Finansial

MBG atau Uang Tunai?

MBG atau Uang Tunai?
Oleh: Andrian Saba
Forum Studi Mandiri

Keracunan massal di sekolah hadir sebagai pukulan keras terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG). Anak-anak yang mestinya sehat malah pulang dengan perut mual dan langkah gontai. Program yang diklaim sebagai jalan menuju kesehatan generasi penerus berubah menjadi sumber penyakit. Rakyat menilai distribusi makanan yang amburadul menunjukkan hilangnya nalar dalam perencanaan pemerintah. Sebutan Makan Basi Gratis menjadi label yang lebih sesuai dengan kenyataan.
Bayangkan, bahan baku disiapkan pukul 23.00 malam, makanan dimasak pukul 04.00 pagi, dibungkus pukul 07.00 pagi, dan baru disantap pukul 12.00 siang. Itu bukan menu bergizi, tapi undangan pesta bakteri. Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris, secara terang-terangan menuding SOP MBG tidak dijalankan dengan benar. Ia curiga kasus keracunan terjadi karena pengawasan di lapangan hanya sekadar formalitas. Bukan rahasia lagi, program besar di negeri ini sering kalah oleh praktik asal-asalan. Jadi jangan heran bila nasi basi lebih cepat sampai ketimbang niat baik pemerintah.
Ada usul dari masyarakat agar program makan siang diganti dengan bantuan uang tunai. Menurut mereka, orang tua bisa lebih leluasa menyiapkan makanan sesuai kebutuhan gizi dan selera anak. Pandangan ini terdengar wajar terutama setelah kasus nasi basi ramai dibicarakan di media sosial. Hanya saja, uang tunai berpotensi digunakan untuk hal lain yang tidak berhubungan dengan makanan sehat anak. Risiko penyalahgunaan dana selalu terbuka tanpa mekanisme pengawasan yang jelas. Sederhananya, tidak ada jaminan uang itu tak lari ke rokok bapaknya atau pulsa HP keluarganya.
Potensi kesenjangan gizi menjadi ancaman lain yang tak bisa diabaikan dari bantuan uang tunai. Ketika orang tua tidak memiliki cukup pengetahuan tentang gizi, pilihan makanan sehari-hari sering tidak tepat. Anak-anak bisa terbiasa membeli jajanan tidak sehat dari lingkungan sekitar, dan menggantikan kebutuhan gizi yang seharusnya terpenuhi.
Publik mencoba ditenangkan oleh Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, dengan penjelasan bahwa evaluasi sedang berlangsung. Evaluasi memang kata favorit pejabat setiap kali program gagal. Katanya, MBG tetap skema terbaik saat ini meski penuh catatan keracunan. Anehnya lagi catatan itu semakin panjang sementara solusi tak kunjung datang. Rakyat dipaksa bersabar atas makanan gratis yang tidak gratis dari segi risiko. Kalau evaluasi hanya jadi ritual, berarti keracunan akan jadi menu rutin.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, dengan tegas menyerukan agar program ini dihentikan sejenak. Menurutnya, menghentikan program adalah langkah yang paling bijak untuk melakukan evaluasi total dan perbaikan sistem. Pernyataan ini ibarat sebuah lampu merah yang harus dihormati. Menghentikan program bukanlah sebuah kekalahan, melainkan sebuah keberanian untuk mengakui kalau ada yang salah dan harus diperbaiki dari akarnya.
Penulis sepakat, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebaiknya dihentikan sementara. Program ini harus dievaluasi total agar tidak terus menjadi bahan lelucon publik. Uang tunai sebenarnya lebih cepat terserap tapi tetap penuh risiko penyalahgunaan. Sebetulnya ada jalan tengah yang sebaiknya ditempuh oleh pemerintah, yaitu dana MBG masuk ke sekolah dan dikelola oleh komite.
Dengan begitu, peran komite sekolah bisa mendorong lahirnya akuntabilitas yang lebih baik dan memudahkan penyesuaian menu sesuai kebutuhan daerah. Sekolah juga bisa bermitra dengan petani lokal agar bahan makanan yang didapat selalu segar. Ini merupakan pendekatan holistik yang mampu memberikan manfaat menghidupkan ekonomi sekitar dan menyediakan gizi berkualitas bagi anak-anak. Setidaknya, pendekatan ini lebih realistis daripada mengandalkan katering borongan yang mengejar untung semata. Dan sistem ini memotong rantai distribusi yang terlalu panjang. Lebih sedikit tangan yang terlibat, lebih kecil pula potensi masalah. Bukankah ini jadi substansi dari efisiensi anggaran yang selalu digembar-gemborkan oleh pemerintah?
Manajemen publik selalu menyingkap kenyataan bahwa rantai birokrasi yang panjang membawa risiko kebocoran yang lebih besar. MBG memberi contoh nyata dari kaidah itu. Proyek dengan anggaran triliunan lebih rajin menghidupi vendor daripada memastikan gizi anak terpenuhi. Saat kepentingan politik dan ekonomi menguasai panggung, murid kehilangan prioritas. Program yang dimaksudkan memberi kesehatan berkembang menjadi sumber kontroversi.
Pemerintah hari ini sayangnya tampil seperti koki kikuk yang kehilangan buku resep. Sop basi tetap saja disodorkan ke meja makan, seolah rakyat tidak punya lidah. Imbasnya, kepercayaan publik menguap lebih cepat daripada uap nasi plastik yang panasnya hanya sekejap. Anak-anak pun dipaksa menelan pencitraan politik yang dicetak dengan stempel bergizi. Jika kebijakan gizi hanya lahir dari tender murahan, yang tersaji di meja rakyat hanyalah racun yang dibungkus niat baik.
Catatan panjang bantuan sosial di negeri kita sendiri menunjukkan pola yang sama. Niat baik selalu kalah di hadapan pelaksanaan yang buruk. Dari raskin sampai BLT, penyimpangan berulang tanpa henti. Program besar menjelma arena bancakan, dan rakyat hanya menikmati sisanya. MBG kini berada di jalur yang serupa. Program yang diniatkan menyehatkan malah mengikis kepercayaan publik. Saat kebijakan baik menjadi olok-olok, itulah wujud tragis sebuah pemerintahan.
Menyebut MBG sekadar program jangka pendek sama dengan menyepelekan masa depan anak bangsa. Generasi sehat akan membawa negeri ini pada produktivitas, sebaliknya generasi yang diracuni kebijakan setengah matang hanya mewarisi trauma dan nestapa. Mengelola MBG menuntut keseriusan lebih dari sekadar proyek lima tahunan yang digalakkan menjelang pemilu.
Perut anak-anak terlalu berharga untuk dijadikan panggung eksperimen politik atau ladang proyek ekonomi. Perdebatan soal uang tunai atau makan bergizi gratis hanyalah selimut lusuh yang menutupi manajemen program yang bolong di sana-sini. Jalan keluar nyata terletak pada pengawasan yang ketat, keterlibatan publik, dan keberanian membongkar sistem hingga ke akar. Tidak boleh ada lagi anak yang pulang dengan perut mual gara-gara negara abai.***

Related Articles

Back to top button