Opini

Potensi Konflik dan Jalan Rekonsiliasi Politik

Syarifuddin
Pemerhati Praktik Komunikasi Politik

Politik adalah ruang yang sarat dinamika. Politik bukan sekadar ajang kontestasi gagasan atau perebutan kursi kekuasaan, melainkan juga arena pertemuan berbagai kepentingan yang kerap menimbulkan gesekan. Dalam sistem demokrasi lokal, gesekan itu bisa muncul di antara aktor-aktor yang sejatinya berada di satu perahu pemerintahan. Situasi semacam ini sering memunculkan wacana disharmoni, bahkan membuka peluang konflik terbuka.
Fenomena disharmoni kepala daerah dan wakil kepala daerah bukanlah hal baru dalam lanskap politik Indonesia. Sejumlah daerah pernah mencatat pengalaman pahit di mana hubungan kerja yang mestinya saling melengkapi justru berubah menjadi rivalitas terbuka. Salah satu contoh menonjol terjadi di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Hubungan antara Bupati Subandi dan Wakil Bupati Mimik Idayana memanas sejak awal masa jabatan. Persoalan bermula dari kebijakan mutasi pejabat ASN yang dilakukan bupati tanpa koordinasi dengan wakilnya.
Mimik merasa perannya diabaikan dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan strategis. Ketidakhadirannya dalam pelantikan pejabat hasil mutasi menjadi penanda jelas atas retaknya hubungan keduanya. Bahkan, Mimik sempat mempertimbangkan melaporkan Subandi ke Kementerian Dalam Negeri. Pemerintah Provinsi Jawa Timur kemudian menyatakan akan terus memantau situasi ini demi mencari titik temu agar roda pemerintahan tidak terganggu (Detik.com, 2025).
Situasi serupa juga mencuat di Kabupaten Jember. Wakil Bupati Djoko Susanto mengaku sering diabaikan oleh Bupati Fawait dalam perumusan kebijakan daerah. Tidak hanya merasa tersisih, Djoko juga melayangkan surat resmi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Menteri Dalam Negeri, berisi aduan terkait kebijakan bupati yang dinilai tidak transparan dan berpotensi melanggar asas pemerintahan yang baik. Perseteruan ini mendapat sorotan luas, karena dinilai sebagai manuver politik elit yang pada akhirnya justru membebani masyarakat. Publik diposisikan sebagai pihak yang dirugikan akibat konflik internal pemerintahan daerah yang semestinya menjadi garda terdepan pelayanan publik (Tirto.id, 2025).
Dua contoh di atas memperlihatkan bagaimana disharmoni antara kepala daerah dan wakilnya tidak sekadar masalah relasi personal, melainkan juga persoalan kelembagaan yang berdampak pada stabilitas pemerintahan dan kualitas pelayanan publik.
Namun, benarkah konflik selalu berwajah negatif? Di titik inilah kita perlu menimbang ulang. Lewis A. Coser (1956) dalam karya klasiknya The Functions of Social Conflict menyebutkan bahwa konflik tidak semata-mata destruktif. Konflik justru dapat menjadi mekanisme sosial yang memperjelas peran, menegaskan batas, dan pada akhirnya mendorong integrasi baru. Dengan kata lain, konflik adalah bagian inheren dari kehidupan politik yang, bila dikelola dengan bijak, bisa menjadi energi positif.
Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya. Konflik politik sering dipahami secara sempit sebagai perpecahan. Media dan publik cenderung melihatnya sebagai drama disharmoni, bukan sebagai proses klarifikasi peran. Padahal, ketika gesekan di antara para pemimpin terjadi, itu bisa menjadi momentum lahirnya distribusi tanggung jawab yang lebih tegas serta evaluasi atas jalannya pemerintahan.
Bahaya terbesar dari konflik yang tidak terkendali adalah polarisasi. Polarisasi dapat menghambat kerja pemerintahan, memperlebar jurang komunikasi politik, dan bahkan menurunkan kepercayaan publik. Jika dibiarkan, publik bisa kehilangan orientasi pada tujuan utama politik: menghadirkan kesejahteraan dan keadilan. Polarisasi yang berlarut-larut tidak hanya merugikan elite, tetapi juga masyarakat luas yang membutuhkan stabilitas.
Di sinilah pentingnya rekonsiliasi. Rekonsiliasi politik bukan sekadar “berdamai” atau “berpelukan” di depan publik. Ini adalah proses mendalam yang menuntut keterbukaan, pengakuan atas perbedaan, dan komitmen untuk menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Rekonsiliasi adalah seni mengubah energi konflik menjadi modal sosial baru untuk melangkah bersama.
Rekonsiliasi politik juga bukan sekadar urusan elite. Publik memiliki peran penting dalam mendorong terciptanya suasana politik yang sehat. Ketika masyarakat menolak larut dalam polarisasi dan lebih menuntut hasil nyata, maka para pemimpin politik terdorong untuk menempuh jalan kompromi. Sebaliknya, bila publik justru ikut menyuburkan narasi perpecahan, rekonsiliasi akan semakin sulit terwujud.
Dalam praktiknya, rekonsiliasi dapat diwujudkan lewat tiga langkah sederhana. Pertama, membangun komunikasi intensif yang jujur dan transparan di antara para pemimpin. Kedua, meneguhkan kembali komitmen pada tujuan bersama, yakni kesejahteraan masyarakat. Ketiga, menciptakan ruang kolaborasi nyata yang memperlihatkan bahwa kerja sama lebih produktif daripada konflik.
Konflik mungkin tidak bisa dihindari, tapi konflik bisa dikelola. Rekonsiliasi adalah pilihan rasional sekaligus moral untuk mengubah potensi perpecahan menjadi kesempatan memperkuat persatuan. Dalam politik lokal maupun nasional, rekonsiliasi bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan nyata. Karena pada akhirnya, sejarah hanya akan mengenang pemimpin yang mampu menjadikan konflik sebagai jalan menuju kebersamaan.
Namun, rekonsiliasi politik bukanlah perkara instan. Rekonsiliasi membutuhkan fondasi yang kuat: kelembagaan demokrasi yang sehat, mekanisme check and balance yang berjalan, serta kultur politik yang menjunjung tinggi etika. Tanpa itu semua, rekonsiliasi hanya berhenti pada simbol, bukan substansi.
Kita bisa melihat, misalnya, bagaimana tradisi politik Indonesia masih sering dikuasai oleh logika transaksional. Rekonsiliasi dijadikan alat tawar-menawar untuk pembagian jabatan, bukan jalan menuju perbaikan tata kelola pemerintahan. Akibatnya, publik kerap menyaksikan drama “damai” yang tidak lebih dari kompromi elitis. Perdamaian seperti ini memang bisa meredakan ketegangan sesaat, tetapi itu rapuh karena tidak dibangun di atas pondasi kepentingan rakyat.
Di sinilah pentingnya membedakan rekonsiliasi semu dengan rekonsiliasi sejati. Rekonsiliasi semu berlangsung cepat, penuh simbol, dan lebih banyak ditujukan untuk pencitraan. Sementara itu, rekonsiliasi sejati berproses panjang, penuh dialog, dan menuntut pengorbanan ego pribadi. Rekonsiliasi sejati tidak sekadar menyatukan elite, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik yang sempat terkoyak akibat konflik.
Lebih jauh, rekonsiliasi harus dipahami sebagai proyek bersama. Bukan hanya urusan kepala daerah dan wakilnya, melainkan juga partai politik pengusung, legislatif, birokrasi, bahkan masyarakat sipil. Semua aktor memiliki peran dalam memastikan bahwa konflik tidak menjadi bara api yang membakar rumah besar bernama demokrasi lokal.
Apalagi, dalam konteks otonomi daerah, kualitas kepemimpinan di tingkat lokal sangat menentukan wajah demokrasi Indonesia secara keseluruhan. Gagalnya rekonsiliasi di daerah bukan hanya berarti kegagalan individu, tetapi juga ancaman bagi keberlangsungan tata kelola pemerintahan yang baik.
Karena itu, pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana membangun model rekonsiliasi politik yang kokoh? Dengan segala keterbatasan, bagi saya hal pertama yang harus dilakukan adalah rekonsiliasi harus dilembagakan. Mekanisme pembagian peran antara kepala daerah dan wakilnya perlu dipertegas sejak awal melalui regulasi maupun kesepakatan politik. Jika tidak, posisi wakil kepala daerah akan terus terjebak dalam status ambigu: dipilih langsung oleh rakyat, tetapi kerap dipinggirkan dalam praktik pemerintahan.
Kedua, rekonsiliasi harus ditopang oleh birokrasi yang profesional. Birokrasi jangan sampai menjadi korban tarik-menarik politik, karena netralitas dan profesionalisme ASN adalah modal penting dalam menjaga stabilitas pemerintahan. Bila birokrasi ikut terbelah, maka rekonsiliasi politik di level elite tidak akan pernah berbuah pada pelayanan publik yang berkualitas.
Ketiga, rekonsiliasi harus mendapat dukungan publik. Rakyat perlu didorong untuk bersikap kritis, tidak gampang larut dalam polarisasi yang dimainkan elite. Publik yang cerdas akan menjadi penyeimbang, sekaligus pengingat bahwa tujuan utama politik bukanlah kursi kekuasaan, melainkan kesejahteraan bersama.
Sejarah politik Indonesia juga memberi pelajaran penting. Kita melihat bagaimana ketegangan politik setelah Pemilu 2019 antara kubu Jokowi dan Prabowo akhirnya berujung pada rekonsiliasi, dengan masuknya Prabowo ke kabinet. Banyak pihak mengkritik langkah ini sebagai kompromi elitis, namun di sisi lain hal itu berhasil meredam polarisasi nasional yang nyaris membelah masyarakat. Pelajaran dari sini jelas: rekonsiliasi selalu menimbulkan pro-kontra, tetapi rekonsiliasi tetap menjadi kebutuhan ketika perpecahan mengancam keberlangsungan bangsa.
Tentu, model rekonsiliasi di tingkat nasional tidak bisa ditiru begitu saja di tingkat daerah. Namun spiritnya sama: membangun komunikasi, meneguhkan kembali tujuan bersama, dan membuka ruang kolaborasi. Bedanya, di level lokal, dampak konflik lebih terasa langsung karena publik berhadapan setiap hari dengan pemimpinnya. Disharmoni di pusat bisa ditutupi oleh skala besar negara, sementara disharmoni di daerah langsung menohok masyarakat karena menyentuh urusan sehari-hari: layanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan kesejahteraan.
Pada titik inilah, pemimpin daerah sejatinya diuji. Mereka dituntut bukan hanya untuk memimpin dengan visi, tetapi juga untuk mengelola perbedaan dengan kebijaksanaan. Dalam bahasa klasik Jawa, pemimpin harus mampu “ngemong”, merangkul semua pihak, bahkan yang berseberangan sekalipun. Tanpa itu, kepemimpinan hanya akan jadi monumen ego, bukan warisan kebersamaan.
Kita bisa membayangkan sebuah skenario ideal. Alih-alih terjebak dalam konflik berkepanjangan, kepala daerah dan wakilnya memilih jalan rekonsiliasi sejati. Mereka duduk bersama, membicarakan perbedaan secara terbuka, lalu merumuskan ulang pembagian peran. Publik menyaksikan bukan sekadar pelukan simbolis, tetapi kerja nyata: program bersama, pelayanan publik yang lebih cepat, dan birokrasi yang solid. Inilah rekonsiliasi politik yang membumi, yang menghidupkan kembali kepercayaan masyarakat pada demokrasi lokal.
Namun, tentu jalan ke sana tidak mudah. Ego, kepentingan partai, hingga intrik kekuasaan sering menjadi batu sandungan. Tapi justru di situlah ukuran kualitas seorang pemimpin: berani menundukkan kepentingan pribadi demi kepentingan publik.
Rekonsiliasi pada akhirnya adalah pilihan moral. Rekonsiliasi menuntut keberanian untuk mengakui salah, kebesaran hati untuk memaafkan, dan keteguhan untuk menatap ke depan bersama. Tanpa itu semua, demokrasi hanya akan jadi panggung drama penuh konflik, bukan ruang bersama untuk membangun masa depan.
Maka, jika hari ini kita menyaksikan berbagai disharmoni di daerah, jangan buru-buru menutup mata atau menuding salah satu pihak. Kita perlu mendorong agar konflik itu dikelola dengan arif, dijadikan momentum klarifikasi peran, dan pada akhirnya diarahkan menuju rekonsiliasi sejati. Karena hanya dengan cara itu, politik bisa kembali pada hakikatnya: menghadirkan kesejahteraan dan keadilan.***

Related Articles

Related Articles

Back to top button