Opini

Menghancurkan Mitos: PJJ Bukan Pendidikan Kelas Dua

Oleh : Ridho Harta
Dosen Universitas Terbuka (UT) Bandung

Keadaan geografis serta kondisi topografi tidak seharusnya menjadi rintangan bagi siapa pun dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Kita memahami bahwa Indonesia terdiri dari banyak pulau dan memiliki daerah pegunungan dan pesisir yang rumit, melihat kontur daerah khususnya di Jawa Barat yang memiliki berbagai kerumitannya masing-masing, baik di perkotaan, pedesaan, pegunungan, dan pesisir. Hadirnya Uiversitas Terbuka merupakan suatu hal yang sangat strategis dalam persoalan ini. Oleh karena itu, bagaimana kita mengubah paradigma kita tentang Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) bukan sekadar alternatif, akan tetapi suatu hal utama guna mendorong pemerataan pendidikan.
Pengalaman penulis di Universitas Terbuka (UT) Bandung menunjukkan bahwa PJJ yang berkualitas bukan hanya berfungsi sebagai pemindahan kelas ke dunia digital, tetapi juga menciptakan ekosistem pembelajaran yang dinamis, rumit, dan memerlukan komitmen jangka panjang. Pada kesempatan ini, penulis ingin menceritakan pengalaman seorang ibu muda di Kabupaten Pangandaran yang berhasil menyelesaikan tugas kuliah sambil merawat anak dan membantu suaminya mencari nafkah. Seorang pekerja pabrik di Majalaya, Kabupaten Bandung, juga melanjutkan kuliahnya secara daring setelah menyelesaikan shift malamnya. Mereka adalah contoh baru mahasiswa di pendidikan tinggi Indonesia, di mana batasan geografis serta kesibukan pekerjaan tidak lagi menjadi penghalang bagi keinginan mereka untuk belajar. Dalam konteks ini, Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) harus kita angkat dari status alternatif menjadi pilar strategis bagi pemerataan pendidikan, khususnya di Jawa Barat dengan topografi yang bervariasi.
Pada kajian ini, dasar teoritis yang digunakan oleh penulis mengacu pada Teori Jarak Transaksional oleh Michael G. Moore. Teori ini menilai jarak transaksional sebagai situasi psikologis dan komunikasi antara pengajar dan siswa yang bukan merupakan kelemahan, melainkan sebuah celah yang perlu diatasi. Jembatan untuk mengatasi celah ini dibangun melalui tiga unsur, yaitu dialog yang mendalam, struktur pembelajaran yang kuat, dan otonomi dalam belajar bagi mahasiswa. Universitas Terbuka (UT), dengan lebih dari 750. 000 mahasiswa terdaftar (Data Semester I 2024/2025), menunjukkan peran penting PJJ dalam pendidikan di Indonesia. Sebagai unit program belajar jarak jauh, UT Bandung saat ini mengelola dan mendukung lebih dari 52.000 mahasiswa yang tersebar dari pusat keramaian hingga daerah terpencil, khususnya di Jawa Barat. Untuk menghubungkan jarak, UT merancang strukturnya dengan cermat, termasuk modul cetak dan digital, tutorial online (tuton), serta sesi tatap muka yang terbatas.
Namun, tantangan terbesar justru terletak pada otonomi belajar mahasiswa itu sendiri. Sebagian besar mahasiswa UT sudah berstatus pekerja, yang tidak hanya memengaruhi kemandirian belajar mereka, tetapi juga memperumit dua hal krusial seperti literasi digital dan kemampuan mengelola waktu.
Berdasarkan pengamatan penulis, banyak dari mereka awalnya kesulitan dalam membagi waktu antara pekerjaan, keluarga, dan target pendidikan. Oleh karena itu, Universitas Terbuka tidak hanya menyediakan materi, tetapi juga meningkatkan dukungan dengan modul Belajar Mandiri yang Efektif dan dorongan dari tutor untuk membantu mereka menyusun jadwal belajar pribadi. Data internal UT Bandung menyatakan bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh pemahaman materi, tetapi juga oleh disiplin dan kemampuan menggunakan semua kanal dialog yang tersedia.
Lantas, bagaimana cara menjaga dan bahkan meningkatkan kualitas di tengah tantangan otonomi serta banyaknya mahasiswa? Solusinya terletak pada upaya membangun komunitas belajar. Di sinilah teori Community of Inquiry (CoI) dikenal relevansinya. Kerangka kerja yang dikembangkan oleh Garrison, Anderson, dan Archer (2000) menjadi semakin penting di era digital. CoI mengedepankan pentingnya menciptakan pengalaman belajar yang berarti melalui tiga elemen yang saling terhubung, yaitu yang pertama, kehadiran kognitif di UT mendukung pembelajaran yang mendalam melalui tuton. Mahasiswa berpartisipasi aktif dengan berdiskusi, menyelesaikan masalah, dan merenungkan pengetahuan yang didapat. Tugas serta ujian dibuat untuk mengasah kemampuan analisis, bukan hanya sekedar menghafal.
Kedua, kehadiran sosial berfungsi untuk mengatasi ‘kesepian akademik’ di mana forum diskusi, grup di media sosial, dan kegiatan virtual di UT Bandung telah berhasil menciptakan rasa kebersamaan. Saya melihat langsung bagaimana mahasiswa dari Subang dapat bekerjasama dengan teman dari Garut, menciptakan jejaring dan sudut pandang baru yang memperkaya pengalaman belajar.
Yang ketiga, kehadiran pengajar menunjukkan bahwa peran dosen dan tutor telah berubah dari sumber pengetahuan menjadi fasilitator dan pendamping. Mereka membantu merancang pengalaman belajar, memfasilitasi diskusi, dan memberikan umpan balik yang relevan serta tepat waktu. Penelitian menunjukkan bahwa jika kegiatan tutorial dilakukan secara konsisten, baik di kelas, online, maupun dalam bentuk webinar dengan tutor yang responsif, tingkat partisipasi dan kepuasan mahasiswa meningkat secara signifikan.
Inovasi penting lainnya dalam memantau kualitas adalah sistem JeJaring (Jaringan Elektronik untuk Pembelajaran). JeJaring berfungsi untuk menjaga standar mutu dari pusat hingga ke seluruh penjuru Nusantara.
Agar ekosistem PJJ ini hidup dan memberikan dampak yang luas, kerjasama antara berbagai pihak sangat diperlukan. Komunitas belajar digital yang ideal hanya bisa terwujud melalui dukungan dari ekosistem yang lebih besar, yang pertama dari Pemerintah Daerah, khususnya Pemprov Jabar, dapat bekerja sama untuk memperkuat infrastruktur digital hingga ke daerah terpencil dan menyediakan ruang belajar komunitas, seperti perpustakaan desa atau coworking space, yang terjangkau untuk mahasiswa.
Yang kedua, industri juga perlu berperan aktif dalam mendorong rancang kurikulum mikro yang disusun oleh Program Studi, khususnya di Universitas Terbuka sehingga sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Keterlibatan ini memastikan bahwa lulusan PJJ tidak hanya memahami teori, tetapi juga siap untuk berkontribusi di dunia profesional.
Yang ketiga, sebagai institusi, Universitas Terbuka harus terus mempercepat transformasi digital. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil adalah mengembangkan konten video interaktif dan memanfaatkan Kecerdasan Artifisial (AI). Dalam konteks ini, AI dapat berfungsi sebagai sistem pendukung keputusan akademik yang memberikan peringatan dini dan rekomendasi belajar yang disesuaikan untuk setiap mahasiswa, sehingga proses pendampingan menjadi lebih efisien.
Pada akhirnya, pendidikan jarak jauh yang berkualitas bukanlah sebuah mimpi. Dengan dasar teori yang kuat, komitmen terhadap inovasi berbasis data, dan kolaborasi yang tulus, kita dapat menjadikan PJJ sebagai pendorong pemerataan pendidikan di seluruh Nusantara. Mari kita ubah ruang digital menjadi jembatan emas, bukan penghalang, untuk mewujudkan Merdeka Belajar bagi setiap anak bangsa, di mana pun mereka berada.***

Related Articles

Back to top button