Menyoroti Konstruksi dan Santri “Nguli”

Oleh : Ibrahim Guntur Nuary
Dosen Tidak Tetap Universitas Muhammadiyah Tangerang
Pertama-tama penulis ingin menyampaikan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya bagi keluarga para santri yang ditinggalkan. Semoga amal ibadah para santri yang menjadi korban keruntuhan diterima oleh Allah Swt. Aamiin!. Pondok pesantren Al-Khoziny yang letaknya di Sidoarjo mengalami kejadian yang sangat menguras air mata. Hingga saat ini santri yang menjadi korban ada 67 orang. Yang diidentifikasi baru 55 jenazah. Timsar terus berupaya untuk mencari apakah masih ada korban yang terjebak di dalam reruntuhan puing-puing bangunan. Semoga tidak ada korban lagi di dalam reruntuhan bangunan yang tidak kokoh tersebut.
Pondok pesantren Al-Khoziny menjadi perbincangan hangat bahkan menjurus kepada hujatan para netizen hingga pengamat konstruksi diberbagai platform media sosial karena dianggap lalai dalam membangun sebuah bangunan. Hingga akibatnya para santri yang menjadi korban. Hal ini selaras dengan berita yang beredar banyaknya santri yang ikut serta membangun pondok pesantren tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Para santri hanya sekadar membantu tanpa mempertimbangkan apa yang akan terjadi nantinya. Walaupun pengakuan pemilik pesantren bahwa para santri tetap diawasi, namun rasa-rasanya tidak etis untuk santri membangun bangunan di pondok pesantren dan banyak netizen yang bilang ‘Santri Kok Nguli’. Ketika menilik pada kenyatannya, memang benar, santri ‘nguli’ pesantrennya sendiri. Berharap dengan membangun pesantren mendapatkan pahala yang banyak atau bahasa kerennya ‘Ngalap Berkah’.
Tujuan utama seorang santri mondok yaitu belajar agama. Bukan melakukan kegiatan lainnya yang diluar itu. Mendapatkan ilmu dari para kiyai mengenai ilmu agama. Semuanya harus profesional dan harus dilakukan dengan tupoksi masing-masing. Sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali. Pada tulisan ini, penulis mencoba untuk membedah ihwal kejadian ini dan mungkin memberikan solusi holistik, agar semuanya terang benderang dan tidak ada nyawa yang melayang lagi. Karena kehilangan nyawa tidak akan bisa digantikan dengan apapun, apalagi dengan uang santunan misalnya. Walaupun mendapatkan uang santunan dari pihak pondok pesantren tapi orang yang dicintai sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, penulis ingin membedah hal-hal yang dirasa tidak relevan lagi.
Ngalap berkah atau Tabarruk adalah mencari keberkahan pada sesuatu hal yang dianggap bisa membawa keberkahan. Terkadang kegiatan ini dapat disalah artikan oleh banyak orang apalagi orang mengerti ihwal agama. Seperti yang terjadi pada pondok pesantren Al-Khoziny. Boleh jadi banyak santri yang dengan sengaja atau disuruh untuk membantu pembangunan pondok pesantren dengan menjadi seorang kuli. Mereka ‘Nguli’ dengan iming-iming ‘Ngalap Berkah’ sungguh ironis. Mungkin jika membangun bangunannya tidak tingkat, tidak menjadi masalah. Misalnya, para santri membangun taman baca atau taman lainnya yang tidak butuh hitung-hitungan konkrit yang nantinya akan mengakibatkan hal yang fatal.
Kemungkinan hal tersebut masih bisa ditolelir karena tidak akan memakan korban jiwa, para tukang pasti akan mengajari. Namun, jika sudah pada bangunan yang bertingkat, maka perlu orang yang ahli membuatnya. Sudah tidak ada lagi yang namanya ‘Ngalap Berkah’ didalamnya, karena pekerjaan bangunan sangat amat berbahaya. Itulah mengapa setiap tukang harus menerapkan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Lagipula, tugas santri yang seperti penulis sindir di awal-awal paragraf adalah belajar agama. Jika seorang santri menjadi pintar dan mampu menerapkan apa yang sudah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Maka, santri tersebut melakukan ‘Ngalap Berkah’ pada sisi lainnya. Menurut hemat penulis, ‘Ngalap Berkah’ harusnya bisa dilakukan pada sisi-sisi lain yang tidak membahayakan diri sendiri. Misalnya yang sering dilakukan oleh para santri pada umumnya yaitu meminum bekas minuman ustad atau kiyai, hormat kepada ustad, dan tidak berkata kasar. Itu pun sudah menjadi berkah tapi yang perlu diingat jangan sampai dibungkus dengan feodalisme.
Seharusnya juga pengurus pondok tidak membiarkan santri ‘Nguli’ demi keberkahan. Apalagi sampai puluhan santri yang ikut serta membantu tukang. Mungkin niatnya ingin menghemat anggaran pembangunan namun disisi lain akan ada nyawa yang terancam. Hingga akhirnya terjadi juga pada pondok pesantren Al-Khoziny yang menelan banyak santri yang menjadi korbannya. Para ustadz meyakini meninggalnya para korban santri dapat Husnul Khotimah karena dalam keadaan sholat.
DOSA KONSTRUKSI
Banyak para ahli konstruksi memberikan tanggapannya atas apa yang terjadi pada pondok pesantren Al-Khoziny ihwal santri yang ikut ‘Nguli’. Tentu responnya beragam namun tetap satu suara bahwa konstruksi bangunan yang dibuat tidak dihitung dengan jelas (Lalai) hingga mengakibatkan gedung bangunan menjadi ambruk. Namun perlu diketahui bahwa tren santri nguli bukan hanya terjadi hari ini saja bahkan Cak Imin (Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat) mengakui bahwa tren santri nguli ini sudah ada sejak dahulu kala dan menjadi tradisi turun temurun. Namun apa daya, tradisi ini menjadi pembunuh santri itu sendiri karena mereka tidak mengetahui apa yang harus dikerjakan walaupun memang sudah dipantau oleh tukang bangunan yang bersangkutan.
Dengan terjadinya bangunan ambruk ini menjadi ‘Dosa Konstruksi’yang dilayangkan oleh para ahli teknik sipil ihwal pondok pesantrean Al-Khoziny. Sudah pasti sebuah bangunan yang ambruk atau runtuh terjadi karena dibangun dengan tidak serius dan bisa jadi asal membangunnya. Penulis memang bukan dari kalangan teknik sipil, secara kasat mata yang namanya membangun sebuah bangunan butuh hitung-hitungan yang konkrit dan wajib yang melakukan pekerjaan tersebut dari yang ahli, tidak bisa ditawar lagi. Salah sedikit maka akan menjadi fatal akibatnya. Adanya santri ‘Nguli’ sampai dengan saat ini yang sudah dianggap tradisi, mestinya dikaji ulang atau ditiadakan. Karena tugas konstruksi seyogianya dan seharusnya diserahkan kepada yang ahlinya.
Menyerahkan kepada yang ahlinya, sudah tentu apa yang dilakukannya akan sesaui dengan kaidah dan juga SOP yang berlaku. Pun, jika ada kerusakan atau bangunan yang runtuh sudah pasti ada penyebabnya. Misalnya, karena gempa bumi atau banjir bandang. Hal itu pun terjadi karena ada penyebabnya (Kausalitas), jangan sampai bangunan runtuh tanpa ada penyebabnya. Itu sudah pasti ada kesalahan dalam membangunnya. Pada prinsipnya semua bangunan memang harus kokoh. Perhitungan yang tepat sudah menjadi harga mati dalam pembangunan, apapun bentuk bangunannya. Apalagi dipakai untuk jangka waktu panjang dan bentuk bangunannya bertingkat.
Pondok pesantren Al-Khoziny menjadi role model buruk dalam pembangunan pesantren dengan melibatkan santri. Tradisi ‘Nguli’ mestinya sudah tidak ada lagi di era sekarang. Pondok pesantren tentu harus secara profesional mendirikan pondok dengan pendanaan yang memadai dan juga dengan ijin yang jelas. Apalagi dari ribuan pesantren yang ada di Indonesia, ternyata hanya kisaran 50 pesantren yang mempunyai ijin membangun, sungguh kenyataan yang miris. Adanya kejadian yang merenggut banyak santri, tentu menjadi pembelajaran berharga agar pengelola pondok pesantrean tidak menggunakan jasa santri lagi, gunakan jasa tukang bangunan yang profesional dan sudah teruji.***