Ragam

Populisme Digital dan Panggung Politik Baru

Oleh: Syarifuddin
Pemerhati Praktik Komunikasi Politik

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah artikel. Pada 6-7 Agustus 2025, sebuah acara bertajuk Digital Transformation Indonesia Conference & Expo (DTI-CX) 2025 terselenggara. Dalam kegiatan tersebut, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis hasil survei terbaru pada 2025. Ada rasa bangga sekaligus cemas yang bercampur dalam diri saya. Angkanya mencolok: tingkat penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 80,66 persen, setara dengan sekitar 229,4 juta jiwa dari total penduduk 284 juta. Sebuah lompatan yang membuat kita seolah sedang memasuki era baru: era ketika hampir setiap denyut kehidupan sehari-hari berdetak bersama gawai di tangan. Namun, di balik capaian itu, ada catatan kecil yang terasa getir: hanya 1,91 persen dari total pengguna internet berasal dari wilayah 3T—terluar, terdepan, dan tertinggal.
Saya membaca artikel itu sambil menyeruput kopi di teras rumah. Lalu, ibu saya yang berusia 64 tahun menghampiri. “De, itu di handphone ada berita Nepal sampai dibakar begitu ya? Itu yang di Amerika juga ada yang ditembak ya, pendukungnya Trump?” tanya beliau. Seketika saya menyadari bahwa seluruh dunia sudah cukup dalam genggaman. Pertanyaan-pertanyaan itu sebetulnya menggambarkan kenyataan baru: bahwa internet bukan sekadar teknologi, melainkan arena baru yang menentukan arah politik bangsa.
Politik di Indonesia pernah begitu akrab dengan suasana rapat umum, penuh dengan bendera partai yang berkibar, baliho yang berjejer di sepanjang jalan, dan pidato lantang yang disambut sorak-sorai massa. Aroma keringat bercampur debu jalanan adalah atmosfer politik yang kita kenal bertahun-tahun. Namun kini, lanskap itu bergeser drastis. Arena politik tidak lagi sekadar lapangan terbuka atau gedung pertemuan, melainkan layar kaca berukuran enam inci yang selalu kita bawa di saku. Ruang digital menjelma menjadi panggung utama, tempat di mana pertarungan narasi berlangsung tanpa henti, dua puluh empat jam sehari.
Kandidat politik masa kini lebih sering dihitung dari jumlah engagement—berapa kali video mereka di-like, disebarkan, atau dikomentari—daripada seberapa panjang antrean massa yang hadir di kampanye tatap muka. Di TikTok, sebuah slogan singkat dengan musik latar yang sedang tren bisa melampaui dampak seribu spanduk yang terpasang di jalan raya. Di X, satu tagar yang dikelola dengan baik mampu mengguncang opini publik lebih keras daripada kolom opini di surat kabar nasional.
Bisa jadi, kita sering secara langsung menyaksikan bagaimana dinamika ini merasuk ke kehidupan sehari-hari. Di grup WhatsApp keluarga, potongan video kampanye beredar berulang-ulang. Kadang berupa editan dengan teks provokatif, kadang hanya potongan kalimat yang sudah dilepaskan dari konteksnya. Anehnya, justru potongan itulah yang cepat melekat di ingatan. Orang yang biasanya enggan membaca berita panjang bisa dengan mudah mengutip potongan itu dalam obrolan santai. Tidak peduli apakah pesan di dalamnya akurat atau tidak, yang penting ia singkat, mudah diingat, dan sesuai dengan perasaan yang sedang berkecamuk.
Saya kerap mendengar komentar seperti, “Lihat tuh, calon itu benar-benar peduli sama rakyat kecil.” Ketika saya tanya sumbernya, jawabannya sering kali sederhana: “Ada videonya, kok.” Seolah sebuah video singkat sudah cukup menjadi bukti yang tak terbantahkan. Inilah wajah baru populisme digital—politik yang tumbuh subur di ruang maya dengan modal narasi instan. Politik digital tidak memerlukan argumen panjang, cukup simbol dan kesan. Namun, populisme digital tidak lahir begitu saja. Hal tersebut terbentuk dari kombinasi yang nyaris sempurna antara narasi sederhana, kekuatan simbol, dan kerja algoritma.
Pertama, narasi sederhana. Populisme selalu menawarkan jawaban singkat atas persoalan yang kompleks. Jika dulu janji itu diucapkan di panggung kampanye, kini janji menjelma dalam bentuk meme, tagar, atau video 30 detik. Kita semua tahu bahwa masalah kemiskinan, misalnya, tidak bisa selesai dengan satu kebijakan instan. Namun, di ruang digital, kalimat seperti “Hapus kemiskinan sekarang juga!” lebih cepat mengundang simpati dibanding penjelasan panjang tentang strategi pembangunan. Kata-kata yang lahir dari riset mendalam kalah pamor dari sindiran tajam dalam bentuk gambar lucu yang bisa dibagikan ribuan kali.
Kedua, kekuatan simbol. Para politisi sadar betul bahwa simbol lebih mudah dicerna daripada data. Maka, muncullah beragam pertunjukan simbolik: seorang kandidat makan di warung sederhana, yang lain menenteng kantong belanja dari pasar tradisional, atau sekadar berfoto dengan pakaian lusuh di depan kamera. Semua itu direkam, diunggah, lalu beredar sebagai bukti “kedekatan dengan rakyat.” Saya tidak jarang merasa canggung melihatnya, karena simbol-simbol itu sering kali berhenti sebagai pertunjukan visual tanpa dampak secara sistemik. Namun publik menyukainya, dan itulah yang penting di ruang digital: persepsi lebih menentukan daripada substansi.
Ketiga, algoritma. Inilah mesin tak kasat mata yang setiap hari mengatur apa yang kita lihat. Algoritma tidak peduli pada kebenaran dan hanya peduli pada keterlibatan. Semakin banyak orang marah, semakin tinggi kemungkinan konten itu muncul di linimasa. Ironisnya, politik populis justru lihai memproduksi kemarahan. Narasi kita vs mereka adalah bahan bakar yang membuat mesin algoritma berputar kencang. Saya sering kali membuka linimasa dan mendapati isinya penuh pertengkaran, seakan negeri ini hanya terdiri dari dua kubu yang saling menegasikan. Padahal, kenyataannya jauh lebih rumit daripada itu.
Di sinilah letak bahayanya. Ruang digital yang semestinya menjadi tempat bertukar gagasan berubah menjadi gelanggang adu teriakan. Yang paling keras, yang paling provokatif, justru paling terlihat. Diskusi yang nyaris sunyi—tentang kebijakan kesehatan, pendidikan, atau lingkungan—kalah oleh konten bernuansa populis yang sengaja memancing emosi.
Ada kalanya saya merasa populisme digital bukan sekadar fenomena sampingan, tetapi memang konsekuensi logis dari demokrasi yang dilepaskan kecepatan dan jangkauannya lewat internet. Demokrasi memberi ruang kebebasan—untuk bicara, menyuarakan protes, menuntut keadilan—dan internet mempercepat semua itu, memperluas ruang suara, namun juga mempersempit kedalaman dialog.
Sebuah riset dari Nadzir (2022) menyebut bahwa media digital menyediakan ruang ideal bagi populisme yang bersifat performatif. Artinya, narasi politik tidak lagi dinilai dari argumen kebijakan, melainkan dari seberapa kuat ia tampil dalam bentuk aksi simbolik yang dramatis. Di titik inilah populisme digital menemukan momentumnya: ia bergerak lewat emosi, bukan logika; lewat citra, bukan substansi.
Saya melihat efeknya di banyak ruang. Isu publik yang mestinya membutuhkan diskusi panjang—misalnya perumusan anggaran, kebijakan pangan, atau persoalan energi—seringkali terpotong hanya menjadi bahan sindiran dalam meme atau video pendek. Rasa marah dan tawa menjadi alat mobilisasi, sementara nalar kritis justru terpinggirkan. Demokrasi yang seharusnya berfungsi sebagai arena deliberasi kini berubah seperti panggung hiburan, di mana konten paling menarik sering mengalahkan gagasan paling penting.
Konsekuensinya jelas. Politik bisa tereduksi menjadi permainan persepsi. Politisi yang pandai menciptakan persona digital—menyapa lewat unggahan Instagram, membuat video TikTok singkat, atau menyusun narasi heroik di X—memiliki keunggulan yang tidak selalu berbanding lurus dengan kapasitas kepemimpinan. Sebaliknya, mereka yang memiliki gagasan matang tetapi kurang lihai mengemas diri dalam algoritma mudah sekali tenggelam. Riset lain yang dibuat oleh Wahidin, dkk (2025) menegaskan bahwa salah satu problem terbesar demokrasi digital di Indonesia adalah rendahnya literasi digital masyarakat. Ketika publik sulit membedakan antara fakta, opini, dan manipulasi, maka viralitas sering menggantikan validitas. Dari sinilah lahir paradoks, yaitu demokrasi seolah lebih hidup, tetapi kualitasnya justru terancam menurun.
Saya pribadi menilai bahwa ujian terbesar demokrasi kita hari ini bukan lagi datang dari penguasa otoriter yang melarang kebebasan berpendapat, melainkan dari derasnya arus informasi yang membanjiri ruang publik tanpa filter. Di tengah banjir data, yang paling menonjol bukan lagi suara yang berisi, melainkan suara yang paling gaduh. Inilah yang membuat saya khawatir bahwa demokrasi kita bisa saja tetap berlangsung secara prosedural, tetapi kehilangan substansi.
Pada akhirnya, populisme digital memang mencerminkan demokrasi. Populisme digital memperlihatkan betapa luasnya ruang partisipasi warga, sekaligus betapa rapuhnya fondasi jika ekspresi publik hanya diukur dari viralitas. Pertanyaannya, apakah kita akan membiarkan demokrasi terus melaju dengan logika kecepatan dan algoritma, atau berani menantangnya dengan membangun kembali ruang yang memberi tempat bagi percakapan substansial?
Indonesia hari ini sudah terkoneksi secara digital dan fakta itu tidak terbantahkan. Namun, konektivitas yang kita banggakan bukanlah tujuan akhir. Hal itu hanya ruang, hanya panggung. Yang lebih menentukan adalah bagaimana kita mengisinya: dengan kedalaman atau sekadar kebisingan.
Populisme digital, jika dibiarkan tumbuh tanpa kendali, bisa menjelma racun yang merangsang keterbelahan, memelihara kemarahan, dan menenggelamkan percakapan yang seharusnya substansial. Tetapi di sisi lain, ruang yang sama juga bisa menjadi energi untuk perbaikan: sarana menagih janji, mengawasi kekuasaan, dan menghidupkan partisipasi warga. Internet adalah paradoks yang bisa menjadi pisau pemotong jembatan dialog, tetapi juga bisa menjadi palu yang mengetuk pintu keadilan.
Di sinilah letak pertaruhannya. Internet tidak lagi sekadar kabel dan sinyal. Internet sudah berubah menjadi panggung kekuasaan. Siapa yang piawai menguasai panggung itu, dialah yang akan membentuk arah narasi bangsa. Maka, tantangan kita bukan hanya melawan hoaks atau ujaran kebencian, tetapi juga bagaimana menata etika politik digital: menjadikan ruang maya tidak semata-mata arena adu popularitas, melainkan tempat di mana politik diuji dengan kedewasaan moral.
Sejarah demokrasi di negeri ini sudah membuktikan, setiap medium punya zamannya. Dulu, rapat umum di alun-alun menjadi pusat energi politik. Setelah itu, televisi sempat memegang kendali, mengangkat wajah politisi ke ruang tamu rakyat. Kini, internet mengambil alih, menciptakan demokrasi layar yang setiap detiknya dipenuhi suara. Jika kita gagal menata ruang ini, demokrasi bisa berubah menjadi sekadar tontonan tanpa isi.
Saya sering merenung. Apakah kita ingin dikenal sebagai bangsa yang hanya pandai menekan tombol “share,” atau sebagai bangsa yang berani berpikir, menimbang, dan memutuskan dengan kepala jernih? Pertanyaan itu seharusnya menggugah kita semua, bukan hanya para politisi. Sebab, demokrasi digital tidak hanya milik elite tetapi juga milik setiap orang yang hari ini menggenggam ponsel di tangannya.
Maka, tanggung jawab ada pada kita: berhenti menjadi penonton pasif, berhenti menelan apa pun hanya karena viral, dan mulai berperan sebagai warga digital yang kritis. Literasi yang saya maksud bukan sekadar bisa membaca, melainkan berani mempertanyakan, berani menolak, dan berani menyaring sebelum percaya.
Jika itu bisa kita lakukan, populisme digital tidak akan lagi menjadi kutukan. Justru, populisme digital bisa berubah menjadi koreksi. Populisme digital dapat menjadi sebuah cermin keras yang memaksa politik kembali ke akar utamanya—melayani rakyat, bukan sekadar menghibur mereka. Dan barangkali, di situlah masa depan demokrasi Indonesia akan ditentukan: bukan di tangan algoritma, melainkan di kesadaran kritis warganya.***

Related Articles

Back to top button