Opini

Pendidikan Militer untuk Siswa Bermasalah

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon

Baru-baru ini, publik dibuat heboh dengan program unik yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi. Mantan Bupati Purwakarta ini dikenal dengan pendekatan nyentriknya itu menempatkan siswa-siswa yang dianggap bermasalah ke dalam pendidikan ala militer. Tujuannya? Mendisiplinkan dan mendandani akhlak mereka. Tapi benarkah itu solusi terbaik?
Terkait program ini, penulis ingin memberikan pandangan dari perspektif hak asasi dan perlindungan anak. Apakah model pendidikan militer selaras dengan prinsip-prinsip perlindungan anak? Atau justru berisiko menimbulkan trauma dan pelanggaran hak?
Kita sepakat bahwa pendidikan harus membentuk karakter. Tapi pendekatan yang digunakan dalam pendidikan juga harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Anak bukanlah miniatur tentara. Mereka bukan makhluk yang bisa diatur hanya dengan baris-berbaris dan hukuman fisik.
Pendidikan militer sering identik dengan kedisiplinan tinggi, struktur hierarkis yang ketat, dan kepatuhan absolut. Dalam konteks tentara, itu logis. Tapi dalam dunia anak-anak yang masih dalam proses tumbuh dan berkembang, pendekatan seperti ini harus dikaji ulang.
Anak-anak yang disebut “nakal” seringkali bukan benar-benar nakal. Mereka mungkin sedang mencari perhatian, melampiaskan emosi, atau bahkan menjadi korban situasi rumah yang tidak ideal. Masalahnya lebih dalam dari sekadar ketidaksopanan di sekolah.
Psikolog anak, Anna Surti Ariani, menyebutkan bahwa perilaku menyimpang pada anak sering kali berakar dari pola asuh yang keliru, trauma masa kecil, hingga kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi. Artinya, kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini hanya dengan cara fisik.
Begitu pula menurut Prof. Suyanto dari Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam penelitiannya tentang kenakalan remaja, ia menegaskan bahwa pendekatan yang penuh empati, komunikasi yang sehat, dan peran guru sebagai pembimbing jauh lebih efektif ketimbang tindakan represif.
Mengirim anak ke pendidikan militer mungkin terlihat solutif secara jangka pendek. Anak tampak lebih tertib. Tapi bagaimana kondisi psikologis mereka setelah itu? Apakah mereka paham alasan mengapa mereka dihukum? Apakah mereka merasa didengar?
Banyak ahli sepakat bahwa anak yang bermasalah butuh dipahami, bukan dimusuhi. Butuh dituntun, bukan ditaklukkan. Mereka butuh ruang untuk mengekspresikan diri dan belajar dari kesalahan, bukan dimasukkan ke dalam sistem yang seragam dan menekan.
Dalam banyak kasus, anak yang terlalu ditekan justru akan memberontak lebih hebat. Bahkan jika tidak langsung terlihat, pemberontakan itu bisa muncul dalam bentuk penurunan motivasi, kecemasan, atau trauma jangka panjang.
Penulis tidak mengatakan bahwa disiplin tidak penting. Tapi cara menanamkan disiplin itu yang perlu ditinjau. Kita bisa belajar dari pendekatan sekolah-sekolah berbasis karakter dan empati, yang justru sukses membentuk siswa berintegritas tanpa kekerasan.
Salah satu contoh adalah Sekolah Alam di berbagai daerah, yang membentuk karakter siswa melalui keterlibatan langsung dalam kegiatan sosial, alam, dan tanggung jawab pribadi. Tanpa hukuman fisik, anak-anak belajar berempati dan mandiri.
Penulis memahami kekhawatiran para orang tua dan guru saat berhadapan dengan siswa yang sulit diatur. Frustrasi itu nyata. Tapi mari kita beralih dari pendekatan menghukum ke pendekatan mendampingi.
Jika program pendidikan militer itu bersifat sukarela, dengan pendekatan psikologis yang memadai, dan pengawasan yang ketat dari ahli anak, maka masih bisa dipertimbangkan. Tapi jika sifatnya memaksa dan tidak ada pendampingan, maka itu harus dikritisi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sendiri pernah menolak tegas bentuk-bentuk pendisiplinan anak yang bersifat militeristik dan represif. Menurut mereka, itu melanggar prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014.
Kita juga perlu bertanya. Apa indikator anak bermasalah dalam program ini? Apakah anak yang sekadar ribut di kelas bisa langsung dikirim ke pendidikan militer? Tanpa standar yang jelas, program ini berpotensi disalahgunakan.
Masa depan anak tidak boleh dipertaruhkan hanya demi kenyamanan jangka pendek. Kita harus melihat lebih jauh, membangun sistem pendidikan yang memanusiakan manusia. Bukan sekadar mengontrol mereka agar tenang di kelas.
Bila kita benar-benar peduli pada masa depan anak-anak ini, maka kita harus menyediakan konselor yang memadai, pelatihan guru dalam psikologi anak, dan wadah-wadah positif untuk ekspresi diri.
Mendidik anak itu butuh cinta, kesabaran, dan pengetahuan. Bukan sekadar komando. Bukan sekadar baris-berbaris. Anak yang merasa dicintai dan dihargai akan lebih mudah diarahkan dibanding anak yang ditekan.
Semoga ke depan, program-program pendidikan untuk anak bermasalah lebih mempertimbangkan aspek psikologis dan hak anak. Karena memperbaiki anak bukan tentang mengubah perilaku di permukaan, tetapi menyentuh luka yang ada di dalam.***

Related Articles

Related Articles

Back to top button