Penutupan Tambang Gunung Kuda

Penutupan Tambang
Gunung Kuda
TRAGEDI longsor di Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, tidak hanya meninggalkan luka mendalam dalam bentuk belasan nyawa yang melayang, tetapi juga menyibak borok lama dalam pengelolaan tambang yang abai terhadap keselamatan dan keberlanjutan lingkungan.
Langkah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang secara tegas menutup permanen tambang Gunung Kuda sekaligus mencabut izinnya, merupakan bentuk ketegasan negara yang selama ini sangat dinantikan.
Namun, langkah itu harus dibaca tidak sebatas sebagai respons terhadap bencana, melainkan sebagai tonggak perubahan arah kebijakan pertambangan di Jawa Barat. Sudah terlalu lama masyarakat hidup dalam bayang-bayang tambang yang legal secara dokumen, namun ilegal secara kemanusiaan.
Gunung Kuda adalah bukti nyata bahwa izin tidak selalu berarti aman, dan bahwa pengawasan selama ini sangat lemah.
Ironisnya, tambang yang dikelola oleh sebuah koperasi berbasis pesantren itu justru mengabaikan prinsip dasar keselamatan kerja.
Peringatan dari Dinas ESDM Provinsi sudah beberapa kali dikeluarkan, namun tidak diindahkan. Ini bukan hanya soal kelalaian teknis, tapi juga tentang kegagalan sistemik dalam menegakkan regulasi.
Di sisi lain, keputusan penutupan tambang ini juga menyisakan persoalan sosial yang tidak kalah besar, hilangnya mata pencaharian bagi sedikitnya 213 kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari aktivitas di Gunung Kuda.
Pemerintah Kabupaten Cirebon tidak boleh sekadar menjadi penonton dalam proses ini. Penutupan tambang harus dibarengi dengan solusi jangka panjang yang konkret, bukan sekadar bantuan sesaat atau janji pelatihan yang tak kunjung nyata.
Sudah saatnya negara hadir bukan hanya saat bencana terjadi, tetapi juga sebelum dan sesudahnya, dalam bentuk pengawasan aktif, transparansi perizinan, dan pendampingan ekonomi yang berkeadilan.
Tragedi ini harus menjadi pelajaran bahwa pembangunan tidak boleh dibayar dengan darah dan air mata rakyat kecil.
Pemkab Cirebon dan Pemprov Jabar harus segera membentuk tim pemulihan sosial-ekonomi, melibatkan dunia usaha, sektor pendidikan, dan lembaga pemberdayaan agar masyarakat yang terdampak tidak sekadar “dikasihani”, melainkan dikuatkan untuk bangkit.
Terutama anak-anak dari para korban, mereka adalah generasi yang harus diselamatkan dari pusaran kemiskinan akibat kehilangan tulang punggung keluarga.
Lebih luas, tragedi Gunung Kuda harus menjadi titik balik, reformasi tata kelola tambang di Jawa Barat dan Indonesia. Jangan lagi ada tambang yang berdiri di atas ancaman kematian, jangan lagi ada kebijakan yang lahir dari ketidaktegasan.
Jika negara ingin dihormati, maka hadirkanlah keberpihakan nyata pada rakyat—bukan hanya saat kamera menyala, tapi juga dalam kerja-kerja sunyi yang berkelanjutan.***