Potret Buram Pendidikan Indonesia
Oleh: Nur Syamsiyah
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan di Indonesia kini tengah dihadapkan pada kondisi yang sangat mencemaskan. Hal ini ditandai dengan hancurnya wibawa guru dengan berbagai kasus yang muncul secara bertubi-tubi di berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja mulai dari kasus Ibu Supriyani seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara) yang dipolisikan oleh muridnya dengan aduan penganiayaan. Belum lagi kasus siswa SMAN 1 Cimarga Kabupaten Lebak Banten yang ditegur oleh kepala sekolah karena kedapatan merokok dilingkungan sekolah.
Ada pula kasus seorang guru di SMPN 1 Trenggalek yang merazia ponsel siswinya karena dianggap melanggar aturan sekolah dan berujung pengeroyokan terhadap guru tersebut oleh oknum wali murid, hingga kasus di SDN 2 Kendari yang berujung seorang guru di vonis 5 tahun penjara karena memegang jidat siswi untuk mengecek suhu badan saat siswi tersebut demam di sekolah dan wali muridpun menganggap tindakan tersebut adalah pelecehan.
Dulu, guru adalah figur yang dihormati tanpa syarat. Nasihatnya diikuti, tegurannya dipahami sebagai bentuk kasih sayang, dan kehadirannya menjadi simbol kewibawaan. Namun kini, pergeseran nilai di masyarakat telah mengikis pandangan tersebut. Banyak peserta didik yang memandang guru bukan lagi sebagai figur otoritatif yang harus dihormati, melainkan sekadar “penyedia layanan pendidikan” yang bisa dikomplain, disudutkan, bahkan dengan mudah dipolisikan.
Tindakan mendisiplinkan siswa kerap kali ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap hak anak, tanpa mengkonfirmasi konteks pendidikan yang melatarbelakanginya. Bahkan kini sebagian oknum orang tua seolah menjadi trend jika anak mengadukan permasalahan yang terjadi di sekolah tanpa pikir panjang, tanpa mencari second opini, tanpa berdialog untuk mencari kebenaran bersama tetapi langsung bertindak main hakim sendiri ataupun melaporkan kekepolisian.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan moralitas anak bangsa saat ini? Merosotnya moralitas generasi muda salah satunya dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan arus digitalisasi, perubahan pola asuh, hingga minimnya figur keteladanan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Fenomena ini menunjukkan adanya kegagalan mendasar dalam pembentukan karakter. Kerapkali anak mendapatkan banyak referensi contoh-contoh tindakan yang tak pantas dari tontonan yang mereka dapatkan dari media sosial tanpa ada filter dan pengawasan dari orang tua. Sehingga anak-anak Indonesia kerapkali mempraktikkan dan mencoba melakukan tindakan seperti yang ia tonton di media sosial dan melakukannya di sekolah seperti tindakan bulliying, melawan guru saat ditegur, playing victim, dan masih banyak lagi tindakan lain yang tak seharusnya dilakukan oleh generasi muda Indonesia.
Mendidik anak sesungguhnya adalah kewajiban orang tua dan bukan kewajiban guru. Namun karena berbagai keterbatasan orang tua seperti keterbatasan waktu, ilmu, pengetahuan dan lain sebagainya sehingga didirikanlah lembaga pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal untuk membantu orang tua dalam mendidik anaknya. Namun demikian faktanya kini banyak oknum orang tua yang tidak memahami konteks tersebut. Sehingga kerap kali terjadi perselisihan dan konflik pelik yang terjadi antara orang tua dengan guru.
Menyikapi permasalahan siswa yang terjadi di sekolah sesungguhnya tidak terlepas dari pola asuh anak dalam keluarga. Sejatinya anak pertama kali mendapatkan pendidikan adalah dari keluarganya seperti dijelaskan dalam hadits Rasulullah bahwa Al-ummu madrosatul ulaa, Ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Juga ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 tentang penanaman pendidikan tauhid untuk anak. QS. Luqman ayat 14-15 tentang berbakti kepada kedua orang tua. QS. Luqman ayat 17 tentang sholat dan amar ma’ruf nahi munkar, dan QS. Luqman ayat 18-19 tentang kesabaran dan adab.
Sayangnya kini banyak oknum orang tua yang mendidik anak dengan pola asuh yang cenderung permisif. Lebih memilih memanjakan anak ketimbang menanamkan nilai disiplin. tanggung jawab dan sopan santun. Sehingga menyebabkan generasi muda Indonesia menjadi krisis ahlak, tidak menjadi generasi tangguh, dan tidak mau bekerja keras. Lebih banyak menuntut hak kepada orang tua dan guru dibandingkan melaksanakan kewajibannya sebagai anak dan siswa.
Oleh karena itu, keluarga seharusnya menjadi pusat utama pembentukan pendidikan karakter. Tanpa dukungan orang tua, sekolah tak akan mampu membangun moralitas anak bangsa secara optimal. Kini saatnya orang tua dan guru bersinergi, satukan visi dan misi untuk sama-sama berkolaborasi mendidik anak bangsa. Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa tugas guru bukan hanya pada wilayah transfer knowlage tetapi juga bertugas mendidik siswanya agar memiliki ahlakul karimah. Karena siswa tidak hanya butuh cerdas tapi siswa juga harus memiliki ahkal yang baik.
Ada beberapa langkah penting yang perlu dilakukan untuk mengembalikan kehormatan guru, di antaranya yang pertama adalah regulasi yang melindungi profesi guru, terutama dalam konteks penegakan disiplin di sekolah. Hal ini perlu dibuat agar guru kembali memiliki peran dalam pembentukan karakter siswa tanpa dibayang-bayangi ancaman pidana. Kemudian yang kedua, penanaman pendidikan karakter yang diperkuat, bukan hanya sebagai teori yang ditempelkan dalam RPP atau modul ajar, tetapi bersifat aplikatif sebagai budaya sekolah. Yang ketiga, kemitraan aktif dengan orang tua. Adanya kegiatan parenting baik yang diselenggarakan oleh sekolah maupun komite sekolah mulai dari jenjang TK sampai dengan jenjang SMA sebagai media komunikasi sehingga antara wali murid dengan guru berjalan sehat dan saling percaya. Dan yang keempat adalah peningkatan kualitas guru, baik kompetensi pedagogis maupun kemampuan komunikasi melalui kegiatan pelatihan dan workshop.***





