Antara Hoaks, Kepastian Pangan dan Perlindungan Konsumen

ISU beredarnya beras plastik kembali menghebohkan masyarakat Kabupaten Cirebon, kali ini terkait beras bermerek Anak Raja. Meski hasil sidak Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) bersama DKPP menegaskan bahwa produk tersebut aman dikonsumsi, kepanikan yang sempat meluas menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap kabar yang tidak terverifikasi.
Kehati-hatian warga memang perlu diapresiasi. Namun, di sisi lain, penyebaran isu yang tidak didukung bukti kuat bisa menimbulkan keresahan, merugikan produsen, bahkan berimplikasi hukum.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 mengamanatkan bahwa masyarakat berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai barang yang dikonsumsi. Di saat yang sama, produsen juga memiliki hak untuk terlindungi dari isu menyesatkan yang merugikan nama baik produk mereka.
Kejadian ini menjadi pelajaran penting. Pemerintah daerah bersama aparat terkait perlu memperkuat edukasi publik tentang keamanan pangan. Produsen pun tidak boleh lepas tangan, informasi yang lengkap mengenai kandungan produk, termasuk kernel beras dalam kasus ini, harus disampaikan dengan jelas kepada konsumen.
Dengan demikian, ruang bagi munculnya isu liar dapat ditekan sejak awal. Selain itu, masyarakat harus mulai membiasakan diri menyaring informasi. Setiap pengaduan sebaiknya disalurkan melalui mekanisme resmi agar dapat diverifikasi, bukan sekadar beredar di media sosial yang rawan disalahartikan.
Bila tidak, hoaks pangan bisa terus berulang dan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, termasuk potensi tindakan hukum bagi penyebar kabar bohong.
Keamanan pangan adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan ketat, produsen wajib transparan, dan masyarakat harus kritis sekaligus cerdas dalam menyikapi isu.
Dari kasus “beras plastik” ini, semoga lahir kesadaran kolektif bahwa kepastian pangan hanya bisa terwujud bila semua pihak menjalankan perannya secara proporsional.***