Opini

Trans7 di Meja Hijau Moral

Oleh : Andrian Saba
Forum Studi Mandiri

Kita sedang menonton babak baru dari drama suram etika penyiaran nasional. Sebuah stasiun televisi tampak tega menukar martabat umat dengan sensasi murahan demi secuil rating. Program “Xpose Uncensored” di Trans7 menelusup ke kehidupan Pondok Pesantren Lirboyo dengan gaya liputan yang cacat informasi dan miskin rasa hormat. Tayangan itu menampar adab santri dan kiai, menyalakan amarah publik yang kemudian berkobar dalam tagar #BoikotTrans7. Momen ini menelanjangi wajah media yang kian kehilangan rasa malu di tengah kegilaan mengejar popularitas.
Ledakan kemarahan publik pecah setelah Trans7 menayangkan episode “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” Judul itu mengandung nada penghakiman yang tajam dan menyebar luas di jagat maya, lalu mengundang amarah dari alumni kaum santri di berbagai daerah. Trans7 tampaknya kehilangan sensitivitas kultural dan moral. Di balik judul sensasional itu terselip sikap pongah media yang mengorbankan kehormatan lembaga suci demi tepuk tangan penonton.
Tayangan “Xpose Uncensored” memamerkan bentuk jurnalisme yang kehilangan keseimbangan dan kejujuran. Narasinya menyesatkan, terkesan sengaja dibentuk untuk menegakkan stereotipe negatif tentang dunia pesantren. Kritik berubah menjadi serangan yang tak bertanggung jawab, menyajikan potongan realitas tanpa konteks yang memadai. Penonton diperlihatkan santri yang berjalan dengan hormat, tetapi disertai komentar yang bernada ejekan. Sebuah langkah gegabah dari media yang bermain-main dengan simbol adab dan spiritualitas tanpa memahami makna di baliknya.
Kekeliruan narasi terasa mencolok saat narator menggambarkan para santri rela “ngesot” untuk menyerahkan amplop kepada kiai yang dipotret hidup mewah. Frasa itu menusuk jantung kesederhanaan pesantren dan merobek nilai keikhlasan yang diwariskan turun-temurun. Tayangan tersebut juga menukar ketulusan menjadi citra korupsi moral, seolah pesantren tempat berseminya transaksi spiritual. Generalisasi yang dilakukan Trans7 menjadi bentuk penghinaan intelektual terhadap institusi yang justru menjadi benteng moral bangsa.
Gelombang fitnah terhadap para kiai semakin liar, merambah sisi pribadi dan menggoyang kredibilitas ulama. Narasi video itu terang-terangan menyebut harga sarung kiai mencapai jutaan rupiah, seakan kemewahan material bisa dijadikan ukuran ketulusan spiritual. Tak berhenti di situ, muncul tuduhan keji yang menyeret keluarga kiai sebagai penerima uang sogokan dari para santri. Ketika nama seorang kiai besar dicatut tanpa dasar dan tanpa izin, media itu sejatinya tengah menggali kubur untuk kredibilitasnya sendiri.
Kecaman terhadap Trans7 meledak seperti badai, meluas dari ruang digital hingga ke meja parlemen. Maman Imanulhaq, anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, angkat suara dengan nada tajam. Beliau menuding tayangan itu menyesatkan publik dan melukai hati umat. Maman juga menegaskan bahwa Trans7 telah terpeleset dalam memahami kultur pesantren yang penuh adab, kesederhanaan, dan penghormatan pada guru. Kekeliruan fatal yang dilakukan Trans7 memperlihatkan betapa dangkalnya empati redaksi terhadap nilai-nilai keagamaan.
Gerakan #BoikotTrans7 di media sosial seketika muncul sebagai bentuk kekecewaan paling jujur dari masyarakat yang merasa diinjak harga dirinya. Di mata publik, Trans7 telah melukai pesantren dengan narasi yang menyesatkan. Boikot ini bukan gerakan spontan, melainkan peringatan keras bagi industri media yang gemar bermain di wilayah sensasi tanpa etika. Kini, kekuatan khalayak tak lagi bisa diremehkan. Mereka bisa mengubah trending topic menjadi senjata moral.
Nahdlatul Ulama, sebagai payung besar dunia pesantren, akhirnya angkat bicara setelah kehormatan pesantren dijadikan bahan sensasi murahan. Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, dengan lantang menyatakan kesiapan menempuh jalur hukum terhadap Trans7. Langkah itu bukan reaksi emosional, tetapi peringatan telak bagi industri penyiaran yang mulai kehilangan etika. Dunia media sepertinya perlu diingatkan kembali bahwa kebebasan tanpa tanggung jawab hanyalah topeng bagi kebodohan yang dikemas rapi dengan label jurnalistik.
Dari Kediri, bara kemarahan itu menjalar cepat. Para alumni Pondok Pesantren Lirboyo tampil sebagai barisan yang tak bisa dipandang enteng, yakni dengan mengajukan tuntutan berlapis dengan nada ultimatum. Mereka menuntut Trans7 meminta maaf secara terbuka kepada para masyayikh, terutama Kiai H. Anwar Manshur, yang namanya terseret tanpa takzim. Mereka juga menegaskan agar seluruh tayangan ditarik dari semua platform dan diganti dengan program edukatif yang memuliakan pesantren. Jika tuntutan ini diabaikan, jalur hukum akan menjadi mimbar berikutnya.
Setelah badai kritik menghantam bertubi-tubi, Trans7 akhirnya tunduk di hadapan opini publik. Production Director, Andi Chairil, muncul di kanal YouTube resmi untuk membacakan permohonan maaf kepada pimpinan Ponpes Lirboyo, Kiai H. Anwar Manshur. Sayangnya, langkah itu hadir saat arus kemarahan sudah menenggelamkan kredibilitas mereka. Permintaan maaf yang seharusnya menjadi tanda penyesalan, tetapi publik mendengar permintaan maaf itu seperti upaya pemadam kebakaran, bukan refleksi tulus atas luka moral yang mereka timbulkan.
Sekalipun permohonan maaf telah diumumkan, luka tetap menganga. Tayangan itu telah menabrak prinsip keberimbangan, hanya menonjolkan potongan provokatif tanpa memberi ruang bagi pesantren untuk menjelaskan makna di balik setiap gerak ta’dhim dan ketundukan santri. Dalam dunia pers yang sehat, kritik seharusnya lahir dari niat mencerdaskan. Dalam kasus ini, yang hadir hanyalah gosip yang dibungkus jargon investigatif.
Kegaduhan yang ditimbulkan Trans7 membuat Ketua KPI, Ubaidillah, ikut berkomentar. Ia menilai program Xpose Uncensored telah keluar jalur dan mencederai nilai luhur penyiaran yang seharusnya menjaga harmoni publik. Media, kata Ubaidillah, mestinya menjadi jembatan pemersatu bangsa, bukan parit yang memisahkan. Mirisnya, tayangan yang menyinggung batin pesantren itu malah menelanjangi wajah media kita sendiri yang miskin kebijaksanaan.
Media punya kekuatan besar. Media bisa membentuk cara orang berpikir atau persepsi tentang apapun. Dalam pemberitaan tentang Lirboyo, Trans7 tampak menggunakan kekuatan itu tanpa kompas moral. Seolah-olah mikrofon adalah mandat untuk menghakimi, bukan amanah untuk memahami.
Kasus ini seharusnya menjadi jeda untuk merenung, bukan sekadar trending sesaat. Di layar kaca, Xpose Trans7 menayangkan bukan hanya sebuah laporan, melainkan potret buram dari media yang kehilangan kesadaran akan tanggung jawab moralnya. Verifikasi diabaikan, konteks sosial dikecilkan, dan rasa hormat terhadap kultur dikorbankan demi tayangan yang gemerlap sesaat. Maka, kebebasan tanpa tanggung jawab hanyalah wajah lain dari anarki informasi yang menyesatkan.***

Related Articles

Back to top button