Opini

Musala Jadi Kelas: Ujian Serius Pemerintah Dalam Menangani Pendidikan

Oleh: KH. Dr. Muhamad Habib Khaerussani, M.Pd.,
Pemerhati Pendidikan

Berita tentang siswa SDN 1 Cirebon Girang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, yang sejak 2021 harus belajar di musala sekolah karena kekurangan ruang kelas, bukan sekadar kabar biasa. Ini bukan berita ringan yang bisa lewat begitu saja di linimasa kita. Ini adalah alarm keras yang mengetuk nurani bangsa, sebuah peringatan tentang rapuhnya sistem pendidikan dasar kita.
Selama lebih dari tiga tahun, ratusan siswa belajar dengan sistem shift, sebagian bahkan harus duduk lesehan di musala tanpa meja dan kursi yang layak. Bayangkan, di saat pemerintah gencar menggaungkan jargon Merdeka Belajar, anak-anak di Cirebon Girang belum merdeka dari keterbatasan paling mendasar: ruang belajar.
Pertanyaannya sederhana, tapi menohok: sampai kapan kondisi ini dibiarkan?
Pemerintah pusat dan daerah kerap menyebut pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan. Anggaran pendidikan selalu menjadi salah satu yang terbesar dalam APBN dan APBD. Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Ketika ada sekolah yang harus memanfaatkan musala sebagai ruang belajar selama bertahun-tahun, itu bukan sekadar kekurangan teknis, itu adalah bukti adanya ketimpangan, ketidakmampuan perencanaan, dan mungkin kelalaian birokrasi.
Bagaimana kita bisa berharap lahirnya generasi unggul, jika ruang belajar saja tidak memenuhi standar minimal? Bagaimana kita bisa bicara soal penguatan literasi dan numerasi, jika meja, kursi, dan papan tulis pun masih menjadi barang mewah bagi sebagian siswa?
Kekurangan ruang kelas bukan hanya persoalan fisik atau infrastruktur. Ini persoalan keadilan sosial. Anak-anak di Cirebon Girang berhak mendapatkan pengalaman belajar yang sama bermartabatnya dengan anak-anak di kota besar. Ketika ketimpangan ini dibiarkan, kita sedang mengirim pesan yang salah kepada mereka: bahwa ada kelompok anak-anak yang boleh puas dengan keterbatasan, sementara yang lain mendapatkan fasilitas terbaik.
Ini berbahaya. Ketidakadilan fasilitas pendidikan bisa berujung pada ketidakadilan kesempatan hidup. Dari ruang belajar yang tidak layak, lahirlah ketimpangan kualitas SDM, yang pada gilirannya menciptakan lingkaran ketidaksetaraan sosial yang semakin sulit diputus.
Persoalan ini tidak boleh berhenti pada wacana. Pemerintah daerah dan dinas pendidikan harus menjadikan isu ini sebagai prioritas mendesak, bukan proyek yang diusulkan lalu menunggu antrean anggaran bertahun-tahun. Ini bukan sekadar angka di Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) atau di dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Ini menyangkut hak konstitusional 252 siswa yang setiap hari berjuang belajar dalam keterbatasan.
Masyarakat berhak bertanya: ke mana larinya anggaran pendidikan yang begitu besar? Jika pendidikan benar-benar prioritas, mengapa ada sekolah yang selama tiga tahun lebih belum mendapatkan solusi permanen?
Kondisi ini harus menjadi titik balik. Pemerintah harus turun tangan dengan langkah konkret: membangun ruang kelas baru yang layak, memperbaiki sarana belajar, memastikan distribusi siswa dan guru lebih proporsional, serta mengevaluasi mekanisme penganggaran agar lebih responsif terhadap kasus darurat seperti ini.
Keseriusan pemerintah tidak diukur dari banyaknya pidato atau jumlah seminar tentang pendidikan. Keseriusan diukur dari keberanian menyelesaikan persoalan dasar. Jika kita gagal memberikan ruang belajar yang layak, kita telah gagal di level paling fundamental dari pendidikan itu sendiri.
Jika dibiarkan, kita sedang mempertontonkan kepada generasi muda bahwa pendidikan hanya prioritas di atas kertas—bukan prioritas nyata.
Saatnya pemerintah membuktikan ucapannya. Jika pendidikan benar-benar prioritas, buktikan dengan aksi. Jangan biarkan musala terus menjadi kelas darurat selama bertahun-tahun. Jangan biarkan anak-anak ini tumbuh dengan perasaan bahwa mereka hanya penerima sisa perhatian dari negara.
Kita harus memastikan bahwa setiap anak, di manapun ia berada, merasakan bahwa negara hadir untuknya. Bukan hanya dalam bentuk slogan, tetapi dalam bentuk ruang kelas yang layak, fasilitas yang memadai, dan lingkungan belajar yang mendukung masa depannya. Karena masa depan bangsa sedang belajar hari ini. Dan mereka tidak boleh belajar di ruang darurat selamanya.***

Related Articles

Back to top button