Nrimo Ing Pandum: Refleksi Nilai Pengabdian Dalam Etos Kerja ASN

Syarifuddin
Penelaah Teknis Kebijakan pada Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan, Sekretariat
Daerah Kota Cirebon / Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Terbuka pada Program
Studi Magister Ilmu Administrasi Publik.
Pada tanggal 12 hingga 13 April 2025 yang lalu, saya mengikuti sebuah forum budaya
yang, bagi saya pribadi, bukan sekadar perhelatan akademik, melainkan ruang batin yang
menghadirkan perenungan mendalam. International Symposium on Javanese Culture 2025,
yang digelar oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam rangka Tingalan Jumenengan
Dalem (peringatan kenaikan takhta Sultan Yogyakarta yang diadakan setiap tahun), bukan
hanya mempertemukan para intelektual dan budayawan, tetapi juga membuka ruang-ruang
sunyi yang selama ini mungkin terabaikan dalam kehidupan birokrasi kita.
Tema besar yang diangkat, Aparatur di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,
mengajak kita menengok kembali nilai-nilai pengabdian dalam konteks kerja dan kuasa. Pada
satu sesi yang membekas dalam ingatan saya, Prof. Em. Andre Avellino Hardjana, Ph.D.,
dengan nada tenang dan penuh kedalaman, menyebut satu frasa yang sederhana namun sarat
makna: nrimo ing pandum. Sebuah nilai dasar dari para abdi dalem, yang tidak sekadar
menjadi etos kerja, melainkan menjadi sikap hidup. Di masyarakat awam, nrimo ing
pandumg seringkali dipersempit menjadi pasrah atau menerima nasib begitu saja, namun
sejatinya mengandung makna yang jauh lebih dalam.
Ketulusan yang Tak Menuntut: Dari Keraton ke Kantor Pemerintahan
Dalam lanskap budaya Jawa yang sarat dengan simbol, filosofi, dan tata laku, frasa
nrimo ing pandum berdiri sebagai salah satu nilai inti yang tak lekang oleh waktu.
Sayangnya, dalam realitas kontemporer, makna luhur dari ungkapan ini sering kali dikebiri
oleh pemahaman yang serampangan. Ia dikerdilkan menjadi sekadar pasrah, menyerah tanpa
daya, atau lebih parah lagi, dianggap sebagai bentuk kepasifan yang tak produktif. Padahal,
jika kita mau menelusuri lebih dalam—melampaui definisi verbal dan menembus lapisan-
lapisan maknawi yang dikandungnya—akan kita temui bahwa nrimo ing pandum bukanlah
seruan untuk berhenti bergerak, melainkan ajaran tentang bagaimana kita menghidupi hidup
ini dengan kesadaran penuh dan keikhlasan yang utuh.
Nilai ini tumbuh bukan dari ruang kosong. Ia lahir dari peradaban yang telah berabad-
abad membentuk karakter masyarakatnya untuk senantiasa tangguh dalam senyap, teguh
dalam kesederhanaan, dan tabah tanpa gemuruh. Dalam sistem Kesultanan Yogyakarta, para
abdi dalem menjalani peran mereka bukan dengan ambisi untuk terlihat, melainkan dengan
kerendahan hati untuk hadir. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada pengakuan publik, tidak pula
jaminan imbalan materi yang menjanjikan. Namun dari ketenangan mereka, kita bisa
merasakan energi yang jernih: bahwa pengabdian sejati tidak berakar pada pujian, melainkan
tumbuh dari kesadaran diri akan tanggung jawab yang dipikul.
Para abdi dalem itu bekerja seperti mata air yang tak memaksa dirinya dikenal, namun
terus mengalirkan kehidupan ke sekitarnya. Mereka menjalani tugas, seberapapun kecil dan
tersembunyinya, dengan keikhlasan yang hampir langka di tengah zaman yang menuntut
segalanya serba terlihat. Dari sinilah kita bisa belajar: bahwa nilai nrimo ing pandum tidak
lahir dari ketakberdayaan, melainkan dari kekuatan yang memilih untuk tidak gaduh.
Kini, mari kita coba renungkan: bagaimana jika nilai-nilai ini dibawa masuk ke tubuh
birokrasi kita? Ke dalam ruang-ruang kerja yang penuh perangkat digital, ke dalam sistem
pelaporan berbasis angka, dan ke dalam kultur profesionalisme yang kadang terlalu kaku dan
terjebak pada formalitas. ASN, yang dalam namanya terkandung kata pengabdian,
semestinya bukan hanya menjadi operator regulasi atau pelaksana kebijakan, tetapi juga
penjaga nilai. Jika semangat nrimo ing pandum mampu dihayati oleh mereka, maka
pelayanan publik tidak lagi menjadi rutinitas administratif semata, melainkan transformasi
nilai menjadi tindakan yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dalam praktiknya, kita sering menyaksikan
bagaimana jabatan diburu bukan karena panggilan untuk melayani, melainkan demi
keuntungan pribadi. Layanan publik dikemas menjadi formalitas teknis, sementara esensi dari
pengabdian itu sendiri justru memudar di balik tumpukan target dan dokumen. ASN dipacu
untuk mengejar angka, mengejar pangkat, mengejar tunjangan, tetapi sering lupa bahwa
semua itu hanyalah konsekuensi administratif, bukan tujuan akhir. Di sinilah letak krisisnya,
ketika profesi yang seharusnya menjadi laku spiritual justru berubah menjadi sekadar karier.
Nrimo ing pandum, dalam pengertian yang lebih hakiki, mengajarkan kita untuk tidak
meletakkan kebahagiaan dan martabat pada capaian-capaian eksternal.
Ia bukan anti-
kemajuan, bukan pula alasan untuk menolak profesionalitas. Justru sebaliknya, ia
mengajarkan bahwa etos kerja yang kuat hanya bisa lahir dari jiwa yang lapang dan pikiran
yang jernih. ASN yang mampu menghayati nilai ini tidak akan kehilangan semangat ketika
gagal promosi, tidak akan tawar hati ketika apresiasi tak kunjung datang. Ia akan tetap
bekerja dengan baik, dengan sungguh-sungguh, karena sadar bahwa yang ia lakukan bukan
sekadar kewajiban, tetapi bagian dari laku hidup.
Karena pada akhirnya, yang membuat birokrasi kita bermartabat bukanlah kelengkapan
sistemnya, melainkan kedalaman jiwa dari orang-orang yang menggerakkannya. Dan
mungkin, dari kebudayaan Jawa yang sering dianggap terlalu tradisional untuk zaman ini,
justru kita bisa memetik pelajaran yang paling mutakhir: bahwa mengabdi, dalam bentuknya
yang paling murni, adalah kerja sunyi yang dilakukan dengan sepenuh hati, tanpa mengharap
balasan, tanpa menggantungkan diri pada pujian, dan tanpa kehilangan arah ketika tak dilihat
siapa-siapa.
Birokrasi yang Berjiwa dan Kritik Pemaknaan
Di tengah gegap gempita reformasi birokrasi yang terus digalakkan, dengan jargon-
jargon efisiensi, modernisasi pelayanan, dan optimalisasi kinerja, kita menyaksikan
pergeseran besar dalam cara negara mengelola urusannya. Struktur ASN kini dijejali oleh
logika teknokratis: sistem insentif berbasis angka, evaluasi kuartalan yang ketat, dan
semangat kompetisi yang dibungkus kata “profesionalisme”. Tentu, tak sedikit capaian positif
yang lahir dari sistem ini. Pelayanan publik jadi lebih cepat, akuntabilitas meningkat, dan
wajah birokrasi mulai meninggalkan kesan lamban dan berbelit.
Namun di balik itu semua, kita pun harus jujur mengakui: ada semacam kekeringan yang
tak kasat mata namun nyata terasa. Sebuah kekosongan yang tidak tampak dalam laporan
evaluasi, tapi memantul dalam tatapan mata para ASN yang mulai bekerja seperti robot
(berfungsi, tapi tak lagi hidup). Mereka datang tepat waktu, menyelesaikan tugas sesuai SOP,
mengisi kolom-kolom dalam sistem evaluasi daring, namun hati mereka entah tertinggal di
mana. Yang berjalan adalah sistem, tapi ruh pengabdian mulai tertinggal jauh di belakang.
Di titik inilah kita mesti berhenti sejenak, bukan untuk mengeluh, tapi untuk bertanya:
apa sebenarnya makna melayani? Apakah ia sekadar serangkaian prosedur administratif yang
selesai tepat waktu? Ataukah ada dimensi lain—yang tak bisa diukur oleh indikator apa
pun—yakni keikhlasan, empati, dan ketulusan untuk hadir sepenuhnya bagi mereka yang kita
layani?
Nilai nrimo ing pandum tidak menawarkan solusi teknis, apalagi sistem digital. Ia
mengajarkan cara hidup, cara memaknai kerja, dan cara berdiri di tengah dunia yang serba
cepat tanpa kehilangan arah. Ia bukan ajakan untuk mundur dari perubahan, tetapi pengingat
agar dalam melangkah, kita tidak tercerabut dari akar kemanusiaan kita sendiri. Bahwa
melayani sesama bukanlah tugas, melainkan laku hidup. Bahwa bekerja bukan hanya mencari
hasil, tapi juga membentuk watak.
ASN yang bekerja bukan hanya karena digaji, tapi karena merasa terpanggil, akan selalu
menemukan makna dalam rutinitasnya. Ia tak silau oleh pujian, tak runtuh oleh kritik, dan tak
letih oleh prosedur. Karena dalam dirinya, ada kesadaran bahwa pekerjaannya adalah bagian
dari peran besar untuk menjaga martabat pelayanan publik. Itulah wajah birokrasi yang kita
rindukan: bukan hanya yang cepat dan efisien, tapi juga yang berjiwa. Bukan hanya yang
cerdas dalam menyusun program, tapi juga yang jernih dalam memaknai tugas. Dan untuk
sampai ke titik itu, kita perlu lebih dari sekadar sistem—kita perlu jiwa.
Tentu, saya menyadari bahwa konsep seperti nrimo ing pandum bisa disalahartikan. Ada
kalangan yang mungkin menjadikannya tameng untuk bersikap apatis atau enggan berubah.
Maka, penting untuk menegaskan: nilai ini tidak anti-progres, tidak menolak evaluasi, apalagi
menjadi alasan untuk stagnasi. Justru sebaliknya, ia mengajarkan ketekunan tanpa pamrih,
kesetiaan dalam proses, dan kesanggupan menerima hasil dengan lapang hati—setelah
perjuangan maksimal dilakukan.
Artinya, nrimo bukan pasif, tapi aktif secara batin. Ia bukan tentang menyerah sebelum
berjuang, tapi tentang tidak menggadaikan harga diri demi hasil yang semu. Dalam dunia
ASN yang penuh tekanan, godaan, dan jalan pintas, nilai ini bisa menjadi penyangga moral.
ASN bukan mesin pengisi formulir, melainkan insan yang diharapkan hadir memberi makna
bagi warga yang dilayaninya.
Dengan begitu, kita perlu menempatkan nrimo ing pandum bukan sebagai tameng untuk
kemalasan atau alasan untuk stagnasi, tapi sebagai lensa kebijaksanaan dalam menghadapi
realitas. Dalam konteks ASN, ini berarti menghayati tugas sebagai ladang pengabdian yang
dijalani dengan penuh kesungguhan, bukan sekadar rutinitas mekanis. Nrimo di sini bukan
diam dalam ketidakberdayaan, tapi menerima dengan lapang, lalu melangkah dengan penuh
tanggung jawab dan integritas. Ia adalah bentuk ketundukan batin yang justru mendorong kita
untuk bekerja lebih jernih, lebih tulus, dan lebih berdaya.
Menjadi ASN seharusnya bukan sekadar "menggugurkan kewajiban", tapi hadir sebagai
pribadi yang sadar akan amanah. Mereka tidak hanya menjalankan SOP, tapi juga menjaga
nyala batin pengabdian. Dalam diri ASN mestinya hidup kesadaran bahwa setiap berkas yang
ditandatangani, setiap layanan yang diberikan, dan setiap keputusan yang
diambil—semuanya adalah bagian dari ibadah sosial yang bermuara pada kemaslahatan
bersama. Maka, bekerja bukan lagi sekadar soal target dan laporan, tapi tentang keikhlasan
memberi manfaat tanpa pamrih, tentang menjaga kualitas pelayanan meski tak selalu
mendapat tepuk tangan.
Lebih jauh lagi, ASN bukan sekadar roda dari mesin birokrasi, melainkan ruh dari wajah
negara itu sendiri. Mereka adalah representasi dari hadir atau tidaknya negara di mata rakyat.
Dan karena itu, ASN dituntut untuk tidak hanya disiplin dan terampil, tapi juga cerdas
membaca zaman, responsif terhadap aspirasi masyarakat, serta adaptif terhadap perubahan
sosial, teknologi, dan budaya. Nrimo yang dimaknai secara aktif justru menjadi pondasi
spiritual agar ASN tidak mudah hanyut oleh godaan pragmatisme atau kepentingan sesaat.
Dalam lanskap yang terus berubah, nilai-nilai seperti integritas, empati, dan
profesionalisme bukanlah pilihan, tapi keniscayaan. ASN yang nrimo dengan cara ini akan
mampu menjaga marwah pengabdiannya, tak mudah silau oleh imbalan, tapi juga tidak
jumud terhadap inovasi. Mereka tahu kapan harus bersabar, kapan harus bergerak, dan kapan
harus bersuara. Di sinilah titik temu antara spiritualitas pengabdian dan profesionalitas
birokrasi—sebuah jalan tengah yang bukan saja mulia, tapi juga relevan dan strategis untuk
menghadirkan pelayanan publik yang bermutu dan berkeadilan.
Menemukan Kembali Jiwa Pengabdian
Pada akhirnya, pengalaman dalam simposium itu mengajari saya bahwa budaya sejatinya
tidak bersemayam dalam tumpukan dokumen atau barisan narasi sejarah. Ia tidak tinggal di
lemari arsip atau di balik dinding museum. Budaya hidup dalam tindak tanduk, dalam laku
harian, dalam cara seseorang menempatkan diri terhadap sesama dan terhadap tugasnya. Dan
justru dari ruang yang tampak sunyi dan tertutup seperti keraton, kita bisa menjumpai
pelajaran-pelajaran yang paling jernih: bahwa makna sejati dari pengabdian bukan terletak
pada sorotan, tapi pada orientasi. Bukan pada siapa yang menyaksikan, tapi pada siapa yang
menjadi tujuan pengabdian itu sendiri.
Nrimo ing pandum lalu hadir bukan sebagai ajaran pasif, melainkan sebagai bentuk
kematangan batin—sebuah keikhlasan yang bukan berarti tunduk tanpa daya, tapi berserah
sambil tetap berdaya. Ia mengajarkan ketulusan yang tidak mudah digoyahkan oleh kalkulasi
untung rugi, serta pengabdian yang berjalan tanpa gembar-gembor. Dalam dunia ASN hari
ini, di mana profesionalisme sering diukur dalam angka dan kinerja kerap diburu oleh
tenggat, nilai semacam ini justru menjadi napas yang menyejukkan—penyeimbang antara
efisiensi sistem dan etika kemanusiaan.
Dan mungkin, saya memang perlu terus belajar dari para abdi dalem yang menempatkan
nilai-nilai untuk dijalani, bukan sekadar diceramahkan. Kehidupan mereka yang tampak
pelan ini, justru bisa menjadi cermin bagi birokrasi yang selama ini sering tergesa dan lupa
arah: bahwa bekerja bisa naik kelas menjadi bentuk ibadah, jika dijalani dengan hati yang
jernih.
Dan mungkin pula, dari keraton—yang oleh sebagian orang dianggap tinggal
simbol—kita bisa menyerap ulang makna dasar pelayanan publik: bukan sekadar
menyelesaikan pekerjaan, tapi menyalurkan makna. Bukan sekadar melayani karena
kewajiban, tapi karena kasih dan kesadaran. Di situ, pelayanan tidak berhenti pada prosedur,
tapi menjadi laku yang utuh—senyap tapi sampai, tenang tapi bermakna, sederhana tapi
dalam.**