Tersisih dari Data, Tertinggal dari Perhatian, Kisah Tiga Warga Kecomberan yang Berjuang di Tengah Sakit dan Janji Bantuan
kacenews.id-CIREBON-DI balik hiruk pikuk pembangunan dan program bantuan sosial yang digembar-gemborkan pemerintah, ada satu sudut kecil di Desa Kecomberan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, yang seakan luput dari radar keadilan sosial.
Tiga keluarga di Blok Kecomberan Barat menjalani hari-hari mereka bukan dengan harapan besar, melainkan dengan kesabaran, di tengah sakit, kemiskinan, dan data yang tak berpihak.
Di rumah sederhana berlantai tanah, Rokani (58 tahun) duduk bersandar di kursi. Tubuhnya sering gemetar karena asam urat yang tak kunjung sembuh.
“BPJS saya ada, tapi sudah nggak aktif tiga bulan ini,” ucapnya pelan.
Tanpa kartu aktif, setiap kali ia ke puskesmas, biaya pengobatan jadi beban tambahan. Ironisnya, ia belum pernah sekalipun menerima bantuan sosial apa pun. “Saya sering lihat tetangga dapat bantuan, tapi saya enggak pernah. Katanya data saya enggak masuk,” tambahnya, lirih.
Di balik kalimat itu, terselip kenyataan pahit, di tengah sistem digitalisasi bantuan yang canggih, masih banyak nama yang tertinggal di belakang layar.
Tak jauh dari rumah Rokani, Meni Maniah (45 tahun) menanggung beban hidup yang lebih berat. Ia janda dengan dua anak yang masih sekolah, satu di SMK dan satu di SMP.
Tubuhnya lemah, bekas operasi tumor sering kambuh, sementara BPJS-nya juga tak aktif.
Dulu, ia sempat menerima Program Keluarga Harapan (PKH). Tapi sejak September lalu, bantuannya dihentikan mendadak. “Dengan alasan katanya saya terindikasi judi online. Saya bahkan enggak punya HP bagus, enggak ngerti internet,” ungkapnya.
Ironi sosial itu membuatnya bingung. Di tengah perjuangan melawan penyakit, ia juga harus membuktikan bahwa dirinya bukan pelaku kejahatan digital. Dari pihak desa, ia dijanjikan BPJS-nya aktif kembali Desember nanti. “Katanya mau dioperasi lagi, tapi saya nunggu dulu, takut nggak punya biaya,” katanya lirih.
Sementara di rumah kecil lainnya, bu Tari (70 tahun) menjalani sisa hidupnya dengan semangat yang nyaris padam. Ia baru saja pulang dari RS Gunung Jati usai menjalani perawatan kanker payudara.
“Bulan depan mau kontrol lagi,” katanya dengan suara lemah.
BPJS-nya memang aktif, tapi bantuan sosial? Tak pernah ada. “Enggak pernah dapat apa-apa. Padahal saya butuh banget,” ucapnya pelan.
Tari hidup sendirian. Anak-anaknya merantau dan jarang pulang. Kadang tetangga mengantarkan makanan, kadang tidak. Di usianya yang renta, ia bergantung pada belas kasih sekitar.
Di tengah ketidakadilan itu, ada Popon, warga yang tak tega melihat tiga tetangganya berjuang sendirian. Ia sudah berulang kali mencoba mengajukan bantuan bagi mereka ke pihak desa dan Dinas Sosial.
Namun jawabannya selalu sama yakni desil mereka tinggi, dianggap mampu.
“Lucu saja. Mereka yang sakit, tinggal di rumah reyot, malah dianggap mampu. Yang dapat bantuan malah yang masih punya mobil atau saudara perangkat desa,” ungkap Popon.
Ia tak menyerah begitu saja, ke depan akan mengajukan lagi ke instandi terkait. “Saya akan ajukan lagi ke Dinsos. Kalau perlu saya datangi langsung, biar mereka lihat sendiri keadaan di lapangan,” ungkapnya.
Kisah Rokani, Meni, dan Tari adalah potret kecil dari persoalan besar, ketimpangan data sosial di akar rumput. Sistem verifikasi yang seharusnya berpihak pada warga rentan, justru sering menyingkirkan mereka karena sekadar perhitungan angka. Padahal, bantuan sosial bukan sekadar data di komputer, ia adalah napas kehidupan bagi mereka yang berjuang di antara sakit dan kelaparan.(Mail)





