Ragam

Memayu Trusmi, Jejak Leluhur yang Tak Pernah Padam

Di Antara Debu Pacuan Kuda, Budaya Tetap Bernapas

HARI belum sepenuhnya terang ketika aroma tanah basah dan embusan angin pantura menyambut ribuan warga yang datang bergerak menuju kawasan Trusmi, Minggu (23/11/2025) pagi itu.

Sejak pukul 04.00 WIB, bayangan manusia sudah mulai tampak di antara deretan kios batik. Anak-anak menggenggam tangan orang tuanya, sementara para pedagang membuka lapak lebih awal, seolah memahami bahwa hari itu bukan hari biasa, hari Memayu Buyut Trusmi.

Di sepanjang Jalan Pantura hingga Jalan Syekh Datul Kahfi, lautan manusia mengalir, menyemut dan memenuhi setiap sudut. Mereka datang bukan sekadar menonton arak-arakan, tetapi mengulang ritual leluhur yang telah diwariskan selama ribuan tahun.

Tradisi yang kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Jawa Barat ini memang selalu menghadirkan rasa pulang—pulang pada akar budaya, pulang pada ingatan masa kecil, pulang pada kebersamaan yang melampaui generasi.

Tepat pukul 05.00 WIB, sorak-sorai warga mulai pecah ketika derap pertama pacuan kuda terdengar. Para joki, sebagian besar anak muda, memacu kudanya dari kawasan batik menuju lampu merah Plered, lalu kembali ke jalur pantura.

Debu berterbangan, tawa pecah, dan kamera-kamera ponsel terangkat ke udara. Bagi sebagian warga, seperti Wawan, momen inilah yang paling ditunggu.

“Pacuan kuda yang paling seru, paling ditunggu tiap Memayu,” ujarnya sambil tersenyum puas.

Memayu bukan hanya pertunjukan, ia adalah rangkaian sakral mengganti atap welit di makam Buyut Trusmi, penanda kesiapan menyambut musim hujan.

Setelah pacuan kuda, barisan abdi dalem Buyut Trusmi berjalan perlahan. Laki-laki paruh baya dengan baju adat membawa welit di bahu mereka. Langkah mereka tenang, berirama, seolah setiap hentakan kaki menyampaikan pesan bahwa tradisi ini tak pernah kehilangan makna.

Di sela kerumunan, seorang ibu bernama Erna tampak sibuk menjelaskan makna ritual kepada anaknya. “Bukan cuma nonton arak-arakan, tapi juga ngenalin sejarah dan budaya. Biar mereka bangga dengan leluhur sendiri,” tuturnya.

Baginya, Memayu adalah ruang belajar dan ruang kenangan, bahkan ampir tak pernah absen, kecuali saat pandemi Covid-19 membuat semua keramaian terhenti.

Arak-arakan meloncat dari satu warna ke warna lain—ogoh-ogoh, replika hewan, penari, musik tradisional, hingga rombongan pembatik yang membawa hasil karya mereka.

Masing-masing tampil dengan kebanggaan khas Trusmi, desa batik yang namanya telah mendunia.

Di tengah kemeriahan itu, jalan Pantura tersendat. Petugas kepolisian berdiri di antara lautan manusia, mencoba menjaga arus agar tetap bergerak.

Namun tak ada yang benar-benar keberatan. Sebagian malah duduk di tepi jalan, menikmati suasana seperti menonton festival yang hanya datang setahun sekali.

Bagi warga Trusmi, Memayu bukan sekadar acara budaya, melainkan denyut nadi yang menegaskan bahwa akar tradisi masih kuat dan hidup. Dari subuh hingga menjelang siang, ribuan orang berkumpul, bukan karena diundang, melainkan karena merasa ini adalah bagian dari mereka—bagian dari rumah mereka.(Cimot/Jak)

Related Articles

Back to top button