Opini

Aparatur Sipil Negara dan Keugaharian

Oleh: Syarifuddin
Penelaah Teknis Kebijakan pada Bagian Prokopim, Sekretariat Daerah Kota Cirebon

Mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Prasetyo Boeditjahjono (PB) ditangkap atas kasus korupsi pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa di Sumatera Utara. Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan bahwa kasus ini mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 1,1 triliun.
Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) Mahkamah Agung, Zarof Ricar, ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap penanganan kasasi Ronald Tannur. Penyidik Kejagung menemukan uang tunai senilai hampir Rp1 triliun dan emas batangan seberat 51 kilogram di rumah Zarof yang diklaim didapatkan dari bermain perkara di Mahkamah Agung selama 10 tahun.
Kedua kasus ini bukan hanya angka dan nama yang tercatat dalam berkas penyidikan. Mereka adalah refleksi atas sesuatu yang lebih besar dan lebih sistemik. Sebuah pengingat tentang kelamnya sisi keugaharian yang semakin pudar di kalangan aparatur negara. Lebih dari sekedar sebuah pelanggaran hukum, ini adalah sebuah ironi besar tentang apa yang telah terjadi pada moralitas ASN kita.
Keugaharian adalah nilai yang mestinya tidak terpisahkan dari seorang aparatur sipil negara. Keugaharian bukan hanya sekadar gaya hidup sederhana yang bisa disesuaikan dengan selera, tetapi sebuah prinsip yang mengakar dalam sistem nilai bangsa. Keugaharian adalah cermin dari karakter yang merendah, yang tahu diri, dan (idealnya) yang tidak terjebak pada kefanaan hasrat duniawi. Namun, realitas menunjukkan sebaliknya. Saat ini, keugaharian justru menjadi barang langka yang eksistensinya sulit ditemukan.
Apabila kehidupan pejabat justru tidak menonjolkan pelaksanaan tugas yang amanah dan malah lebih menonjolkan kemewahan hidup, maka ada yang salah di sana. Dipertontonkannya mobil mewah, rumah megah, pernikahan yang luar biasa, atau liburan ke luar negeri pada media sosial, tidak dapat dipungkiri, memberikan gambaran yang keliru tentang esensi jabatan publik itu sendiri.
Di zaman dahulu, dalam tradisi budaya kita, ada konsep “prasojo” yang mengajarkan hidup sederhana, apa adanya, tanpa pamer. Prasojo ini bukan hanya soal penampilan, tapi juga soal tindakan. Sebagai ASN, kita dihormati bukan karena kekayaan yang kita miliki, tetapi karena bagaimana kita menjalankan tugas dan fungsi kita dengan penuh integritas. Sayangnya, konsep ini semakin tergerus. Setidaknya kita dapat melihatnya pada dua kasus yang disebutkan di awal tadi; para pejabat itu malah merasa lebih dihargai ketika mereka mampu memamerkan kekayaan, status sosial, dan kemampuan mengangkangi hukum.
Menariknya, pada tahun 2014, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pernah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 yang berisi tentang Gerakan Hidup Sederhana bagi ASN. Isi dari surat edaran tersebut cukup jelas: mengimbau para ASN untuk tidak hidup berlebihan, tidak memamerkan kemewahan, dan menjalani kehidupan yang lebih sederhana. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan citra positif bagi aparatur negara di mata publik dan untuk menghindari praktik-praktik korupsi yang berawal dari gaya hidup hedonistik.
Namun, ada sebuah paradoks yang muncul di balik surat edaran ini. Jika hidup sederhana sudah menjadi nilai luhur yang diajarkan di dalam tradisi dan budaya kita, mengapa kita perlu sebuah surat edaran untuk mengingatkan ASN agar hidup sederhana? Bukankah seharusnya nilai tersebut sudah tertanam dalam diri setiap ASN sebagai bagian dari tanggung jawab moral mereka?
Dengan adanya surat edaran ini, kita justru menyaksikan sebuah kenyataan pahit: keugaharian sudah menjadi sesuatu yang begitu langka dan terlupakan, sehingga perlu diingatkan dengan regulasi formal. Seolah, ada semacam pengakuan bahwa gaya hidup ASN kita sudah jauh dari harapan. Mereka seolah dipaksa untuk diingatkan bahwa hidup yang sederhana bukanlah aib, malah sebaliknya, itu adalah simbol integritas dan kejujuran.
Jika kita terus berbicara tentang penyimpangan ini, kita tidak bisa hanya menyalahkan satu faktor. Bisa jadi, sistem yang ada saat ini memang memberikan celah yang cukup lebar bagi penyimpangan-penyimpangan itu terjadi. Banyak teori yang mungkin saja bisa diungkapkan ihwal tidak akuratnya sistem formal yang berlaku. Namun, ada hal yang lebih mendasar: kita sedang menghadapi kegagalan dalam paradigma memahami makna jabatan publik itu sendiri. Ketika seorang ASN lebih merasa bangga dengan apa yang ia miliki secara materi, daripada apa yang ia berikan untuk masyarakat, maka kita tahu ada yang salah dalam sistem dan cara pandang kita terhadap jabatan publik.
Ketika menjadi ASN lebih dianggap sebagai “kesempatan untuk kaya raya” daripada sebagai kesempatan untuk mengabdi pada negara, maka kita telah kehilangan arah. Pola pikir ini muncul dalam berbagai bentuk. Dari pejabat yang memamerkan kekayaan mereka, hingga praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang jelas-jelas merugikan banyak sendi kehidupan negara. Semua ini adalah bukti bahwa kita sudah salah arah dalam memahami apa itu pengabdian publik.
Keugaharian kini memang tampak seperti jalan yang terpinggirkan, sebuah pilihan yang sering dilupakan di tengah derasnya arus dunia yang mengagungkan kekayaan dan status. Namun, di balik sorotan tajam terhadap korupsi yang semakin marak, seperti yang terjadi pada Mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Prasetyo Boeditjahjono, dan kasus mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Zarof Ricar, kita semakin dikuatkan oleh pentingnya hidup dengan integritas dan kesederhanaan.
Keugaharian bukan sekadar hidup tanpa kemewahan, melainkan kesadaran bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan peluang untuk memperkaya diri. Kasus korupsi ini menunjukkan betapa rentannya integritas seseorang ketika terjerat dalam godaan kekayaan. Bagi ASN, hidup sederhana bukan sekadar pilihan, tetapi cara kita menghormati tugas yang diemban. Dalam setiap langkah kita sebagai pelayan publik, kita diuji untuk mempertahankan integritas, meskipun dunia seolah mengundang kita untuk terjun ke dalam permainan yang lebih besar.
Namun, seperti yang terlihat dalam kedua kasus tersebut, godaan untuk mengorbankan integritas demi kekayaan sangat besar. Kasus-kasus ini seharusnya menjadi cermin bagi kita untuk tetap menjaga keugaharian sebagai landasan hidup. Ketika jabatan publik tidak dijalankan dengan niat yang tulus, malahan menjadi ladang penyalahgunaan, maka negara kita harus menghadapi kerugian yang sangat besar—bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam kehilangan kepercayaan masyarakat.
Konon, menjadi ASN bukan hanya sekadar menjalankan tugas administratif, melainkan panggilan untuk menjaga marwah negara dan citra keadilan. Kasus korupsi yang terjadi di lembaga negara kita mengingatkan kita betapa pentingnya hidup sederhana dan menjaga integritas dalam setiap tindakan. Keugaharian adalah senjata yang kita miliki untuk memastikan bahwa kita tetap setia pada amanah yang diberikan. Hidup sederhana bukan hanya simbol, tetapi tindakan nyata yang menunjukkan bahwa kita tidak terpengaruh oleh godaan kekuasaan, kekayaan, atau popularitas.
Jika kita mampu mempertahankan prinsip hidup sederhana meski dalam godaan yang begitu besar, maka kita tidak hanya menjaga kehormatan diri sendiri, tetapi juga menjaga marwah negara ini. Dalam dunia yang sering terjebak pada nilai material dan angka-angka, keugaharian mengingatkan kita pada nilai yang lebih penting: integritas, kehormatan, dan pengabdian sejati. Ini mungkin jalan sunyi, namun jalan inilah yang membawa kita pada martabat dan harga diri yang sesungguhnya.***

Related Articles

Back to top button