Ratusan Guru Honorer Madrasah di Cirebon Mengajar Tanpa Status yang Jelas
kacenews.id-CIREBON-DI balik semangat mencerdaskan generasi bangsa, masih banyak guru honorer madrasah di Kabupaten Cirebon yang berjuang dalam bayang-bayang ketidakpastian. Mereka mengabdi dengan sepenuh hati, meski kesejahteraan yang layak masih menjadi harapan panjang.
Kondisi ini terutama dirasakan para guru yang mengajar di madrasah swasta, yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding madrasah negeri. Sementara di madrasah negeri sebagian besar tenaga pendidiknya sudah berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), di madrasah swasta justru masih didominasi guru honorer tanpa kepastian status.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Cirebon, H. Slamet, tak menutupi keprihatinannya.
“Kalau di madrasah negeri, hampir 99 persen guru sudah terangkat menjadi PPPK. Tapi di madrasah swasta, kondisinya jauh berbeda. Masih banyak guru yang mengabdi dengan penghasilan minim, tanpa jaminan kesejahteraan yang jelas,” ujar Slamet, belum lama ini.
Data Kemenag Kabupaten Cirebon mencatat, jumlah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Kabupaten Cirebon hanya 9, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) ada 12, dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) hanya 5.
Selebihnya, ratusan madrasah lainnya berstatus swasta, yang sebagian besar mengandalkan tenaga pengajar honorer.
“Dengan komposisi seperti itu, jelas jumlah guru honorer jauh lebih banyak. Bahkan di banyak madrasah swasta, tidak ada satu pun guru yang berstatus ASN. Ini ketimpangan yang harus menjadi perhatian bersama,” kata Slamet.
Perjuangan di Tengah Keterbatasan
Slamet mengakui, pihaknya terus berupaya mencari jalan agar kesejahteraan para guru honorer mendapat perhatian lebih serius.
Komunikasi intensif dilakukan dengan pemerintah daerah, termasuk Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, untuk membahas skema dukungan, mulai dari hibah daerah hingga sinergi dengan Baznas.
“Kita dorong terus agar ada anggaran. Tapi ya, kita juga memahami kemampuan fiskal daerah yang terbatas. Meski begitu, sinyal positif sudah ada. Guru DTA dan guru honorer mulai diperhitungkan, tinggal menunggu realisasi di anggaran tahun mendatang,” ungkapnya.
Di antara mereka, posisi paling rentan justru dialami guru Diniyah Takmiliyah Awaliyah (DTA). Berbeda dengan guru madrasah formal yang masih bisa mengandalkan dana BOS, guru DTA belum memiliki payung anggaran sama sekali.
“Guru DTA ini belum ada cangkolan anggarannya. BOS belum menyentuh mereka. Ini yang sedang kita perjuangkan, agar ke depan bisa dianggarkan, minimal lewat hibah atau dukungan daerah lainnya,” tambah Slamet.
Meski dihadapkan pada berbagai keterbatasan, para guru honorer madrasah tetap mengajar dengan penuh dedikasi. Di ruang-ruang kelas sederhana, mereka menyalakan semangat belajar dan membina karakter generasi muda tanpa pamrih.
“Intinya, kita belum bisa maksimal. Tapi kita tidak akan berhenti memperjuangkan mereka. Ini bagian dari tahapan kita menuju kesejahteraan yang lebih baik bagi para pendidik,” pungkas Slamet.
Di Kabupaten Cirebon, perjuangan guru honorer madrasah adalah cermin kesetiaan pada panggilan hati. Mereka bukan sekadar mengajar, tetapi menjaga nyala pendidikan agama di tengah masyarakat, meski tanpa kepastian penghasilan dan status.
Dan selama semangat itu masih menyala, mereka tetap menjadi wajah sejati dari pendidikan, tulus, sabar, dan tak kenal menyerah.***





