Anak Muda Jangan Jadi ‘Generasi Tergantung’

Oleh : Haikal
Mahasiswa AFI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan ekonomi global, muncul sebuah fenomena menarik yang disoroti oleh Prof Rhenald Kasali dalam podcastnya yang bertajuk “The Children Full Time”. Fenomena ini, yang awalnya teridentifikasi di Tiongkok, menggambarkan situasi di mana para lulusan muda kembali ke rumah orangtua mereka, baik karena kesulitan mendapatkan pekerjaan atau memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Meskipun di Tiongkok fenomena ini mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan karena tingginya pendapatan per kapita, penerapannya di Indonesia bisa menimbulkan masalah serius. Perbedaan kondisi ekonomi antara kedua negara ini membuat potensi dampak negatif di Indonesia jauh lebih besar, terutama bagi keluarga dari kelas ekonomi menengah ke bawah.
Indonesia saat ini berada dalam fase bonus demografi, dengan populasi usia produktif yang lebih besar daripada usia non-produktif. Situasi ini bisa menjadi pedang bermata dua. Jika dimanfaatkan dengan baik, bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Namun, jika tidak dikelola dengan tepat, bisa menimbulkan masalah pengangguran dan kemiskinan yang serius.
Untuk menghindari terjebak dalam fenomena ‘generasi tergantung’, perlu ada perubahan paradigma dalam pendidikan dan pengembangan keterampilan. Fokus tidak boleh hanya pada pencapaian akademis, tetapi juga pada pembentukan ‘juara kehidupan’, individu yang memiliki keterampilan praktis, pengalaman nyata, dan jaringan profesional yang luas.
Di era digital ini, kita perlu mendorong semangat kewirausahaan di kalangan generasi muda. Menjadi wirausaha bukan hanya alternatif karir, tetapi juga solusi untuk menciptakan lapangan kerja baru. Pemerintah telah menunjukkan komitmen dalam mendukung UMKM, namun diperlukan upaya lebih lanjut untuk mengubah pola pikir masyarakat.
Selain itu, kita perlu memperluas perspektif tentang pasar tenaga kerja global. Banyak negara maju menghadapi penuaan populasi dan kekurangan tenaga kerja. Ini membuka peluang bagi tenaga kerja Indonesia untuk bersaing di tingkat internasional. Namun, untuk memanfaatkan peluang ini, kita harus meningkatkan kualitas SDM kita secara signifikan.
Pemerintah memiliki peran krusial dalam menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan SDM berkualitas tinggi. Ini melibatkan reformasi sistem pendidikan, peningkatan infrastruktur digital, dan penciptaan insentif untuk inovasi dan kewirausahaan. Namun, tanggung jawab ini tidak hanya ada di pundak pemerintah. Setiap individu harus mengambil inisiatif untuk terus belajar dan beradaptasi dengan tuntutan pasar global yang selalu berubah.
Untuk mengatasi tantangan ini, kita perlu mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan adaptif. Misalnya, kita bisa mempertimbangkan konsep ‘pendidikan sepanjang hayat’ yang didukung oleh teknologi, di mana individu dapat terus meningkatkan keterampilan mereka sesuai dengan perubahan kebutuhan pasar.
Revolusi industri 4.0 dan ekonomi digital membuka peluang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Kita perlu mendorong generasi muda untuk menjadi inovator dan kreator dalam ekonomi digital, bukan sekadar konsumen pasif teknologi.
Kolaborasi antara institusi pendidikan dan industri juga perlu diperkuat. Kurikulum pendidikan harus lebih relevan dengan kebutuhan industri, dan program magang atau pembelajaran berbasis proyek harus menjadi bagian integral dari pendidikan tinggi.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan kebijakan yang mendukung fleksibilitas pasar tenaga kerja. Ini bisa mencakup regulasi yang memfasilitasi pekerjaan jarak jauh, kontrak kerja yang lebih fleksibel, dan perlindungan sosial yang lebih baik untuk pekerja lepas atau gig economy.
Investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) juga harus ditingkatkan. Ini akan mendorong inovasi dan menciptakan industri-industri baru yang dapat menyerap tenaga kerja terampil.
Kita juga perlu mengatasi kesenjangan digital yang masih ada di Indonesia. Akses internet yang merata dan terjangkau serta literasi digital yang baik adalah kunci untuk memastikan semua warga negara dapat berpartisipasi dalam ekonomi digital.
Akhirnya, untuk benar-benar mengatasi tantangan ini, kita perlu membangun sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan hanya akan menghambat upaya kita dalam membangun SDM yang kompetitif.
Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, kita dapat mengubah tantangan ‘generasi tergantung’ menjadi peluang untuk menciptakan generasi mandiri dan inovatif. Ini bukan hanya tentang menghindari masalah, tetapi juga tentang membangun fondasi yang kuat untuk masa depan Indonesia yang lebih cerah dan kompetitif di kancah global.
Transformasi ini membutuhkan komitmen jangka panjang dan kerjasama dari semua pihak – pemerintah, sektor swasta, institusi pendidikan, dan masyarakat. Dengan visi yang jelas dan tindakan yang terkoordinasi, kita dapat memastikan bahwa bonus demografi Indonesia benar-benar menjadi katalis bagi kemajuan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.***