Waspadai Dampak Panas Ekstrem
GELOMBANG panas yang melanda wilayah Cirebon dan sekitarnya dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar fenomena cuaca biasa. Suhu yang mencapai 37,6°C menandai betapa rentannya daerah ini terhadap perubahan iklim dan dampak lingkungan yang semakin nyata.
Di balik teriknya matahari, ada pesan penting yang harus disadari, bumi sedang memberi peringatan keras. Panas ekstrem bukan hanya membuat warga tak nyaman, tetapi juga mengancam kesehatan publik.
Kasus sakit kepala, batuk, dan radang tenggorokan yang dialami warga merupakan tanda bahwa tubuh manusia tidak sepenuhnya siap menghadapi kondisi ekstrem semacam ini.
Pemerintah daerah, melalui dinas kesehatan dan lingkungan, seharusnya segera meningkatkan sosialisasi tentang pentingnya menjaga hidrasi, membatasi aktivitas luar ruangan pada siang hari, dan menyediakan fasilitas pendingin di ruang publik tertentu.
BMKG telah memberikan penjelasan ilmiah bahwa penyebab utama peningkatan suhu kali ini adalah posisi matahari di selatan garis ekuator serta minimnya tutupan awan.
Namun, faktor alam ini tidak berdiri sendiri. Aktivitas manusia seperti pembukaan lahan tanpa reboisasi, berkurangnya ruang hijau, dan meningkatnya polusi udara memperburuk efek panas di wilayah perkotaan. Karena itu, momentum panas ekstrem ini seharusnya memberikan kesadaran kolektif untuk memperbaiki tata ruang kota, memperbanyak pohon peneduh, dan menekan polusi.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu bersinergi membangun kesadaran lingkungan yang berkelanjutan. Musim pancaroba seharusnya bukan alasan untuk pasrah.
Justru, di saat inilah kita harus lebih disiplin menjaga diri dan lingkungan. Cuaca ekstrem boleh datang dan pergi, tapi ketahanan kita terhadapnya harus terus dibangun melalui kesadaran, kebersamaan, dan tindakan nyata.***




