Ragam

Desa Sadar Hukum Belum Optimal, Banyak Desa di Majalengka Belum Memasang Papan Penanda

kacenews.id-MAJALENGKA-Hingga tahun 2025, sebanyak 343 desa di Kabupaten Majalengka telah ditetapkan sebagai Desa Sadar Hukum. Penetapan terbaru diberikan kepada 30 desa melalui SK Bupati Majalengka Nomor 100.3.3.2/KEP.617-HUKUM/2025 tentang Desa/Kelurahan Binaan Sadar Hukum Kabupaten Majalengka Tahun 2025.
Berdasarkan data dari Bagian Hukum Setda Majalengka, program Desa Sadar Hukum telah berjalan sejak tahun 2010. Pada 2015, beberapa desa seperti Sindangpanji dan Cisoka di Kecamatan Cikijing serta Gununglarang dan Cikidang di Kecamatan Bantarujeg sudah lebih dulu memperoleh status tersebut.
Dari total desa sadar hukum, 161 desa ditetapkan melalui SK Bupati, 151 desa melalui SK Gubernur, dan 75 desa oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Selain itu, terdapat 87 kelompok masyarakat sadar hukum (Kadarkum) yang turut aktif dalam penyebarluasan pemahaman hukum di tingkat desa.
Namun, di lapangan, pelaksanaan fungsi desa sadar hukum belum berjalan maksimal. Banyak desa belum memasang papan penanda “Desa Sadar Hukum”, bahkan sebagian masyarakat masih lebih memilih menyelesaikan persoalan hukum secara informal melalui tokoh masyarakat atau pihak yang mereka percayai, bukan melalui perangkat desa.
Salah satunya adalah Desa Pakubeureum, yang sudah lama berstatus desa sadar hukum tetapi belum memiliki papan nama resmi. Masyarakat di desa ini masih cenderung mencari bantuan hukum kepada tokoh setempat yang dianggap mampu membantu.
“Plang di desa kami belum ada, yang minta bantuan penyelesaian persoalan banyak yang datang ke rumah karena mungkin kedekatan dan tentu gratis, he he,” ujar Asep Trisno, Anggota BPD Desa Pakubeureum.
Sementara itu, Abduh Nugraha, seorang advokat di Majalengka, menjelaskan bahwa Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Persada merupakan satu-satunya lembaga bantuan hukum di Majalengka yang telah memiliki akreditasi A. LBH tersebut, menurutnya, aktif mengadakan pelatihan dan penyuluhan hukum bagi masyarakat, namun sebagian besar kegiatan masih bergantung pada anggaran dari Kemenkumham, bukan dari APBD atau APBDes.
“Kemarin LBH Persada yang diketuai Pa Agus pernah menemui Bupati dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa karena anggaran pelatihan untuk hal tersebut ternyata adanya di Dana Desa. Namun hingga kini pelatihan belum terlaksana karena desa harus mengalokasikan anggaran terlebih dulu melalui APBDes,” ujar Abduh.
Belum Dibekali Pelatihan
Abduh menilai, sebagian besar desa yang telah memperoleh SK sebagai Desa Sadar Hukum belum dibekali pelatihan teknis mengenai tata cara pencatatan, penanganan, dan pelaporan kasus hukum yang dihadapi masyarakat. Akibatnya, predikat desa sadar hukum masih bersifat administratif tanpa disertai kemampuan nyata dalam memberikan layanan hukum di tingkat desa.
“Idealnya memang ada pelatihan untuk setiap desa sehingga mereka bisa mendapatkan sertifikat agar paham dan legal menangani persoalan kasusnya,” ungkap Abduh Nugraha.
Ia menegaskan, setiap desa yang baru memperoleh SK sadar hukum seharusnya langsung mendapatkan pelatihan dari instansi terkait agar mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Menurutnya, jangan sampai dana yang sudah dianggarkan dalam APBDes untuk kegiatan hukum tidak digunakan secara efektif.
Program Desa Sadar Hukum sejatinya bertujuan memperkuat kesadaran hukum masyarakat di tingkat akar rumput. Namun tanpa pembinaan dan pelatihan yang memadai, status “sadar hukum” dikhawatirkan hanya akan berhenti pada formalitas semata tanpa dampak nyata bagi masyarakat.(Tat)

Related Articles

Back to top button