Opini

Mengukur Kewajaran Gaji Wakil Rakyat

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon

Gaji seratus juta rupiah per bulan bagi wakil rakyat terasa seperti pesta pora di tengah kuburan. Angka itu berdansa di atas kemiskinan yang tak pernah benar-benar diselesaikan. Legislator seakan hidup di dimensi berbeda, menikmati Rp3 juta per hari sementara rakyat merogoh receh untuk ongkos angkot. Panggung politik dipenuhi jargon pengabdian. Padahal, realitasnya hanya transaksi kenyamanan pribadi. Inilah wajah paling gamblang dari kesenjangan yang tak lagi bisa ditutup dengan senyum kampanye.
Berita tentang tunjangan perumahan yang menggantikan rumah dinas menyorot perhatian publik. Puluhan juta rupiah tambahan setiap bulan membuat gaji bersih para wakil rakyat melambung tinggi. Fakta itu menjadi penanda nyata bahwa jarak antara rakyat dan para wakilnya semakin melebar, jauh dari semangat keterwakilan yang seharusnya dijaga.
Media sosial sontak menjadi panggung kegaduhan. Kolom komentar dipenuhi sinisme, kemarahan rakyat menggelegar, serta para akademisi hanya mampu menggelengkan kepala. Pemandangan itu menjelma komedi gelap, seolah menertawakan negeri yang katanya berdiri di atas prinsip keadilan sosial.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, mencoba memberikan klarifikasi terkait polemik yang sedang viral. Ia menegaskan bahwa gaji pokok anggota DPR sebenarnya jauh di bawah angka Rp100 juta. Besarnya penghasilan, menurutnya, lebih dipengaruhi oleh berbagai tunjangan, termasuk tunjangan perumahan yang nilainya bisa mencapai Rp50 juta setiap bulan.
Secara resmi, gaji pokok anggota DPR hanya Rp 4,2 juta sesuai PP Nomor 75 Tahun 2000. Angka itu memang tergolong kecil. Meski begitu, publik memahami bahwa yang membuat rekening wakil rakyat membengkak berasal dari tunjangan jabatan, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, hingga bantuan listrik dan telepon.
Publik sesungguhnya tidak menolak kesejahteraan pejabat negara. Gaji yang layak memang penting untuk menjaga integritas agar godaan korupsi tidak kian menggila. Namun, persoalannya terletak pada batas kewajaran yang kabur, terutama ketika tunjangan menggelembung berkali lipat. Mengingat, di negeri kita sendiri kemiskinan masih merajalela.
Bayangkan, rakyat kecil yang bergaji dua juta per bulan harus membayar pajak demi menopang fasilitas mewah itu. Jarak antara penghasilan wakil rakyat dan rakyat yang diwakili semakin menganga. Kontras ini melahirkan rasa getir yang sulit disembunyikan. Apalagi ketika janji politik di masa kampanye sering tak sebanding dengan aksi nyata. Rakyat merasa hanya dijadikan tangga, bukan tujuan utama.
Perbandingan dengan profesi lain semakin mempertegas kejanggalan. Dokter yang bertugas di daerah terpencil tidak mendapat tunjangan sebesar itu. Guru honorer yang mencerdaskan bangsa masih dihargai dengan upah jauh di bawah UMR. Petani yang menjaga ketahanan pangan bahkan tak pernah mendapat gaji tetap. Lalu, bagaimana logikanya anggota DPR layak mendapatkan hingga seratus juta per bulan.
Pada bagian lain, banyak anggota DPR tercatat jarang hadir dalam sidang. Tingkat kehadiran dan produktivitas legislasi sering menuai kritik. Target undang-undang yang harus disahkan kerap meleset jauh dari rencana. Fungsi pengawasan pun lemah, terlihat dari banyaknya kebijakan pemerintah yang lolos tanpa evaluasi mendalam. Publik wajar bertanya, apakah kinerja itu sebanding dengan seratus juta rupiah.
Kemudian, angka seratus juta semakin kontras dengan kondisi perekonomian nasional. Inflasi membuat harga-harga kebutuhan pokok melambung. Pengangguran dan kemiskinan masih menjadi masalah kronis. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) 2025 hanya Rp3,5 juta per bulan, dan di banyak daerah jumlahnya masih jauh lebih rendah dari itu. Di hadapan fakta itu, gaji DPR terasa bagai tamparan keras.
Banyak akademisi mengingatkan pentingnya proporsionalitas. Kewajaran gaji pejabat publik harus mempertimbangkan kondisi objektif masyarakat. Negara tidak boleh hanya melayani elite yang berada di puncak piramida sosial. Keadilan sosial, sebagaimana amanat UUD 1945, harus jadi tolok ukur utama. Tanpa itu, jurang sosial akan semakin dalam.
Transparansi gaji DPR kini menjadi tuntutan mendesak yang tak bisa ditawar. Rakyat memiliki hak penuh untuk mengetahui alur setiap rupiah yang mengalir ke kantong wakilnya. Sebab angka-angka besar tanpa penjelasan hanya memupuk kecurigaan dan memperlebar jarak kepercayaan.
Gaji wakil rakyat atau DPR hanya bisa dibenarkan bila disertai kesediaan untuk dikaji ulang secara terbuka. Regulasi yang mereka hasilkan tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab. Keberanian moral menjadi syarat mutlak bagi seorang wakil rakyat. Status pejabat akan kehilangan makna ketika lebih sibuk menjaga kemewahan ketimbang kepercayaan. Publik menanti sikap berani yang sejalan dengan suara yang mereka wakili.
Pemerintah tidak bisa menghindar dari tanggung jawab dalam persoalan gaji pejabat negara. Sistem yang berjalan selama ini terlalu nyaman bagi elite, dan terlalu gelap bagi publik. Mekanisme penetapan gaji seharusnya terbuka dan berbasis capaian kerja, bukan kalkulasi politik yang penuh kepentingan. Reformasi struktural menjadi harga mati jika keadilan ingin ditegakkan.
Media dan masyarakat sipil wajib menjaga fungsi pengawasan agar tidak ada ruang gelap dalam urusan gaji DPR. Sorotan publik menjadi kontrol yang tidak boleh padam, sebab tanpa tekanan moral, persoalan ini akan menguap seperti isu sesaat. Partisipasi masyarakat merupakan pilar utama demokrasi yang harus terus ditegakkan. Suara rakyat mesti lebih lantang daripada gemerincing rupiah yang kerap membius nurani.
Sebagian anggota DPR mungkin merasa tersudut dengan isu ini. Mereka bisa berdalih bahwa gaji besar itu sah secara hukum. Tetapi sah secara hukum belum tentu adil secara moral. Hukum sering tertinggal dari rasa keadilan masyarakat. Itulah mengapa isu gaji DPR menimbulkan gelombang protes.
Mengukur kewajaran gaji wakil rakyat pada hakikatnya mengukur kewajaran demokrasi kita. Jika gaji besar tak diiringi kinerja nyata dan transparansi, maka demokrasi kehilangan rohnya. Akan tetapi, jika kesejahteraan pejabat dibarengi pengabdian yang tulus, rakyat akan menerima dengan lapang dada. Jalan tengah inilah yang perlu diperjuangkan. Sebab keadilan sosial harus menjadi kompas, bukan sekadar kata di atas kertas.***

Related Articles

Back to top button