Opini

Faktor yang Memengaruhi Sulitnya Normalisasi Pendidikan Bahasa Inggris di Pedesaan

Oleh: Nurfazriyah
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Tangerang

Masa usia dini merupakan masa kritis dalam rentang perkembangan kehidupan individu, di mana masa ini merupakan masa golden age seorang anak. Masa ini adalah fase terbaik untuk mengajarkan anak bahasa kedua atau bahasa asing, karena kemampuan berbahasanya sedang berkembang pesat-pesatnya. Oleh karena itu, diperlukan berbagai stimulasi dari orang tua dan lingkungan agar seluruh aspek kecerdasan anak dapat berkembang secara optimal.
Namun bagaimana jadinya bila hal tersebut tidak dapat berkembang secara optimal karena memiliki banyak keterbatasan?Berbicara mengenai pendidikan bahasa Inggris di pedesaan, hal ini tidak lepas dari sumber daya manusia di daerah tersebut. Seperti yang saya observasi di desa pedalaman di wilayah Jawa Tengah, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pendidikan bahasa Inggris masih sangat minim. Di mana masyarakatnya mengganggap bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang tidak perlu dipelajari.
Fakta bahwa anak – anak mengenyam pendidikan hanya untuk mendapatkan ijazah yang mereka gunakan untuk tujuan utamanya yaitu mendapatkan perkerjaan dengan mudah, menjadi pola pikir yang menghambat pendidikan terutama pendidikan bahasa Inggris. Tidak adanya dorongan dari lingkungan sekitar menjadi objek utama yang akan dibahas dalam tulisan ini, serta bagaimana perkembangan pola pikir masyarakat pedesaan generasi ke generasi.
Dalam Pasal 33 Permendikbudristek No 12 tahun 2024 dijelaskan “Mata pelajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), atau bentuk lain yang sederajat menjadi mata pelajaran pilihan yang dapat diselenggarakan berdasarkan kesiapan Satuan Pendidikan sampai dengan tahun ajaran 2026/2027 dan beralih menjadi mata pelajaran wajib pada tahun ajaran 2027/2028”. Hal tersebut menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Indonesia, banyak yang berargunen bahwa penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris sangat disayangkan karena hal tersebut dapat berdampak pada kualitas SDM bangsa Indonesia yang akan menurun. Namun bagaimana tanggapan masyarakat pedesaan terkait berita penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris yang sedang viral tersebut?
Tanggapannya adalah ada atau tidak adanya mata pelajaran bahasa Inggris dalam kurikulum pendidikan menjadi hal yang sama sekali tidak perlu diperhatikan. Mengapa demikian? Berbagai faktor menjadi alasan atas pemikiran mereka, faktor yang pertama yaitu latar belakang pendidikan orang tua yang minim. Latar belakang pendidikan orang tua yang minim mengakibatkan rendahnya kualitas SDM di wilayah tersebut. Orang tua di sana beranggapan bahwa apabila terdapat pelajaran bahasa Inggris mereka akan kesulitan untuk membantu anaknya ketika ada pekerjaan rumah dari sekolah (PR). Selain itu, pendidikan bahasa Inggris di anggap hal yang tidak perlu mereka pelajari. Dan yang ditekankan pada anak-anak mereka hanyalah membaca, menulis, dan berhitung. Persepsi orang tua mengenai bahasa Inggris menjadi cikal bakal terbentuknya pola pikir anak-anak tersebut yang sifatnya seperti menurun.
Kemudian faktor yang ke dua adalah faktor ekonomi. Rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat pedesaan menimbulkan tingkat kesadaran dalam minat pendidikan bahasa Inggris masih sangat rendah. Menurut du Plessis dalam jurnalnya yang berjudul Problems and complexities in rural schools “Terkait dengan masalah ini, banyak (jika tidak semua) keluarga ekonomi menengah ke bawah yang tinggal di daerah pedesaan menganggap bahwa pendidikan tidak dapat menjamin kesuksesan dalam hidup mereka”. Oleh karena itu, mereka lebih menyukai anak-anaknya bekerja dari pada mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena hal itu memerlukan biaya yang cukup besar. Untuk mempelajari bahasa Inggris secara lebih dalam masyarakat perlu datang ke sebuah lembaga non formal bimbingan belajar bahasa Inggris, hal tersebut tentu saja memerlukan uang yang cukup besar bagi mereka. Sehingga hal tersebut menjadi alasan yang semakin kuat untuk masyarakat pedesaan acuh terhadap pendidikan bahasa Inggris.
Desa yang saya observasi diketahui sebagai desa yang banyak penduduknya berprofesi sebagai pekerja imigran atau TKW, hal ini disebabkan profesi sebagai TKW dirasa cukup efektif untuk mendongkrak ekonomi mereka yang rendah. Banyak anak – anak yang ditinggal oleh ibunya karena sang ibu harus pergi bekerja menjadi TKW, banyak suami yang akhirnya bekerja seperti ibu rumah tangga untuk keluarganya. Hal tersebut dirasa sangat miris mengingat keluarga adalah pondasi utama pendidikan anak. Khususnya ibu, akan sangat menentukan besarnya pengaruh proses pendidikan anak dilingkungan keluarga, sehingga akan mempengaruhi prestasi belajar anak disekolah.
Kemudian faktor yang ketiga yaitu kualitas pendidik, terutama ketersediaan guru bahasa Inggris. Keberadaan guru dalam suatu bangsa amatlah penting, guru memiliki satu kesatuan peran yang tak terpisahkan. Hasil PISA tahun 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-72 dari 79 negara yang berpartisipasi, dengan skor rata-rata 371, yang jauh di bawah rata-rata OECD 487. Ditemukan bahwa kualitas pendidik di daerah desa yang saya observasi masih sangat minim, di mana ditemukan metode belajarnya masih bersifat monoton. Tidak adanya daya tarik terhadap metode belajar berdampak pada minat belajar siswa yang menurun. Bahkan beberapa guru menganggap bahwa pembelajaran bahasa Inggris sendiri merupakan pembelajaran yang kurang perlu untuk diterapkan pada anak usia dini, karena akan lebih baik jika diterapkan pada sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
Faktor yang keempat yaitu jauhnya akses pendidikan bahasa Inggris. Sekolah pedesaan tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengetahui bahasa Inggris seperti halnya sekolah perkotaan. Akses untuk mendapat informasi tentang bahasa Inggris sangat terbatas, begitu juga dengan pembelajaran bahasa Inggris berbasis teknologi. Banyak lembaga kursus bahasa Inggris didirikan diperkotaan namun untuk pedesaan sendiri tidak ada satupun lembaga yang membuka program kursus bahasa Inggris, sehingga akses untuk mendapatkan pendidikan bahasa Inggris semakin sulit.
Sekolah dengan kurikulum nasional plus sendiri sudah sangat menjamur di daerah perkotaan, di mana sekolah nasional plus ini menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar saat kegiatan belajar mengajar di sekolah. Di sekitaran desa yang saya observasi sendiri sekolah nasional plus masih sangat jarang ditemui, untuk bertemu dengan sekolah nasional plus anak-anak di desa tersebut perlu menempuh jarak ± 11 kilometer. Sehingga, pandangan masyarakat desa tersebut terkait sekolah nasional plus masih menjadi hal yang tak mereka hiraukan, bahkan beberapa warga desa di antaranya banyak (tidak semua) yang tidak mengetahui keberadaan sekolah dengan kurikulum nasional plus.
Faktor yang kelima yaitu minimnya perhatian pemerintah setempat terkait pendidikan bahasa Inggris di desa tersebut. Pemerintah setempat sendiri tidak pernah mengadakan program penyuluhan terkait pentingnya bahasa Inggris diterapkan, pemerintah setempat hanya fokus untuk mengadakan program pemberian bantuan tunai bersyarat yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, perkembangan kecerdasan warganya kurang diperhatikan. Guru-guru di sekolah pedesaan juga tidak difasilitasi dengan pelatihan terhadap proses pembelajaran seperti pelatihan kurikulum terbaru, di mana seharusnya guru juga harus memperoleh pelatihan guna tercapainya tujuan.
Hal tersebut tentu saja sangat memerlukan perhatian pemerintah lebih dalam. Pemerintah sudah seharusnya bangun untuk mengurangi angka dan memutus rantai kebodohan secara merata ke pelosok-pelosok daerah untuk meningkatkan skill bertahan hidup masyarakatnya. Menurut Y.Maryono (2008) dalam bukunya yang berjudul Teknologi Informasi dan Komunikasi “Teknologi yaitu usaha pengembangan dan penerapan berbagai peralatan atau sistem untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari”. Perkembangan teknologi ini sangat mengubah kebiasaan manusia, pada era manufaktur dulu manusia cenderung bergantung kepada tenaga kerja manual sedangkan dalam era digital saat ini, manusia cenderung menggunakan bantuan teknologi sehingga terjadi kombinasi antara usaha manual dan digital. Kemajuan teknologi saat ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Adanya perkembangan teknologi digital juga tak bisa dipungkiri akan mampu membantu berbagai jenis usaha atau aktivitas baru yang dapat meningkatkan kebutuhan manusia lebih praktis dan efisien. Di mana hal tersebut juga dimanfaatkan oleh sejumlah warga desa pedalaman di wilayah Jawa Tengah yang hidup di era generasi Z. Beberapa orang tua era generasi Z mulai menggunakan kemajuan teknologi seperti social media sebagai sarana untuk mendapatkan informasi, di antaranya mengenai pendidikan saat ini. Para orang tua era generasi Z ini mulai tertarik dengan keberadaan pendidikan non formal seperti kursus atau bimbingan belajar dikarenakan mereka mulai menyadari ketertinggalan terhadap perkembangan pendidikan yang sudah semakin pesat. Mereka mulai mementingkan pendidikan anak usia dini dan mulai menyekolahkan anak-anak mereka disekolah formal taman kanak-kana. Namun sayangnya untuk pendidikan Bahasa Inggris sendiri masih memiliki keterbatasan karena tidak adanya wadah bagi mereka yang ingin anaknya mempelajari bahasa Inggris di daerah tersebut karena akses jalan yang jauh dari perkotaan.
Selain itu, penggunaan teknologi seperti alat-alat rumah tangga yang digunakan masyarakat desa hingga saat ini masih banyak yang belum stabil kita jumpai. Seperti pada wilayah desa yang saya observasi masih, Penggunaan teknologi seperti mesin cuci dan AC (Air conditioning) sudah banyak digunakan oleh warga yang hidup di era gerasi Z, Namun sayangnya dalam aplikasinya sendiri masih mengalami beberapa perdebatan antara generasi Z dan generasi baby boomer dikarenakan menurut orang tua dari generasi baby boomer penggunaannya dirasa kurang bermanfaat.
Penggunaan teknologi ini tentu memerlukan penguasaan bahasa Inggris. Di mana, bahasa Inggris memiliki pengaruh besar dalam teknologi karena menjadi bahasa dominan dalam komunikasi internasional, dokumentasi, dan pengembangan perangkat lunak. Bahasa Inggris memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi dengan investor, pelanggan, dan mitra bisnis dari seluruh dunia, dan membuka peluang pasar global. Selain itu, banyak literatur teknis, tutorial, dan dokumentasi teknologi tersedia dalam bahasa Inggris, membuatnya menjadi bahasa standar di dunia teknologi. Keberadaan perusahaan multinasional sendiri memberikan permintaan tinggi untuk para profesional yang bisa berbicara dalam bahasa Inggris, seperti customer service, koordinator pemasaran, manajer proyek, dan sebagainya, tentu saja hal ini dapat meningkatkan peluang karir yang lebih baik.

Menurut Moenir H. A. S (2006) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, “Pelayanan publik adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh seseorang atau Kelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya”. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suatu belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, diharapkan pelayanan pendidikan bisa dirasakan secara merata oleh masyarakat guna meningkatkan SDM bangsa Indonesia yang berkualitas. Diantaranya penyuluhan terkait pendidikan Bahasa Inggris serta peningkatan kesejahteraan guru baik berupa tunjangan maupun pelatihan terkait kependidikan.

Keberadaan sekolah nasional plus yang belum banyak diketahui oleh masyarakat pedesaan menjadi tantangan kita sebagai pendidik maupun instansi pemerintah untuk menyediakan layanan pendidikan yang baik, terutama di daerah pedesaan dan terpencil.Kurang meratanya fasilitas Pendidikan di Indonesia harus segera ditangani, maka mulailah dari hal kecil di sekitar kita.***

Back to top button