13 Tahun Tanpa Kepastian Status Kepemilikan Tanah Jalan Ampera, Warga Cirebon Geruduk KDM
BELASAN warga Jalan Ampera Cirebon mendatangi Lembur Pakuan, kediaman Gubernur Jabar, memprotes pemblokiran sertifikat rumah oleh BPN atas permintaan Pemprov Jabar. Warga gagal bertemu Gubernur dan hanya diarahkan ke posko pengaduan lalu ke Gedung Sate, namun tidak mendapat keputusan.
Sertifikat rumah diblokir sejak 2012, membuat warga tak bisa menjual, mengagunkan atau mewariskan rumah selama 13 tahun. Warga menilai Pemprov Jabar tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan atas Jalan Ampera yang disebut sebagai aset pemerintah. Warga meminta Gubernur Dedi Mulyadi memberi kepastian hukum, karena pemblokiran dianggap merugikan dan “mendzolimi” masyarakat.
kacenews.id-CIREBON-Warga Jalan Ampera Kota Cirebon menggeruduk Lembur Pakuan, wilayah kediaman pribadi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, di Kabupaten Subang. Mereka ingin menyampaikan persoalan pemblokiran sertifikat rumah mereka di Jalan Ampera oleh BPN Kota Cirebon atas permintaan Pemprov Jabar.
Belasan warga Jalan Ampera ini datang ke Lembur Pakuan dengan cara yang cukup unik. Menggunakan topeng wajah Dedi Mulyadi serta membawa spanduk bertuliskan protes atas pemblokiran sertifikat.
Namun mereka harus menelan kekecewaan, sebab Dedi Mulyadi tidak ada di Lembur Pakuan. Sebaliknya, mereka diterima di posko pengaduan.
“Kami kecewa tidak bisa bertemu dengan KDM. Di posko pengaduan, kami diwawancara, kemudian kami diminta untuk datang ke Gedung Sate Bandung. Akhirnya, saat itu juga, kami langsung ke Gedung Sate,” ujar salah satu warga Jalan Ampera, Arisandi Irawan.
Awalnya, menurut Arisandi, warga diminta untuk mendatangi Kabiro Administrasi Pemerintahan di Gedung Setda. Namun di tengah perjalanan, tim posko pengaduan menghubungi agar menemui Kepala BPKAD Provinsi Jawa Barat.
Tapi lagi-lagi, Arisandi dihubungi untuk tidak jadi menemui Kepala BPKAD Jabar, dan diminta untuk menemui Kepala UPTD di bawah BPKAD Jabar.
“Kami berhasil menemui Kepala UPTD, tapi kan tetap tidak bisa menghasilkan keputusan, sebab mereka pun harus melaporkan dulu persoalan ini ke atasannya, saya mengerti mereka tidak punya kapasitas untuk memutuskan,” ujar Arisandi.
Ia menambahkan, warga berharap Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat bisa menemui warga, sebab warga Jalan Ampera sudah lelah tidak ada kepastian hukum selama 13 tahun lamanya akibat pemblokiran sertifikat rumah kediaman mereka.
Selama 13 tahun itu pula, sertifikat rumah tersebut tidak bisa digunakan sama sekali baik untuk proses penjualan rumah maupun diagunkan.
Menurut Arisandi, bahkan ada cerita pilu di mana sepasang suami istri yang sudah berusia lanjut, di mana sang istri sakit-sakitan, akan menjual rumah di Jalan Ampera. Calon pembeli sudah ada namun akhirnya proses jual beli dibatalkan karena diketahui sertifikat diblokir oleh BPN.
Sang istri pada akhirnya meninggal dunia, dan suami serta anaknya akhirnya pindah dari Jalan Ampera. Kini, rumah mereka, atapnya sudah ambruk.
Menurutnya, sebagai kepala daerah yang sangat memperhatikan masyarakatnya, Dedi Mulyadi diharapkan memiliki perhatian atas persoalan ini.
“Selama ini kan Pemprov Jabar mengklaim Jalan Ampera sebagai aset, tapi Pemprov Jabar ini tidak mampu membuktikan kepemilikan atas Jalan Ampera,”.
“Untuk memberikan kepastian hukum, seharusnya Pemprov Jabar itu gugat warga, gugat kami dong, buktikan Jalan Ampera itu milik Pemprov, jangan asal klaim. Kalau mengklaim tapi tidak bisa membuktikan kepemilikan itu sudah dzolim namanya,” tegasnya.
Ia pun mendorong Dedi Mulyadi untuk mengambil langkah hukum agar ada kepastian bagi warga.
Pemblokiran sendiri telah terjadi sejak 2012 lalu, akan tetapi baru secara resmi diterbitkan pencatatan blokir di buku tanah pada tgl 13 Desember 2023.
Dengan demikian, warga tidak dapat menikmati manfaat kepemilikan sertifikat yaitu mengalihkan (jual beli), mengagunkan, dan turun waris, sehingga sudah merasakan keresahan atas sertifikatnya selama 13 tahun lamanya.
Sengketa tanah di Jalan Ampera berawal pada tahun 1950-an, di mana pada saat itu banyak terdapat buruh pelabuhan yang menetap di kawasan tersebut.
Pemprov Jabar pada 1950-an menganggap warga sebagai penyewa. Kemudian saat itu warga mengajukan pensertifikatan. Tahun 2012, muncul surat dari Sekda yg mengajukan permohonan blokir sertipikat kepada BPN Kota Cirebon sehingga sertifikat tidak bisa digunakan.
Menurut Arisandi, Pemprov Jabar menggunakan PP Nomor 14 Tahun 1958 tentang Kesejahteraan Buruh untuk diterapkan di Jalan Ampera.
“Seiring berjalannya waktu, usai kemerdekaan saat itu sudah ada rumah-rumah di kawasan Jalan Ampera. Kemudian, Pemprov minta sewa kepada warga. Warga minta pensertifikatan. Setelah itu, ada survei yang menyatakan bahwa Jalan Ampera ini tidak terdaftar sebagai milik Pemprov Jabar, di perburuhan juga tidak ada. Maka, terbitlah sertifikat pada tahun 1993. Tapi, pada 1999 Pemprov Jabar mencatatkan Jalan Ampera ini sebagai aset,” ungkap Arisandi.
Arisandi menegaskan, Pemprov Jabar sudah menerima uang pemasukan negara dari masyarakat yang saat itu memohonkan sertifikat.
“Pemprov Jabar itu sudah terima pemasukan negara dari masyarakat Jalan Ampera yang membuat permohonan sertifikat. Kemudian, pada 2012 tiba-tiba ada pemblokiran dari BPN atas permintaan Pemprov Jabar, sehingga masyarakat mau jual atau menjaminkan sertifikat itu tidak bisa. Pemprov sudah mendzolimi masyarakat selama bertahun-tahun!” katanya.(Fan)





