Bencana Ecological Suicide Akhirnya Terjadi
Oleh: Drs. D. Rusyono, M.Si
Anggota Juang Kencana Kabupaten Kuningan
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, agar kamu mengingat (kebesaran) Allah (QS Adz-Dzariyat : 49). Hal tersebut memang termasuk hal yang bersifat kepahitan, kegetiran atau musibah, seperti ada anugrah ada bencana, yang tentunya dengan dampaknya masing-masing, terlebih untuk musibah/bencana aspeknya sangat luas dalam segala sendi kehidupan, termasuk hal-hal yang bersifat ktidakenakan/ketidaknyamanan bahkan sampai yang berdampak besar/luas. Itu semua memang ketetapan Allah, kodarullah, karena bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin, dan Allah tidak mungkin keliru dalam membuat ketetapan, tinggal Kun Fayakun. Persoalannya semua yang terjadi dalam kehidupan akan tergantung kepada yang menjalankan kehidupan itu sendiri, akan berawal dan bermuara dari dan kepada diri kita sendiri selaku umat-Nya, Allah hanya menyaksikan sepak terjang kita, sudah sejauh mana bersikap dan berperilaku antara dalam kebaikan atau kenistaan, antara yang menfaat atau mudarat, kalau yang baik tentu Allah balas dengan kebaikan pula/dengan pahala dan sebaliknya kalau yang jelek tentu dengan balasan yang setimpal pula, apakah itu ditegur, diperingatkan atau diazab itu menjadi hak perogratif Allah. Kita hanya tinggal memilih saja, sebagaimana telah diingatkan melalui hukum kausalitas yang diawali dengan kalimat barang siapa …., maka akan ….., inilah sebetulnya yang patut kita ingat dalam menjalani hidup dan kehidupan yang harus penuh kehati-hatian.
Selanjutnya apabila kita simak fenomena bencana alam yang saat ini terjadi di bumi pertiwi ini, sungguh sangat miris dan menyayat hati, apabila kita kaitkan dengan berbagai analisispun, maka salah satu penyebabnya adalah faktor human eror yang dominan dari mata rantai alam dan manusia yang merupakan satu kesatuan ekosistem yang saling berinteraksi satu sama lain, kalau interaksinya positif/baik maka insya Allah hasilnyapun akan positif dalam kebaikan sebaliknya kalau penyebabnya jelek maka hasilnyapun akan jelek.
Sebut saja dari sisi keilmuan Kependudukan dan Ekologi, seorang pakar yang cukup terkenal bernama Jared Diamond, beliau mewanti-wanti untuk menjaga kelestarian lingkungan melalui teorinya “Ecological Suicide”, yang artinya jangan sampai merusak lingkungan karena sama dengan bunuh diri, atau dengan kata lain Bunuh Diri Dengan Merusak Lingkungan alias Ecological Suicide atau Ecoside.
Mengapa demikian? Karena dalam sebuah ekosistem pihak yang mendiami area lingkungan hidup (ekologi) atau antroposfer akan saling berinteraksi/mempengaruhi, dimana tumbuh-tumbuhan yang ada bisa menjadi penyangga bumi/tanah, sedang penduduk bumi juga butuh dengan pemenuhan air dan kehidupan, disisi lain masing-masing akan mengalami laju pertumbuhan, maka disini perlu kearifan untuk menyeimbangkan dan menyerasikan antara daya dukung dan daya tampung, nah manakala hal tersebut sudah tidak lagi seimbang kondisinya, sementara kebutuhan mempertahankan hidup sangat mendesak, biasanya akal tidak lagi bicara, melainkan tuntutan kelangsungan hidup harus terpenuhi (urusan perut sulit untuk diajak kompromi), maka main hajar saja apa yang ada dan bisa bernilai finansial untuk menutupi lapar dan dahaga, maka kalau sudah demikian terjadilah kerusakan lingkungan, yang pada gilirannya terjadi musibah seperti banjir dan yang lainnya, akhirnya terjadilah banyak korban yang cukup banyak, dan inilah yang disebut dengan Ecological Suicide atau Ecosided Jadi mata rantainya sangat berkaitan erat dengan kepadatan penduduk yang simbiosis dengan lingkungan tempat tinggalnya.
Kemudian di sisi lain dari sudat pandang agamapun fenomena bencana alam berawal dari sikap dan perilau umat manusia sebagai insan yang beragama, terlebih Islam. Bahkan terkadang menimbulkan hal yang ironis manakala sebuah bencana terjadi di kawasan yang padat penduduknya umat Islam, sebut saja seperti Padang dan Aceh bahkan Sumatera Utarapun kalau persentasi tetap saja Islam yang masih menonjol, tetapi kenyataannya tingkat kemaksiatan cukup mencolok, maka tidak menutup kemungkinan Allah SWT marah melihat tingkah manusia/umat-Nya bergelimang dosa. Maka terjadilah musibah bencana alam yang dahsyat. Yang pada dasarnya merupakan mata rantai yang saling berkaitan antara alam, manusia dengan sikap dan perilakunya.
Beberapa pengertian yang terkait dengan keberadaan/peristiwa alam antara lain bencana sendiri secara harfiah adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, kecelakaan dan bahaya, sedangkan bencana alam adalah peristiwa alam yang menyebabkan gangguan dan ancaman terhadap kehidupan, penghidupan, lingkungan, harta benda dan dampak terhadap kehidupan masyarakat (KBBI, 2016). Kemudian menurut kacamata Islam bahwa bencana adalah sebagai peringatan spiritual untuk introspeksi diri, ujian dari Allah, atau pertanda perubahan besar dalam hidup dan kehidupan. Sedangkan perilaku/ interaksi adalah tindakan atau aktivitas organisme (termasuk manusia) sebagai respon terhadap stimulus baik yang terlihat/tidak.
Sementara dalam Islam sudah jelas difirmankan Allah tentang perintah menjaga/memelihara kelestarian lingkungan hidup dan larangan merusaknya, antara lain dalam surat Al-Araf 56-58 bahwa Allah melarang untuk merusak bumi dan memerintahkan berbuat baik , kemudian Al-Baqarah 205 Allah tidak menyukai pengrusakan seperti merusak tanaman dan keturunan, kemudian pada surat Ar.Rum 41 disebutkan bahwa kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan manusia, serta aturan lainnya yang diajarkan terhadap umatnya. Disamping itu juga perintah Allah untuk berkelakuan baik sudah jelas diingatkan dan diajarkan bahkan dicontohkan oleh para nabi utusan Allah terlebih oleh Nabi akhir jaman Muhammad Rasulullah SAW. Sedangkan dalam musibah kemarin sudah mah lingkungan sudah dirusak ditambah dengan perilaku beberapa oknum yang tidak pantas/maksiat, jadi lengkaplah sudah yang menyebabkan Allah murka melalui bencana alam tersebut, yang walaupun Allah tidak memberikan cobaan melewati batas kesanggupannya, (QS Al-Baqarah : 286).
Secara logika perilaku manusia yang sudah melampaui batas kewajaran/kepatutan, sehingga sangat mungkin Allah marah melihat tingkah laku umatnya yang berbuat dosa dan maksiat, maka munculah teguran, peringatan, cobaan, ujian bahkan adzab salah satunya melalui bencana, yang nota bene akhirnya karena ulah segelintir orang (oknum) tapi dampaknya luas kepada orang banyak yang, namun dihadapan Allah beliau tidak akan salah memilih dan disiapkan melalui hikmahnya dari bencana alam tersebut, di antaranya untuk yang berilmu sebagai pembelajaran, untuk yang sholeh sebagai hikmah/pahala, dan untuk pendosa adalah peringtn keras bahkan bisa saja azab (pendhuluan, yang hkiki kelak di akhirat nanti), kepada warga lain yang tidak terdampak tentu sebagai ’itibar yang sangat berharga untuk senantiasa bersyukur dan meningkatkan iman/takwa kepada Yang Maha Pencipta, bahwa betapa kita tiada daya dan upaya keculi atas kehendak Allah.
Akhirnya semua dan segalanya akan berawal dan berpulang kepada kita untuk menyikapinya dengan bijak dengan didasari iman dan takwa, semoga kita dapat memetik hikmah dari setiap peristiwa ketetapan yang Allah berikan, serta mari kita merefleksi diri di penghujung 2025 guna menyongsong tahun 2026 semoga lebih baik, Aamiin!***





