Opini

Menimbang Urgensi Kementerian Haji dan Umrah

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon

Sejarah pengelolaan ibadah haji di Indonesia selalu menyimpan polemik yang tak pernah usai. Dari masa penjajahan hingga masa reformasi, urusan haji kerap berada di antara kepentingan pelayanan umat dan kepentingan politik negara. DPR RI telah mengesahkan pembentukan Kementerian Haji dan Umrah melalui RUU Haji yang ditetapkan pada 26 Agustus 2025. Kementerian ini dibentuk untuk menggantikan peran Badan Penyelenggara (BP) Haji yang sebelumnya berstatus lembaga pemerintah nonkementerian. Perubahan tersebut menimbulkan tanda tanya apakah langkah ini menjadi solusi nyata atau hanya simbol politik yang dipoles.
Lahirnya kementerian baru ini sejatinya bukan sebuah kejutan yang murni. Dorongan untuk mengubah status BP Haji menjadi kementerian telah lama digaungkan oleh DPR bersama pemerintah. Alasannya sederhana, jumlah jemaah haji Indonesia yang sangat besar membutuhkan tata kelola yang lebih terintegrasi. Selain itu, Indonesia juga ingin memperkuat posisi diplomasi di hadapan Kerajaan Arab Saudi.
Presiden Prabowo Subianto pada awal masa jabatannya memang telah merintis jalan dengan membentuk BP Haji. Lembaga ini dipisahkan dari Kementerian Agama demi fokus dan profesionalisme penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, BP Haji yang berusia singkat kini harus dilikuidasi oleh undang-undang. Statusnya dihapuskan dan diintegrasikan ke dalam Kementerian Haji dan Umrah. Sebuah peralihan yang menciptakan konsekuensi besar, baik dalam struktur birokrasi maupun pelayanan publik.
Wakil Menteri Sekretaris Negara, Bambang Eko Suharyanto, menyebut pegawai dari BP Haji dan Kementerian Agama akan dialihkan ke kementerian baru. Rincian jumlah dan susunan pegawai tidak pernah dijelaskan. Persoalan ini jelas bukan sekadar teknis, melainkan menyangkut urgensi dan kualitas pelayanan jemaah. Tanpa penataan yang matang, kementerian berisiko hanya menjadi gedung megah dengan penghuni yang kebingungan. Ibadah haji pun bisa terjebak dalam eksperimen birokrasi.
RUU Haji yang disahkan ini juga memuat perubahan mendasar terkait prinsip syariah. Asas syariah kembali ditegaskan sebagai landasan utama penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Ketentuan usia minimal 18 tahun atau sudah menikah untuk keberangkatan haji kini dihapuskan. Prinsip syariah menekankan bahwa haji wajib bagi mereka yang sudah mukalaf atau akil balig. Atas dasar itu, tentu akan berimplikasi pada jumlah calon jemaah dan tata kelola daftar tunggu.
Lahirnya kementerian baru ini tidak bisa dilepaskan dari kritik tajam pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Indonesia dianggap belum serius melindungi jemaah, terlihat dari tingginya angka kematian saat ibadah haji berlangsung. Teguran itu menjadi pukulan keras bagi pemerintah yang kerap mengklaim sebagai pengelola haji terbesar di dunia. Atas desakan Saudi yang menuntut standar lebih profesional dan responsif, pembentukan kementerian pun digulirkan sebagai jawaban politis.
Dengan status kelembagaan yang lebih tinggi, diharapkan koordinasi dengan pemerintah Arab Saudi dapat berjalan lebih kuat. Urusan kuota haji yang sering memicu polemik publik bisa ditangani dengan negosiasi yang lebih meyakinkan oleh kementerian. Hal yang sama juga berlaku pada penyediaan akomodasi, transportasi, dan pelayanan kesehatan, yang semuanya membutuhkan otoritas jelas serta kewenangan penuh. Kendati demikian, struktur kelembagaan tidak otomatis menjamin hasil, karena keberhasilan tetap ditentukan oleh mutu manusia yang mengelolanya.
Kebutuhan umat Islam terhadap penyelenggaraan umrah yang lebih transparan juga menjadi sorotan. Selama ini, keluhan jemaah tentang biaya tinggi, pelayanan minim, dan ketidakjelasan regulasi kerap terdengar. Dengan adanya kementerian khusus, publik berharap akan ada terobosan nyata.
Setiap tahun, ratusan ribu jemaah asal Indonesia berangkat menunaikan ibadah haji, dan menjadikan negeri ini sebagai pemegang peran penting dalam urusan kuota haji dunia. Kehadiran kementerian baru diharapkan mampu memperkuat daya tawar diplomasi Indonesia. Sebagai catatan, diplomasi tidak hanya soal kuota, tetapi juga perlindungan terhadap jemaah. Kasus jemaah meninggal, tersesat, atau terlantar masih sering terjadi. Artinya, kementerian baru wajib membuktikan bahwa diplomasi adalah proteksi nyata, bukan hanya formalitas.
Masalah daftar tunggu haji yang mencapai puluhan tahun juga harus menjadi fokus kementerian baru. Bagaimana kementerian mengelola antrean panjang tanpa melanggar asas keadilan? Jemaah di beberapa daerah bahkan harus menunggu lebih dari 30 tahun. Tanpa inovasi, daftar tunggu akan tetap menjadi momok menakutkan. Haji bisa berubah dari ibadah spiritual menjadi sekadar urusan administratif.
Dalam jangka panjang, kementerian baru perlu memberi perhatian serius pada pendidikan haji. Selama ini, banyak jemaah yang berangkat tanpa pemahaman mendalam tentang manasik haji. Tidak heran, mereka sering kebingungan ketika berada di tanah suci. Pendidikan haji semestinya ditempatkan sebagai prioritas utama, bahkan sebelum urusan akomodasi dan logistik. Tiada bekal pengetahuan yang cukup, ibadah dikhawatirkan kehilangan makna spiritualnya.
Dengan adanya perubahan, peran Kementerian Agama tidak lagi sama seperti sebelumnya. Sebagian besar kewenangan dalam urusan haji berpindah dari genggamannya. Hal ini membuka kemungkinan munculnya resistensi maupun gesekan birokrasi. Karena itu, kerja sama dua kementerian harus dipastikan berjalan harmonis agar tidak menimbulkan persaingan yang merusak. Jika tidak, yang menjadi korban adalah pelayanan bagi jemaah yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Kementerian Haji dan Umrah harus pula berani melibatkan masyarakat sipil, ormas Islam, akademisi, dan lembaga independen yang bisa memberikan masukan berharga. Pelibatan publik akan memperkaya perspektif dan mencegah terjadinya monopoli kekuasaan. Sebab kementerian yang eksklusif hanya akan menciptakan jarak dengan umat.
Keberadaan Kementerian Haji dan Umrah sepatutnya dipandang sebagai peluang yang menjanjikan sekaligus tantangan yang tidak ringan. Apabila dikelola dengan integritas, lembaga ini bisa melahirkan lompatan visioner bagi umat Islam di Indonesia. Tetapi bila sekadar dijadikan arena politik, hasilnya tidak lain hanyalah kegagalan. Jemaah tentu menginginkan pelayanan nyata, adil, dan manusiawi, bukan sekadar janji. Pada waktunya, sejarah akan menilai dan hanya pelayanan tulus yang akan dikenang sebagai warisan terbaik bangsa.***

Related Articles

Back to top button