Opini

Sudahkah Kita Merayakan Hari Kartini dengan Benar?

Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa Jurusan KPI UINSSC

21 April adalah tanggal penting dalam sejarah Indonesia. Di dalamnya ada peristiwa humanis seorang perempuan suku Jawa yang ingin lepas dari feodalisme dan kolonialisme. Sama seperti di Eropa, Negara di Timur Tengah, Yunani Kuno, dan daerah lain memandang wanita dengan sebelah mata. Yunani Kuno tidak menganggap wanita sebagai warga negara, karena dinilai akalnya tidak sepantas laki-laki. Di Roma, beberapa kerajaan yang sudah ada sebelum jadi Negara mendiskriminasi apapun yang berkaitan soal perempuan. Prestasi, kesalahan, atau takdir yang tidak disengaja. Mereka cepat meneriakkan “Penyihir!“ Kemudian membakar mereka di tengah kota. Juga di Hindia Belanda, terlebih khusus adat budaya Jawa yang mengibaratkan tugas wanita hanya di sumur, dapur, dan kasur.
Penulis sengaja tidak menyebutkan gelar kebangsawanan, karena itu adalah bentuk feodalisme. Ia, Kartini, ingin semua orang sejajar dalam kacamata manusia. Tidak ada yang lebih tinggi dan rendah. Berkat ia, mungkin sekarang para wanita bisa ke mana-mana, menyuarakan haknya, memilih pemimpin di negerinya, atau bahkan memutuskan jalan mana yang akan dihadapinya. Tetapi, masih dalam persoalan pendidikan dasar-menengah-atas. Apakah pernah sekolah memberitahu kita, kenapa Kartini melawan, bagaimana keadaan sosial-politik saat itu, yang lebih penting “Bagaimana” kepribadian dari pahlawan emansipasi tersebut? Tentulah tidak semua orang tahu dan mau tahu. Sekarang hari Kartini dinilai seremonial saja, Kartini dirayakan dengan memakai kebaya. Jadi, sudah benarkah kita merefleksikan hari Kartini di zaman ini?
Secara ironis, sebab feodalisme dicampur kolonialisme, Kartini memanggil ibunya yu (panggilan kakak perempuan). Sedangkan Ngasirah (ibu Kartini) memanggil anaknya ndoro (majikan). Bukan tanpa alasan, Ngasirah adalah warga biasa yang dinikahi oleh wedana (camat) bernama RM Adipati Sosroningrat. Jika Ario hendak naik jadi bupati, ia mesti nikah dengan bangsawan, begitu kata Belanda. Maka, Ario menikah lagi dengan RA Woerjan (Maryam), naiklah Ario menjabat bupati Jepara. Sesudah menikah, Ngasirah yang rakyat biasa, yang mana istri pertamanya diperlakukan sesuai feodalisme Jawa, yaitu menjadi selir, karena itu ia memanggil Kartini ndoro. Ngasirah pula tidak diperbolehkan tinggal di pendopo bupati, bersama suami dan anak-anaknya.
Sedikit tumbuh, Kartini menyadari realitas kejam yang menimpanya. Setelah ia lulus sekolah dasar Belanda, Kartini ingin melanjutkan sekolah menengah. Sayang, romonya tidak mengizinkan Kartini ke luar rumah karena harus di-pingit (dikucilkan dari dunia luar) sampai ada lelaki yang meminangnya. Pupus sudah harapan Kartini menggapai cita-cita. Tidak sampai hati, romonya mengizinkan Kartini membaca buku yang dibawa oleh kakaknya Sosrokartono dari HBS. Kartini melumat beberapa buku karya Max Havelaar, Louis Coperus, Berta von Settner. Ia juga menghabiskan masa luangnya berdiskusi dengan Kartono.

Kartini menyukai dunia sastra, ia menulis fiksi tentang perkawinan di Desa Ngawi. Selain menulis, efek dari membaca, Kartini telah sadar ada yang membelenggu hidupnya dari dulu, yaitu feodalisme Jawa. Ia ingin meruntuhkan rantai itu, sesuai kemampuannya. Mengajarkan adik-adik bahasa ngoko daripada kromo inggil. Tetap tidak bungkuk pada kakak walau sering dapat tamparan.
1899-1900, Kartini mulai sering menulis, surat menyurat sesama pejuang wanita. Estella Zeehandelaar namanya, asal Belanda. Ia tertarik pada iklan koran yang Kartini pasang selalu. Dimulailah kegiatan komunikasi tersebut yang mana akan dibukukan menjadi “Sehabis Gelap Terbitlah Terang”, karya Kartini yang kita ketahui sekarang. Bersama Stella, Kartini banyak mendiskusikan soal poligami, kolonialisme, dan feodalisme yang ia juga baca.
Jejak-jejak lepas dari kungkungan feodalisme Jawa juga Kartini tampakkan saat mengirim surat dengan Stella. Karena otak yang brilian dan sering mengirim tulisan di majalah. Banyak akses pendidikan lewat beasiswa yang diberikan pada Kartini, tetapi segera ditolak mentah-mentah oleh romonya. Hal itu yang sering membuat Kartini sakit hati.
Kehidupan Kartini relatif singkat, hanya seperempat abad. Kartini meninggal setelah 4 hari melahirkan anak laki-lakinya, RM Soesalit. Anak dari perkawinannya dengan Bupati Rembang, Adipati Djojodiningrat. Pernikahan itu pun karena terpaksa, tidak sesuai keinginan Kartini. Ayahnya sakit, Kartini sudah berumur 24, bukan umur yang lazim untuk perempuan Jawa melajang. Akhirnya karena dituntut sosial, feodal, dan penyakit ayahnya, Kartini menikah. Kita tidak tahu, apakah pernikahannya bahagia atau tidak. Bahkan sebelum pernikahannya, Kartini ingin sekali mengajar di Batavia. Namun, hal itu tidak diizinkan oleh ayahnya.
Hasil pengamatan penulis, Kartini sangat jauh dengan wanita yang ada di zaman sekarang. Memang dari lahir Kartini lahir di keluarga penuh privilege dan prestisius. Keluarga priyayi yang tidak serba kekurangan, walaupun begitu Kartini tetap dikekang oleh adat budaya Jawa. Hal ini membuka mata penulis, bahwa setiap orang memiliki kesulitan, bahkan seorang bangsawan sekalipun. Yang lebih mengagumkan, kenyamanan dan hambatan tersebut tidak memengaruhi langkah Kartini sekalipun. Kenyataanya, Kartini mewarisi kita tekad untuk belajar meski dikekang, menulis walau dipingit. Penulis tidak bisa menghakimi keadaan seluruh wanita di era kapitalis ini. Banyak sekali wanita yang lebih mementingkan penampilan daripada isi kepala. Wanita membeli alat rias ketimbang buku-buku filsafat, politik, dan sastra. Wanita suka menghabiskan uang dan pakaiannya untuk membeli makanan dan baju mahal. Itu semua adalah proyek kapitalisme.
Apakah para wanita sekarang mampu berpikiran egaliter dan progresif seperti Kartini? Berani menabrak aturan-aturan yang mengekang. Kartini meyakinkan penulis bahwa wanita pun dapat melumat habis buku-buku politik dan filsafat, yang dijuluki berat katanya. Ia bisa, Kartini bisa, keberadaanya diakui oleh Menteri Kebudayaan Agama, dan Industri JH Abendanon. Diakui Parlemen Belanda Henri Hubert van Kol. Bukunya yang kita kenal saja bukan dicetak olehnya sedniri, seperti kita mengirim ke penerbit, melainkan dilakukan JH Abendanon.
Hari Kartini bukan hanya ajang memakai kebaya dan bernostalgia budaya, tetapi momen untuk menengok kembali substansi perjuangan dan pemikiran pahlawan emansipasi. Ia tidak hanya bicara tentang emansipasi sebagai kebebasan perempuan, tapi juga sebagai pembebasan manusia dari struktur yang menindas: feodalisme, kolonialisme, dan budaya yang menutup akal sehat. Kartini adalah suara minoritas yang tak pernah berhenti menggugat dunia yang tidak adil, bahkan ketika ia sendiri berada di dalam ruang pingitan.***

Kita, hari ini, mewarisi lebih dari sekadar nama Kartini—kita mewarisi keberanian intelektualnya. Maka menjadi penting untuk tidak membiarkan semangat Kartini mati di antara parade dan lomba busana. Saat kita mempertanyakan kembali: Apakah para perempuan hari ini sudah benar-benar bebas? atau Apakah kita telah sudah memperingati Kartini dengan benar?, disitulah esensi perjuangan Kartini tetap hidup.

Related Articles

Back to top button