Guru Bukan Penjahat tapi Penjaga Peradaban
Guru, Sekolah, Penjaga Peradaban
Oleh: Dadan Satyavadin
Pemerhati Kebijakan Publik dan Pendidikan
Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan kembali tercoreng oleh kabar yang menggetarkan nurani. Kepala SMAN 1 Cimarga dilaporkan ke polisi oleh orang tua muridnya sendiri hanya karena menampar pelan seorang siswa yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah saat kegiatan Jum’at Bersih.
Tindakan refleks yang lahir dari naluri mendidik dan tanggung jawab moral seorang pendidik justru dituduh sebagai kekerasan. Apakah bangsa ini sudah kehilangan akal sehat hingga teguran kasih seorang guru dianggap pelanggaran HAM?
Apakah setiap tindakan mendidik kini harus ditimbang dengan pasal hukum, bukan dengan nurani? Padahal, jika kita mau membaca dengan jernih, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menjamin hak perlindungan bagi guru. Pasal 39 ayat (1) menyebut: “Guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas keprofesionalan terhadap ancaman, gangguan, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari peserta didik, orang tua, masyarakat, birokrasi, atau pihak lainnya.”
Lebih lanjut, Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 juga mempertegas perlindungan hukum, profesi, dan keselamatan kerja bagi pendidik yang menjalankan tugas dengan itikad baik. Maka jika seorang kepala sekolah yang mendisiplinkan siswanya justru dikriminalisasi, itu artinya negara dan masyarakat telah abai terhadap amanat hukumnya sendiri. Tindakan kepala SMAN 1 Cimarga bukanlah kekerasan, melainkan pembinaan moral. Sebuah tamparan kasih yang dimaksudkan bukan untuk melukai, tetapi menyadarkan. Sebab dalam dunia pendidikan, ketegasan adalah bagian dari kasih sayang yang mendidik.
Sosiolog Émile Durkheim, bapak pendidikan moral modern menyatakan bahwa “disiplin adalah syarat dari segala kehidupan bermoral.” Tanpa disiplin, manusia tak akan memahami batas antara hak dan kewajiban. Ketika guru menegakkan aturan, sejatinya ia sedang menanamkan nilai moral, bukan menindas. Dan dalam kerangka disciplinary power yang dijelaskan Michel Foucault, kekuasaan yang mendidik justru merupakan bentuk kekuasaan yang produktif membentuk kesadaran dan tanggung jawab. Namun sayangnya, tafsir sempit atas HAM kini kerap dibawa masuk ke sekolah tanpa memahami konteks pendidikan. HAM yang sejatinya bertujuan melindungi dari penindasan justru dipelintir menjadi alat untuk melawan otoritas moral guru. Akibatnya, sekolah kehilangan wibawa, guru kehilangan keberanian, dan siswa kehilangan rasa hormat.
Sekolah bukan ruang kebebasan tanpa batas. Sekolah adalah tempat pembentukan karakter, tempat anak muda belajar menghormati nilai dan memahami konsekuensi. Ketika setiap teguran dianggap kekerasan, maka yang mati pertama kali adalah jiwa pendidikan itu sendiri.
Kasus Kepala SMAN 1 Cimarga menjadi cermin luka bangsa: Guru yang berjuang menjaga nilai justru dilukai oleh tafsir hukum yang dingin. Ia bukan pelaku kekerasan, tapi korban dari salah paham sosial yang menempatkan HAM di atas pendidikan. Jika guru takut menegur, siapa yang akan membentuk karakter generasi muda? Jika setiap tindakan disiplin berujung laporan, bagaimana mungkin sekolah menegakkan nilai moral?
Kita harus bersuara tegas: guru bukan penjahat, guru adalah penjaga peradaban. Sudah saatnya aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan masyarakat menegakkan Undang-Undang Perlindungan Guru bukan hanya di atas kertas, tetapi di lapangan nyata. Sebab, bangsa ini hanya akan kuat jika gurunya dihormati, bukan ditakuti. Dan bila hari ini seorang kepala sekolah dituduh karena menegakkan disiplin, maka esok seluruh guru akan memilih diam dan saat itulah, bangsa ini resmi kehilangan arah moralnya.***




