Nasihat Kematian
Oleh: Imam Nur Suharno
Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kalimat tersebut seringkali kita dengar dari pengeras suara masjid maupun mushola yang mengumumkan atas wafatnya salah seorang warga. Kalimat tersebut sejatinya sebuah nasihat. Jika hari ini kita mendengar pengumuman wafatnya seseorang, suatu saat nanti nama kita yang akan diumumkan.
Kematian akan menyambangi siapa saja yang bernyawa (QS Ali Imran [3]:185), tidak ada tawar menawar, dan masing-masing memiliki batasan waktunya (QS Al-A’raf [7]: 34). Kematian datang bersifat memaksa dan menghampiri setiap manusia meskipun ia berusaha untuk menghindarinya (QS Ali Imran [3]: 154), mengejar siapapun meski berlindung di balik benteng yang kokoh (QS An-Nisa [4]: 78), mengejar siapapun meskipun ia berlari menghindar (QS Al-Jumu’ah [62]: 8), datang secara tiba-tiba (QS Luqman [31]: 34), dan tidak dapat ditunda dan dipercepat (QS Al-Munafiqun [63]: 11).
Kematian tidak mengenal syarat, misalnya, yang paling tua, atau yang paling lama sakit, atau yang sudah menikah. Seringkali kita melayat orang yang meninggal dunia, usianya masih muda, atau dalam keadaan tidak sakit, dan atau belum menikah.
Tidak seorang pun tahu kapan datangnya kematian. Manusia dituntut mempersiapkan diri menghadapinya. Nabi SAW bersabda, “Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR Tirmidzi).
Ketika Nabi SAW ditanya oleh seorang dari Anshar, “Wahai Nabi, siapakah orang yang paling cerdas dan mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan siap menghadapinya. Mereka orang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan di dunia dan kehormatan di akhirat.” (HR Tirmidzi).
Terkait dahsyatnya kematian (sakaratul maut), Nabi SAW bersabda, “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.” (HR Tirmidzi). Dalam hadis lain, “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutra. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang tersobek?” (HR Bukhari).
Dalam atsar (pendapat) para sahabat Nabi SAW. Seperti Ka’ab al-Ahbar berpendapat: “Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Lalu, seorang laki-laki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itu pun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa.”
Kemudian, Imam Ghozali berpendapat: “Rasa sakit yang dirasa kan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke selu ruh anggota tubuh sehingga bagi orang yang sedang sekarat merasa kan dirinya ditarik-tarik dan dicerabuti dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki.”
Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran [3]: 102).
Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tetapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah SAW mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan. (HR Tirmidzi).
Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Karena itu, “Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 197).
Dikisahkan bahwa malaikat maut (Izrail) bertemu dengan Nabi Sulaiman AS. Ia datang dengan bentuk manusia sehingga tak seorang pun yang mengetahui kedatangannya selain Nabi Sulaiman. Saat itu Nabi Sulaiman sedang berkumpul dengan beberapa orang sahabatnya. Saat malaikat maut hendak pergi ia memandang salah seorang sahabat Nabi Sulaiman dengan pandangan yang aneh, lalu pergi.
Setelah malaikat maut pergi, sahabat Nabi Sulaiman itu bertanya, “Wahai Nabiyullah, mengapa ia memandangiku seperti itu?” Jawab Nabi Sulaiman, “Ketahuilah, dia itu adalah malaikat maut.”
Kemudian sahabat Nabi Sulaiman itu berkata, “Wahai Nabi, tiupkanlah angin dengan kencang, sehingga angin itu membawaku ke puncak negeri India, sesungguhnya aku berfirasat buruk.”
“Apakah engkau akan lari dari takdir jika maut akan menjemputmu?” tanya Nabi Sulaiman. “Sesunguhnya Allah memerintahkan kita untuk mencari sebab-sebabnya. Dan, aku yakin bahwa engkau akan mengabulkan permintaanku.” kata sahabat Nabi Sulaiman itu. Kemudian, Nabi Sulaiman memerintahkan kepada angin untuk membawanya ke tempat yang diinginkan.
Selang beberapa saat malaikat maut datang, Nabi Sulaiman bertanya, “Apa urusanmu dengan salah seorang sahabatku, mengapa engkau pandangi dia seperti itu?”
Malaikat maut menjawab, “Aku memandanginya seperti itu dikarenakan ia tercatat didaftar kematian bahwa ia akan mati di sebuah negeri di India. Aku heran, bagaimana ia dapat pergi ke sana sedangkan ia ada bersamamu? Kemudian, di tempat yang telah ditentukan, pada waktu yang telah digariskan kulihat ia datang kepadaku dan kucabut nyawanya.”
Kisah di atas mengingatkan kepada kita bahwa malaikat maut akan selalu mengintai siapa saja yang masa kontraknya akan berakhir di dunia ini. Jika masa kontraknya habis maka tak seorang pun dapat lari darinya.
“.… Maka, apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 34). Dalam ayat lain Allah SWT menegaskan, “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (Q.S. Qaf [50]: 19).
Lari kepada dokter apabila sakit menimpa, lari kepada makan apabila rasa lapar datang, lari kepada minum apabila rasa haus menghampiri. Lalu, lari kepada siapa apabila kematian akan menjemputmu? Sungguh, tak seorang pun dapat lari darinya sekalipun berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 78).
Oleh karena itu, sebelum masa kontrak berakhir, “Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan.” (H.R. Tirmidzi).
Semoga Allah membimbing kita kaum Muslimim agar mampu menangkap setiap nasihat yang datang sehingga pada saat berakhirnya masa kontrak nanti dalam keadaan husnul khotimah. Amin.***





