Peran Pasif Advokat pada Fase Penyidikan: Sisi Lemah Due Process Of Law
Oleh : Dudung Indra Ariska
Rangkaian kerja dalam skema penyidikan dalam hukum pidana formil (hukum acara pidana) merupakan fase strategis untuk menentukan arah peta jalan menuju proses pembuktian atas dugaan telah terjadi perbuatan suatu delik. Pada fase ini, aparat penegak hukum (penyidik) dengan kewenangan formil dan potensi dirinya bekerja optimal untuk mengungkap peristiwa tindak pidana dengan cara mengumpulkan barang bukti dan keterangan guna menetapkan tersangka pelaku delik.
Akan tetapi, fase penyidikan juga menjadi area beresiko bagi pelanggaran hak asasi manusia karena posisi tersangka berada dalam situasi yang lemah, baik secara psikologis maupun struktural. Dalam konteks inilah, advokat hadir sebagai the guardian of due process untuk menjaga dan memastikan hak-hak tersangka tidak terlanggar. Meskipun demikian, praktik hukum acara pidana di Indonesia (civil law system), peran advokat pada tahap penyidikan cenderung diposisikan secara pasif, berbeda dengan sistem hukum common law yang memberikan peran lebih aktif kepada penasihat hukum sejak awal interogasi.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Apakah posisi advokat yang pasif pada tahap penyidikan sudah cukup memberikan perlindungan hukum yang memadai untuk menjaga hak hak tersangka dalam bingkai prinsip keadilan? Sebagai bagian dari sistem penegakan hukum, keberadaan advokat tidak bisa dipisahkan dan merupakan salah satu pilar penting dalam sistem peradilan di Indonesia. Kedudukan dan peran advokat dikonstruksikan secara normatif dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan bahwa advokat adalah profesi yang berstatus sebagai penegak hukum yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum serta keadilan. Kedudukan ini menempatkan advokat sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya, yaitu hakim, jaksa, dan polisi, dengan fungsi utama memberikan bantuan hukum kepada masyarakat.
Sebagai penasehat hukum, advokat memberikan arahan hukum kepada klien agar hak dan kewajibannya dapat terlindungi. Sebagai pembela kepentingan hukum klien, kehadiran advokat berkewajiban memastikan bahwa proses peradilan berjalan adil dan tidak diskriminatif, sekaligus menguji kebenaran alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum. Sebagai pengawal keadilan (officium nobile) profesi advokat dipandang mulia karena selain membela kepentingan klien, advokat juga dituntut untuk berperan aktif dalam mewujudkan keadilan substantif dan sebagai mitra penegak hukum.
Meskipun sering berada pada posisi berseberangan dengan penyidik atau jaksa, advokat tetap berkedudukan sebagai mitra dalam rangka pencarian kebenaran materiil dan penegakan hukum yang adil. Selain hal tersebut, peran advokat tidak hanya bersumber dari undang-undang, tetapi juga memiliki basis filosofis yang kuat. Dalam bingkai due process of law, advokat sebagai pihak yang menjamin bahwa hak-hak tersangka maupun terdakwa dihormati. Prinsip audi etalteram partem (dengarkan juga pihak lain) hanya dapat berjalan bila advokat menjalankan perannya secara efektif.
Kedudukan advokat dalam fase penyidikan menurut; Pasal 54 KUHAP menjelaskan bahwa tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum, Pasal 55 KUHAP menerangkan bahwa tersangka/terdakwa berhak memilih penasihat hukum sendiri sedangkan Pasal 56 KUHAP merumuskan jika ancaman pidana berat dan tersangka tidak mampu, penyidik wajib menunjuk penasihat hukum.
Meskipun kedudukan dan peran advokat yang dikonstruksikan dalam KUHP cukup memadai, akan tetapi dalam prakteknya pada fase penyidikan peran advokat pasif, karena Advokat hanya boleh hadir mendampingi, memberikan nasihat hukum, dan mengajukan keberatan, Advokat tidak memiliki kewenangan untuk menginterogasi saksi/tersangka, sehingga sifatnya lebih ke arah passive watchdog, Advokat tidak bisa mencegah secara langsung jika penyidik melakukan tekanan, efektivitas advokat sangat tergantung pada itikad baik aparat, pada fase penyifikan advokat tidak dapat menghalangi terjadinya pengungkapan buktiyang diperoleh dengan melanggar hak tersangka seringkali masih digunakan di persidangan.
Dalam kontek demikian, peran pasif advokat pada fase penyidikan merupakan sisi lemah dalam penegakan due process of law. Asas due process of law merupakan prinsip fundamental dalam penyelenggaraan hukum modern yang menegaskan bahwa setiap tindakan negara yang membatasi ataumerampas hak-hak warga negara hanya dapat dilakukan melalui prosedur hukum yang adil, sah, dan rasional. Secara historis, asas ini berakar dari dokumen Magna Charta tahun 1215 di Inggris yang menegaskan bahwa tidak seorang pun boleh dirampas kebebasannya atau hak miliknya kecuali melalui law of the land atau proses hukum yang sah. Prinsip tersebut kemudian berkembang dalam sistem hukum Anglo-Saxon, khususnya dalam Konstitusi Amerika Serikat, dan kini diakui secara universal dalam doktrin negara hukum (rule of law) maupun dalam instrumen hak asasi manusia.
Dalam konteks substansi, hasil rangkuman dari pandangan Erwin Chemerinsky – William W. Van Alstyne, Steven G. Calabresi, menerangkan bahwa due process of law memiliki dua dimensi utama, yakni procedural due process dan substantive due process.
Prinsip due process of law secara eksplisit maupun implisit tercermin dalam sistem hukum Indonesia. Beberapa ketentuan yang dapat dijadikan landasan yuridis antara lain Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum”, Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945: negara wajib melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan peradilan bebas dari intervensi dan wajib menegakkan hukum serta Keadilan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memuat jaminan prosedural, misalnya hak tersangka untuk mendapatkan penasihat hukum (Pasal 54), larangan penyiksaan (Pasal 117 ayat (1)), serta asas praduga tk bersalah (Pasal 8 ayat
Dengan kerangka pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa due process of law tidak hanya menjadi asas yang bersifat universal, tetapi juga memperoleh legitimasi konstitusional dan yuridis dalam sistem hukum Indonesia.
Process of law berfungsi sebagai fondasi utama dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis, berkeadilan, dan menjunjung tinggi martabat tersangka. Pasifnya advokat dalam penyidikan di Indonesia mencerminkan warisan sistem inquisitorial masih menjadi midel yang menempatkan penyidik sebagai pusat kegiatan pencarian kebenaran materil.
Advokat adalah salah satu pilar penegakan hukum yang berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan hak individu. Pada tahap penyidikan, peran advokat di Indonesia masih bersifat pasif, berbeda dengan sistem common law yang lebih progresif dan menegakan agar prinsip due process of law dan equality of arms benar-benar terwujud.
Polisi di sistem common law memiliki keleluasaan dalam melakukan investigasi, tetapi setiap orang yang ditangkap berhak atas akses segera kepada pengacara (misalnya Miranda Rights di AS). Indonesia perlu memperkuat posisi advokat pada setiap tahapan pemeriksaan proses peradilan, termasuk pada tahap penyidikan melalui reformasi regulasi.***


