Kolaborasi Lintas Sektor Jadi Penentu, Waspada Cirebon di Garis Bahaya Iklim
September 2023 tercatat sebagai bulan terpanas, menunjukkan dampak nyata pemanasan global akibat aktivitas manusia sejak era industrialisasi. Model Hepta Helix diusulkan sebagai strategi kolaboratif melibatkan tujuh elemen: pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas, media, teknologi dan lingkungan.
Hasil FGD menekankan empat aksi kunci: pengembangan kurikulum perubahan iklim, pelatihan masyarakat, kampanye sadar iklim melalui media dan penggunaan teknologi pendukung edukasi iklim.
kacenews.id-CIREBON-Masyarakat di wilayah Cirebon diimbau untuk bersiap menghadapi perubahan iklim. Pesan tersebut disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) lintas sektor tentang edukasi perubahan iklim yang digelar di salah satu hotel di Kota Cirebon.
Dalam kegiatan ini, hadir sejumlah narasumber, di antaranya peneliti dan dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Dr. Sopidi, MA dan Wahyono, M.Pd. Hadir pula perwakilan Walhi serta Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon).
Kegiatan FGD juga diikuti peserta dari Friends of the Earth (FoE) Japan, Bappelitbangda, DLH, dan BPBD Kabupaten Cirebon. Narasumber FGD, Sopidi, mengatakan tantangan global ke depan semakin berat. Dunia saat ini menghadapi situasi kompleks seperti perang, perubahan iklim hingga krisis pangan.
Sopidi menjelaskan, September 2023 tercatat sebagai September terpanas dalam sejarah. Kenaikan suhu bumi dipicu aktivitas manusia sejak era industrialisasi 1760, terutama pembakaran energi fosil yang meningkatkan kadar karbon dioksida dan gas rumah kaca (GRK). “Perubahan iklim adalah tantangan global yang membutuhkan upaya serius dan kolaborasi. Kabupaten Cirebon, sebagai wilayah rentan, memerlukan strategi efektif untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat,” ujar Sopidi.
Ia menambahkan, implementasi model Hepta Helix sangat relevan dalam konteks tersebut. Model ini melibatkan tujuh unsur — pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas, media, teknologi, dan lingkungan — untuk menghasilkan solusi menyeluruh dan berkelanjutan.
Menurutnya, kolaborasi lintas sektor di Kabupaten Cirebon sudah mulai berjalan. “Sebagai akademisi, kami memiliki komitmen menyediakan sumber daya pengetahuan dan teknologi untuk edukasi perubahan iklim. FGD seperti ini penting dan perlu diperluas hingga tahap implementasi di lapangan,” katanya.
Ia menuturkan, implementasi model Hepta Helix di Kabupaten Cirebon mencakup beberapa program, seperti pengembangan kurikulum pendidikan perubahan iklim antara UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, komunitas, dan OPD.
Program tersebut diharapkan menghasilkan edukasi lingkungan yang berdampak langsung pada peningkatan kesadaran publik. Kolaborasi akademisi, komunitas, OPD, WALHI, dan media massa diperlukan untuk menghasilkan solusi komprehensif.
Sopidi menilai, tindak lanjut pasca-FGD menjadi penting agar peningkatan kapasitas masyarakat dapat berlangsung lebih kuat.
Sementara itu, hasil FGD meliputi penyusunan kurikulum pendidikan perubahan iklim, program pelatihan dan pendampingan masyarakat, kampanye melalui media massa, serta pengembangan teknologi pendukung edukasi perubahan iklim. “Implementasi model Hepta Helix di Kabupaten Cirebon diharapkan mampu meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberlanjutan program,” tutupnya.(Cimot)





