebut sebagai darurat sosial-ekonomi tingkat lokal.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat tentu tak bisa disalahkan karena berupaya mencegah tragedi serupa terjadi kembali. Namun upaya pencegahan seharusnya bukan berarti mengorbankan sektor produktif tanpa menyediakan transisi atau alternatif yang terukur.
Industri batu alam Cirebon bukan hanya sektor ekonomi, tapi juga bagian dari warisan budaya dan identitas lokal yang telah bertahan lintas generasi. Mematikannya tanpa solusi sama saja dengan mematikan kebanggaan kolektif warga.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu menggeser pendekatan dari represif menjadi restoratif. Regulasi ketat, audit lingkungan, pembinaan terhadap pelaku usaha, hingga perbaikan prosedur perizinan, itulah yang dibutuhkan. Bukan larangan membabi buta yang justru membuka celah bagi praktik tambang ilegal yang lebih berbahaya.

Lebih jauh lagi, Pemprov Jabar harus segera membentuk satuan tugas lintas sektor, melibatkan pelaku usaha, akademisi, pegiat lingkungan, dan aparat penegak hukum untuk menyusun peta jalan pemulihan yang adil.
Karena jika tidak, kita bukan hanya menghadapi kolaps industri, tapi juga krisis sosial yang bisa menjalar menjadi kriminalitas, migrasi tenaga kerja, hingga ledakan angka pengangguran.

Tragedi memang harus menjadi pelajaran. Tapi pelajaran terbaik adalah yang mampu menghindari korban lanjutan. Dan saat ini, korban itu bukan lagi tertimbun tanah, tapi terhimpit oleh kebijakan yang kaku dan abai terhadap nasib mereka yang bekerja dengan tangan dan harapan.
***

Related Articles

Back to top button