Antara Ketertiban dan Perut Rakyat

PENERTIBAN pedagang kaki lima (PKL) di kawasan wisata Batik Trusmi, Jalan Syekh Datul Kahfi, kembali menyingkap persoalan klasik, ketegangan antara ketertiban kota dan kebutuhan hidup rakyat kecil.
Ratusan pedagang yang sebelumnya ditertibkan oleh Satpol PP Kabupaten Cirebon kembali menggelar dagangannya, bukan karena membangkang, tapi karena tak punya pilihan lain.
Langkah penertiban yang dilakukan Satpol PP memang berangkat dari niat menjaga ketertiban umum. Namun, niat baik tanpa pendekatan yang adil dan solutif bisa melahirkan luka sosial.
Seperti yang disampaikan pedagang kecil, Holifah, pembongkaran lapak dilakukan tanpa sosialisasi terlebih dahulu, apalagi solusi jangka pendek berupa relokasi yang layak dan terjangkau.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pasar resmi bukanlah solusi realistis bagi sebagian besar pedagang kecil. Biaya sewa yang tinggi dan lokasi yang kurang strategis justru mematikan peluang usaha mereka.
Maka, ketika pemerintah menekankan pada penertiban tanpa menyiapkan ekosistem alternatif yang ramah bagi pedagang kecil, kebijakan tersebut justru berpotensi menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan.
Satpol PP menyatakan bahwa tindakan ini adalah “titik awal aksi nyata”, dan bahwa mereka akan mengedepankan pendekatan persuasif. Ini patut diapresiasi, namun tetap harus dibarengi oleh komitmen pemerintah daerah untuk benar-benar menghadirkan solusi konkret, bukan sekadar menggugurkan kewajiban prosedural melalui surat teguran dan peringatan.
Pemerintah Kabupaten Cirebon harus menjadikan persoalan ini sebagai cermin, bahwa pembangunan dan penataan kota tak bisa hanya mengutamakan estetika dan keteraturan.
Ia juga harus inklusif, memperhitungkan daya dukung ekonomi warga kecil yang menggantungkan hidup dari aktivitas informal.
Tajuk ini bukan pembelaan buta terhadap praktik berdagang di tempat terlarang, tapi ajakan untuk merumuskan solusi berkeadilan, misalnya penyediaan zona kuliner atau sentra PKL di sekitar kawasan wisata, dengan biaya rendah dan fasilitas dasar memadai.
Bukankah kawasan wisata semestinya bisa bersinergi dengan penghidupan warga? Dalam mengelola kota, pemerintah harus memastikan tidak ada pihak yang merasa “dipinggirkan” dari ruang ekonomi. Penertiban memang perlu, tapi jangan lupakan, perut rakyat juga butuh ditata, bukan digusur.
***