Tujuh Langkah Penepis Tindak Bullying di Sekolah
Oleh: Okta Efriyadi, S. Pd
Guru MTsN 12 Cirebon
Bullying atau perundungan di sekolah merupakan salah satu tantangan serius dalam dunia pendidikan modern. Fenomena ini tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga verbal, psikologis, bahkan cyberbullying. Menurut Olweus (2013), bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban. Dampaknya sangat luas: korban bisa kehilangan rasa percaya diri, mengalami gangguan emosional, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial.
Bullying di sekolah merupakan masalah sosial dan psikologis yang masih menjadi perhatian serius di dunia pendidikan. Tindakan ini tidak hanya menciptakan suasana belajar yang tidak nyaman, tetapi juga dapat mengganggu perkembangan mental, emosional, dan akademik peserta didik. Menurut data UNICEF, satu dari tiga anak di Indonesia pernah mengalami perundungan di lingkungan sekolah. Fenomena ini menunjukkan bahwa bullying bukanlah persoalan sepele, melainkan membutuhkan langkah-langkah nyata dan sistematis untuk menanggulanginya.
Akhir-akhir ini banyak sekali kasus yang beredar mengenai bullying atau tindakan perundungan sesama siswa di sekolah-sekolah, bahkan yang lebih parahnya lagi korban tindak perundungan tersebut hingga merenggut nyawa. Kasus tindakan bullying terjadi bukan hanya di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA sederajat) saja, bahkan kasus ini terjadi hingga di tingkat Sekolah Dasar (SD). Dalam hal ini kasus bullying harus benar-benar diperhatikan betul dari berbagai pihak dalam mendukung siswa agar merasa aman nyaman dalam proses belajar.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan ramah bagi semua peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan strategi penanggulangan yang tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga preventif dan edukatif. Artikel ini akan membahas tujuh langkah efektif untuk menepis tindakan bullying di sekolah, mulai dari pendidikan karakter hingga peran komunitas sekolah.
Langkah pertama dalam menepis tindak bullying adalah memberikan edukasi dan pemahaman yang menyeluruh tentang bullying kepada seluruh warga sekolah. Banyak siswa dan bahkan guru yang belum memahami bahwa ejekan, pengucilan, atau olok-olok tertentu sudah tergolong perundungan. Menurut Wiyani (2012), pencegahan bullying harus dimulai dari peningkatan kesadaran moral dan empati peserta didik terhadap teman sebayanya. Sekolah dapat menyelenggarakan sosialisasi rutin, seperti seminar, kampanye poster, drama sekolah, atau integrasi nilai anti-bullying dalam kurikulum pendidikan karakter. Dengan pemahaman yang baik, siswa akan lebih berhati-hati dalam berperilaku dan lebih peka terhadap kondisi temannya.
Langkah kedua, Sekolah perlu membentuk tim atau satuan tugas (satgas) anti-bullying yang terdiri dari guru BK, perwakilan siswa, staf, dan perwakilan orang tua. Tim ini bertugas mendeteksi, menampung laporan, dan menangani kasus bullying secara cepat dan bijak. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2021), pembentukan tim anti-kekerasan merupakan bagian dari implementasi Sekolah Ramah Anak (SRA). Tim ini harus memiliki panduan kerja, mekanisme pelaporan rahasia, dan sistem pendampingan psikologis. Dengan adanya tim khusus, sekolah memiliki mekanisme resmi yang tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga memulihkan kondisi psikologis korban.
Langkah ketiga, Sekolah harus menerapkan aturan dan sanksi yang tegas dan edukatif secara tertulis. Aturan tersebut wajib disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah sejak awal tahun ajaran. Menurut Smith & Sharp (1994), aturan yang jelas dan konsisten akan menumbuhkan kesadaran kolektif serta mengurangi angka pelanggaran. Sanksi terhadap pelaku tidak harus bersifat menghukum, tetapi lebih bersifat edukatif dan restoratif, misalnya konseling wajib, permintaan maaf terbuka, atau kerja sosial. Selain itu, pendekatan restorative justice penting dilakukan agar pelaku menyadari kesalahannya dan memperbaiki hubungan sosial dengan korban tanpa menimbulkan dendam.
Langkah keempat, penguatan peran guru dan konselor. Guru adalah figur kunci dalam mendeteksi dan menanggapi perundungan. Menurut Rigby (2007), guru memiliki posisi strategis karena setiap hari berinteraksi langsung dengan siswa dan dapat mengenali perubahan perilaku yang mencurigakan. Guru harus mampu membangun komunikasi terbuka dengan siswa agar mereka merasa aman bercerita.
Konselor sekolah pun harus aktif melakukan pendampingan psikologis, baik bagi korban maupun pelaku. Korban perlu dibantu mengembalikan rasa percaya diri, sedangkan pelaku perlu diarahkan agar memahami dampak buruk dari tindakannya.
Langkah kelima, keterlibatan orang tua dan komunitas di sekolah. Bullying tidak bisa dicegah hanya di sekolah. Diperlukan sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Orang tua perlu diberikan edukasi tentang tanda-tanda anak menjadi korban atau pelaku. Sekolah dapat mengadakan forum komunikasi orang tua (parenting class) dan bekerja sama dengan lembaga psikologi anak atau lembaga perlindungan anak setempat. Menurut Nation et al. (2003), pencegahan bullying yang efektif membutuhkan keterlibatan lintas sektor, termasuk keluarga dan komunitas, agar norma sosial yang terbentuk konsisten di dalam dan di luar sekolah.
Lngkah keenam, Sekolah harus menciptakan iklim sosial yang positif, di mana setiap siswa merasa diterima dan dihargai. Menurut Astuti (2008), lingkungan sekolah yang hangat, penuh empati, dan menjunjung nilai kebersamaan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan sosial. Kegiatan seperti “Hari Anti-Bullying”, “Sahabat Peduli”, atau “Kelas Karakter” bisa menjadi sarana memperkuat solidaritas antar siswa. Di sisi lain, fasilitas fisik juga harus mendukung, misalnya pemasangan kamera pengawas di area rawan dan tersedianya ruang konseling yang nyaman.
Langkah terakhir adalah melakukan evaluasi dan pemantauan berkelanjutan. Program anti-bullying harus dievaluasi minimal setiap semester untuk menilai efektivitasnya. Data laporan, survei siswa, dan hasil konseling dapat digunakan untuk memperbaiki kebijakan ke depan. Menurut Coloroso (2003), pencegahan bullying adalah proses yang berkesinambungan, bukan kegiatan sesaat; diperlukan konsistensi dan refleksi untuk menjaga budaya damai di sekolah.
Bullying bukan sekadar masalah disiplin, tetapi persoalan kemanusiaan yang membutuhkan perhatian dan aksi nyata dari semua pihak. Tujuh langkah di atas mulai dari edukasi dan pemahaman yang menyeluruh tentang bullying, membentuk tim atau satuan tugas (satgas) anti-bullying, menerapkan aturan dan sanksi yang tegas dan edukatif secara tertulis, penguatan peran guru dan konselor, keterlibatan orang tua dan komunitas di sekolah, Sekolah harus menciptakan iklim sosial yang positif, hingga melakukan evaluasi dan pemantauan berkelanjutan merupakan fondasi kuat untuk menciptakan sekolah yang bebas dari perundungan.
Penanggulangan bullying membutuhkan komitmen bersama antara guru, siswa, orang tua, dan masyarakat. Langkah-langkah penepis tindak bullying seperti edukasi, pembentukan tim anti-bullying, penerapan aturan tegas, penguatan peran guru dan konselor, kolaborasi dengan orang tua, penciptaan iklim sekolah positif, dan evaluasi berkelanjutan merupakan strategi yang saling melengkapi. Sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga tempat menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan tanggung jawab sosial. Bila setiap individu berperan aktif, maka lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan bukanlah impian, melainkan kenyataan yang bisa dicapai. Dan dengan langkah-langkah tersebut semoga kedepan tidak terjadi lagi kasus bullying di kalangan pelajar yang mengakibatkan banyak korban yang merenggut nyawa.***



