Goresan Pensil Royyan di Balik Buku Kuliah

CIREBON, 12 Desember 2003. Di balik angka kelahiran itu, Muhammad Royyan Fadilah menemukan dunia yang berbeda di antara tumpukan buku, jurnal, dan tugas-tugas kuliah. Dengan pensil sebagai alat utamanya, ia tidak hanya menulis catatan, melainkan juga menggambar kisah.
Royyan pertama kali menemukan fesyennya saat duduk di bangku kelas 2 MTsN 4 Cirebon. Ia merasa kagum melihat detail karya seniman profesional yang mampu menangkap setiap ekspresi di atas kertas. Dari sanalah, ia mulai memberanikan diri memulai apa yang ia sangat sukai sekarang ini.
“Dari situlah perjalanan itu dimulai, sampai mengikuti berbagai komunitas seni seperti Ruang Seni Cirebon dan lainnya, sebuah perjalanan yang kelak membentuk identitas saya yang bukan hanya sebagai mahasiswa, tapi juga sebagai seniman sketsa,” tuturnya.
Menjadi mahasiswa sekaligus seniman tentu bukan perkara mudah. Royyan harus pintar-pintar mencuri waktu di tengah jadwal kuliah yang padat. Kadang ia harus rela tidur larut demi menyelesaikan satu karya.
Selain waktu, biaya bahan seperti pensil, penghapus, dan kertas khusus juga menjadi tantangan. Ia rela menyisihkan uang jajannya, hanya untuk membeli sketchbook yang akan menjadi teman kesehariannya. Belum lagi komentar orang yang meragukan keseriusannya.
“Namun, alih-alih patah semangat, justru menjadikan kritik tersebut sebagai bahan bakar untuk terus berkembang,” katanya.
Ada satu cerita yang tak pernah ia lupakan. Momen paling berkesan adalah ketika ia menghadiahi potret sketsa kepada kepala sekolah tempat ia menimba ilmu.
Ia tak menyangka, goresan sederhana itu membuat sang kepala sekolah terharu dan membuatnya dikenal di lingkungan sekolah.
Sejak saat itu, pesanan datang bertubi-tubi, bahkan dari seorang petugas Kemenag (Kementrian Agama) yang meliputnya.
Dari situlah, ia belajar satu hal. Yakni, sketsa pensil bukan sekadar garis hitam-putih. Ia bisa menyimpan emosi, kenangan, bahkan cinta di baliknya.
Hobi yang dimulai tanpa patokan harga itu kini telah berkembang. Kini, ia bisa menghasilkan ratusan ribu rupiah dari setiap lukisan yang dibuatnya. Di balik setiap karya, selalu ada cerita unik.
Royyan pernah membuat sketsa dengan eyeliner (pensil alis), ampas kopi, di atas media piring, bahkan di atas kertas nasi. Kadang, ia bahkan menggunakan kedua tangannya untuk melukis, mengekspresikan dirinya sepenuhnya.
“Ada perasaan tak tergantikan setiap kali sebuah karya rampung. Seperti melepas beban,” ucapnya.
“Saat melihat wajah yang tadinya kosong di kertas kini hidup, saya merasa menemukan bagian dari diri saya sendiri,” katanya.
Kini, saat tumpukan tugas kuliah menantinya, Royyan tahu ia memiliki tempat untuk kembali. Ruang bernapas di mana ia bisa tenggelam dalam dunia garis dan bayangan.
Di tangannya yang penuh dedikasi, pensil menjadi lebih dari sekadar alat, tapi sebuah identitas, sebuah pelukan hangat di tengah hiruk pikuk kehidupan, dan refleksi dari perjalanan panjang yang masih akan terus ia ukir.(Farkhan)