Opini

Menjernihkan Pikiran, Menyelamatkan Jiwa: Refleksi Hari Kesehatan Nasional

Menjernihkan Pikiran, Menyelamatkan Jiwa: Refleksi Hari Kesehatan Nasional
Oleh: Haerul Tamami
Mahasiswa UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Setiap tanggal 12 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN). Momentum ini bukan hanya sekadar ajakan menjaga tubuh agar tetap bugar, tetapi juga menjadi refleksi bersama akan pentingnya menjaga kesehatan mental—aspek yang sering kali terabaikan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern. Tahun 2025 ini, refleksi HKN menjadi semakin relevan karena semakin banyak kasus dan perbincangan tentang depresi, overthinking, dan kecemasan berlebih, terutama di kalangan anak muda.
Hari-hari ini, kita hidup dalam era yang serba cepat, penuh tuntutan, dan kompetitif. Media sosial menjadi ruang yang menekan banyak orang untuk tampil “baik-baik saja” meski sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Fenomena ini seolah menggambarkan wajah baru dari krisis yang diam-diam merongrong generasi muda: krisis kesehatan mental.
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental adalah kondisi sejahtera di mana individu mampu menyadari potensinya, bekerja secara produktif, dan berkontribusi terhadap lingkungannya. Namun, data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) menunjukkan bahwa prevalensi gejala depresi tertinggi justru ditemukan pada kelompok usia muda, yakni 15–24 tahun.
Banyak kasus tragis yang merefleksikan kondisi ini. Sebagian pemuda memutuskan mengakhiri hidup akibat depresi berat, tekanan sosial, akademik, maupun ekonomi. Fenomena semacam ini bukan sekadar angka statistik, melainkan tanda nyata bahwa pemahaman dan perhatian terhadap kesehatan mental sudah menjadi kebutuhan mendesak.
Para filsuf berpendapat bahwa manusia lebih banyak menderita dalam pikirannya ketimbang dalam kenyataan yang sesungguhnya. Sementara psikolog David J. Lieberman dalam bukunya The Psychology of Emotion menegaskan bahwa “pikiran dan sudut pandang (persepsi) adalah kunci dari kesehatan mental.” Pikiran bukan sekadar aktivitas otak, melainkan kekuatan yang mampu membentuk realitas hidup seseorang.
Rasa cemas, overthinking, dan depresi sering berakar dari pikiran yang tidak jernih serta persepsi yang keliru dalam menafsirkan peristiwa hidup. Dalam buku The Miracle of Positive Thinking dijelaskan bahwa pikiran manusia tunduk pada hukum tarik-menarik (the law of attraction): ketika kita fokus pada hal-hal positif seperti rasa syukur, ketulusan, dan kebahagiaan, maka energi positif itu akan menarik pengalaman yang baik pula dalam hidup kita. Sebaliknya, fokus pada pikiran negatif hanya akan memperkuat tekanan batin.
Filsafat Stoikisme juga mengajarkan hal serupa: kita tidak bisa mengendalikan semua peristiwa, tetapi kita bisa mengendalikan cara pandang dan respons kita terhadapnya. Misalnya, ketika seorang mahasiswa gagal mendapatkan nilai sempurna, ia bisa memilih untuk memaknainya sebagai dorongan untuk belajar lebih giat, bukan sebagai tanda kegagalan. Mengubah sudut pandang berarti mengubah arah kehidupan.
Peringatan Hari Kesehatan Nasional 2025 seharusnya menjadi momen reflektif bagi kita semua. Di tengah kesadaran akan pentingnya menjaga tubuh dari penyakit fisik, kita juga perlu mengingat bahwa jiwa yang sehat adalah bagian tak terpisahkan dari tubuh yang kuat.
Menjaga kesehatan mental bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk mengenali diri sendiri. Dengan semakin meningkatnya kasus depresi dan kecemasan di kalangan remaja, sudah saatnya HKN menjadi ajakan nasional untuk lebih “aware” terhadap kesejahteraan batin.
Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan antara lain melatih kesadaran diri (self-awareness) dengan rutin melakukan refleksi atas perasaan dan pikiran, berpikir positif dan menanamkan rasa syukur dalam keseharian, menjaga keseimbangan hidup, dengan mengatur waktu istirahat, belajar, dan hiburan secara proporsional, berani mencari bantuan profesional, seperti psikolog atau konselor, saat menghadapi tekanan berat, dan menjalin komunikasi yang sehat dengan keluarga dan teman untuk menghindari perasaan terisolasi.
Kesehatan mental adalah fondasi kesejahteraan hidup yang tak kalah penting dari kesehatan fisik. Depresi, overthinking, dan rasa cemas berlebihan sering kali bersumber dari pikiran yang tidak dikelola dengan bijak. Oleh karena itu, menjaga kejernihan pikiran dan memperbaiki cara pandang menjadi langkah penting dalam membangun keseimbangan diri.
Peringatan Hari Kesehatan Nasional tahun ini mengingatkan kita bahwa menjaga jiwa adalah bagian dari menjaga bangsa. Sebab bangsa yang kuat tidak hanya diukur dari fisik masyarakatnya, tetapi juga dari ketenangan dan ketangguhan mental generasinya.***

Back to top button