Indonesia Butuh UU Anti-Bullying yang Jelas
Indonesia Butuh UU Anti-Bullying yang Jelas
Oleh: Okta Efriyadi, S.Pd
Guru MTsN 12 Cirebon
Bullying telah menjadi salah satu masalah sosial dan pendidikan yang paling mengkhawatirkan di Indonesia. Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dari lingkungan kerja hingga ruang digital, kasus perundungan terus bermunculan dan bahkan mengakibatkan trauma mendalam, depresi, putus sekolah, hingga kematian. Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa perundungan selalu masuk dalam tiga besar kasus pengaduan tiap tahun. Namun, hingga saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Anti-Bullying khusus yang secara komprehensif mengatur definisi, kategori, bentuk hukuman, pencegahan, serta mekanisme perlindungan bagi korban dan pelaku anak. Kondisi ini membuat penanganan bullying sering kali tumpang tindih, tidak konsisten, dan tidak memberikan efek jera. Karena itulah, urgensi hadirnya UU Anti-Bullying yang jelas, tegas, dan aplikatif makin tidak terbantahkan.
Bullying: Masalah Serius yang Mengancam Generasi Bangsa. Bullying bukan sekadar ejekan biasa atau “candaan teman sebaya.” Bullying adalah tindakan agresi berulang yang sengaja dilakukan untuk menyakiti orang lain secara fisik, verbal, sosial, maupun digital. Dampak bullying dapat berkepanjangan, bahkan terbawa hingga dewasa. Menurut KPAI, banyak korban bullying mengalami gangguan psikologis, seperti kecemasan, rendah diri, penurunan prestasi akademik, dan kecenderungan menyakiti diri sendiri (self-harm). Dalam beberapa kasus ekstrem, korban mengalami trauma berkepanjangan sehingga membutuhkan pendampingan psikologis jangka panjang. Ketiadaan payung hukum khusus membuat keluarga dan sekolah kesulitan dalam menindaklanjuti kasus perundungan. Banyak kasus berhenti di tengah jalan karena tidak tahu harus dilaporkan ke mana atau menggunakan aturan apa. Akibatnya, korban tidak mendapat keadilan, sementara pelaku tidak mendapat edukasi maupun pembinaan yang layak.
Kekosongan Hukum: Indonesia Perlu UU Khusus Anti-Bullying. Saat ini, penanganan bullying hanya ‘menumpang’ pada beberapa aturan, seperti: UU Perlindungan Anak, UU ITE (untuk kasus cyberbullying), Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Namun, regulasi tersebut tidak spesifik, tidak mengatur jenis-jenis bullying secara terperinci, dan tidak membahas penanganan menyeluruh yang bersifat preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Beberapa masalah dari regulasi yang ada: Tidak ada definisi bullying yang baku: Setiap lembaga menggunakan definisi berbeda, sehingga penanganan tidak seragam, Tidak ada pembagian kategori hukuman yang jelas: Bullying ringan, sedang, dan berat belum dibedakan secara tegas, Pelaku anak tidak memiliki mekanisme pembinaan yang standar nasional: Sekolah sering kebingungan memberikan sanksi: apakah skorsing, mutasi, atau konseling, Tidak ada unit nasional yang mengawasi penanganan bullying. Akibatnya, data anti-bullying di Indonesia tidak terintegrasi. Tanpa UU Anti-Bullying yang kuat, Indonesia akan terus tertinggal dalam upaya melindungi generasi muda dari kekerasan sistematis.
Standar Internasional: Indonesia Bisa Belajar dari Negara Lain. Sejumlah negara telah memiliki UU Anti-Bullying yang jelas, misalnya: Jepang: Basic Act on Measures for Bullying Prevention (2013): Mengatur definisi, hukuman, peran sekolah, peran orang tua, dan dukungan psikologis korban, Korea Selatan: School Violence Prevention Act: Mengharuskan setiap sekolah memiliki tim pencegahan kekerasan yang terdiri dari psikolog dan ahli Pendidikan, Amerika Serikat: Memiliki State Anti-Bullying Laws yang berbasis bukti (evidence-based), lengkap dengan panduan kurikulum anti-bullying. Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa, khususnya dalam hal pemisahan kategori hukuman, pembentukan komite anti-bullying, dan program rehabilitasi.
Apa yang Harus Ada dalam UU Anti-Bullying Indonesia? Agar kuat dan efektif, sebuah UU Anti-Bullying Indonesia setidaknya harus mencakup: Definisi Bullying yang Komprehensif Meliputi: Bullying fisik, Bullying verbal, Bullying social, Bullying psikologis, dan Cyberbullying.
Mekanisme Pelaporan yang Mudah dan Aman, Misalnya: hotline nasional 24 jam, aplikasi pelaporan, kewajiban sekolah menindaklanjuti dalam 1×24 jam.
Perlindungan Korban berupa: konseling psikologis, perlindungan dari retaliasi (balas dendam), pemulihan akademik. Pembinaan Pelaku Anak, Dengan pendekatan restoratif, bukan sekadar hukuman. Peran Sekolah yang Jelas, Setiap sekolah wajib memiliki: tim anti-bullying, kurikulum anti-kekerasan, dan pelatihan guru. Sistem Sanksi yang Terukur, Mulai dari teguran, konseling wajib, hingga tindakan hukum untuk kasus berat. Pengawasan Nasional dengan adanya: Badan Nasional Anti-Bullying, database nasional, laporan tahunan nasional. UU yang lengkap akan memastikan penanganan bullying dilakukan secara profesional, terstruktur, dan berkelanjutan.
UU Anti-Bullying Adalah Investasi Jangka Panjang bagi Bangsa. Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Anak-anak dan remaja adalah aset terbesar bangsa. Namun, jika mereka tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan, diskriminasi, dan perundungan, maka potensi mereka tidak akan berkembang maksimal. UU Anti-Bullying bertujuan untuk: menciptakan sekolah yang aman, membentuk generasi yang sehat mental, mencegah kekerasan berlanjut sampai dewasa, menurunkan angka kejahatan di masa depan, dan memperkuat karakter bangsa. Lingkungan yang bebas bullying adalah prasyarat untuk membangun masyarakat yang beradab, cerdas, dan beretika.
Sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-Undang Anti-Bullying yang jelas, tegas, dan komprehensif. Kekosongan hukum selama ini membuat penanganan perundungan tidak efektif dan sering kali tidak berpihak pada korban. Dengan hadirnya UU Anti-Bullying, setiap sekolah, keluarga, dan lembaga masyarakat memiliki panduan pasti untuk mencegah, menangani, dan memulihkan korban serta pelaku. Regulasi ini bukan hanya solusi jangka pendek, tetapi investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang berani, sehat, dan bermartabat.***



