Ribuan Warga Larut di Malam Panjang Jimat
kacenews.id-CIREBON-CAHAYA rembulan bersinar lembut di langit Cirebon pada Jum’at (5/9/2025) malam. Ribuan warga dari berbagai daerah tumpah ruah di halaman Keraton Kasepuhan, menanti prosesi sakral Panjang Jimat, puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang telah berlangsung turun-temurun sejak era Sunan Gunung Jati.
Puluhan lampion berpendar hangat, berpadu dengan lantunan sholawat yang menggema dari kerumunan. Sesekali terdengar gemerincing uang logam yang dilemparkan warga dalam tradisi curak, menambah semarak arak-arakan makanan yang digotong dari dalam Keraton menuju Langgar Agung.
Di antara sajian itu, Nasi Jimat dalam piring panjang menjadi simbol utama yang senantiasa dinanti.
“Hampir setiap tahun saya tidak pernah melewatkan acara Panjang Jimat ini. Rasanya ada kedamaian tersendiri,” ujar Ida, warga asal Indramayu, yang rela berdesakan demi menyaksikan jalannya prosesi.
Prosesi dipimpin langsung oleh Patih Anom Keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Muhammad Nusantara, didampingi Patih Sepuh, Pangeran Raja Goemelar Soeryadiningrat. Dengan khidmat, keduanya memimpin jalannya tradisi yang sarat makna.
“Panjang Jimat merupakan simbol kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus pengingat makna kelahiran manusia di bumi,” tutur Patih Anom.
Rangkaian acara dimulai sejak siang, dari siraman panjang, buka bekasem, hingga mencapai puncaknya malam itu. Menjelang tengah malam, nasi jimat dalam piring panjang dibuka di dalam Arum oleh keluarga besar keraton, lalu dibagikan kepada masyarakat sebagai berkah bersama.
Tahun ini, keraton menyiapkan 36 piring panjang dan 38 lilin pengiring. Setiap angka memiliki filosofi mendalam, bersumber dari nilai-nilai Islam dan Al-Qur’an. Tidak sekadar ritual, tradisi ini juga menjadi doa kolektif bagi bangsa.
“Semoga Indonesia kembali utuh, memiliki pemimpin yang bijak, demokrasi yang sehat, dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat,” harap Patih Anom.
Sejak pertama kali digelar pada 1530, Panjang Jimat bukan hanya sekadar upacara keraton, melainkan juga ruang perjumpaan. Di dalamnya, syiar Islam bertaut dengan kearifan budaya lokal, menghadirkan harmoni antara sejarah, spiritualitas, dan doa untuk masa depan negeri.(Fan/Jak)





