Opini

Negara Membiarkan Identitas Warganya Tercecer

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon

Tidak jarang kertas fotokopi Kartu Keluarga, KTP, Akta Kelahiran, Sertifikat digunakan sebagai pembungkus gorengan, pecel, maupun nasi bungkus di pinggir jalan atau warung kecil. Kejadian ini terus berulang dan seolah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Dokumen yang mestinya dijaga sebagai informasi rahasia berakhir di tangan penjual makanan. Identitas warga kemudian menjadi sekadar alas sambal dan nasi. Situasi ini menguak betapa lemahnya kesadaran publik dan institusi terhadap tata kelola dokumen kependudukan.
Praktik menjadikan fotokopi dokumen kependudukan sebagai bungkus makanan sudah bukan hal mengejutkan. Dari waktu ke waktu, kasus serupa ditemukan di berbagai daerah. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga data pribadi masih sangat rendah. Padahal, satu Nomor Induk Kependudukan (NIK) dapat membuka peluang bagi tindak kriminal. Alih-alih dimusnahkan dengan aman, kertas tersebut tetap dianggap sekadar limbah tak berguna.
Aturan mengenai kerahasiaan dokumen sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Pemerintah pun menegaskan perlindungan data pribadi dalam regulasi turunannya. Secara tertulis, aturan terlihat ketat dengan ancaman sanksi yang tegas. Akan tetapi, di lapangan, penerapannya kerap tidak berjalan sesuai harapan. Mengingat masyarakat dan aparat sering lalai dalam melaksanakan penghancuran fotokopi dokumen.
Banyak orang lupa bahwa fotokopi KK dan KTP bukan sekadar kertas. Di dalamnya tersimpan jejak identitas seseorang, mulai dari nama, tanggal lahir, pekerjaan, alamat, NIK, hingga hubungan keluarga. Informasi ini adalah kunci bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk kejahatan digital maupun konvensional. Misalnya, pemalsuan dokumen kredit atau pinjaman online ilegal. Sekali data tersebar, korban bisa menanggung beban seumur hidup.
Sejumlah lembaga, baik pemerintah maupun swasta, masih menyimpan berkas dengan cara sembarangan tanpa pengamanan. Jika sudah dianggap tidak bermanfaat, tumpukan dokumen dilepas kiloan ke tangan pengepul kertas. Praktik ini menimbulkan celah besar bagi pihak yang ingin menyalahgunakan data. Informasi pribadi warga akhirnya jatuh ke pasaran dengan harga murah. Identitas masyarakat pun kehilangan nilai sakralnya dan hanya menjadi barang dagangan.
Aturan soal pemusnahan fotokopi dokumen kependudukan bukan barang baru. Permendagri Nomor 104 Tahun 2019 sudah mengatur semuanya secara detail. Arsip yang sudah usang wajib dihancurkan, entah lewat mesin penghancur kertas, dibakar, atau dengan metode resmi lain. Tujuannya jelas, yakni mencegah kebocoran data pribadi. Sayangnya, realitas berkata lain. Masih banyak lembaga main serampangan. Mereka buang sembarangan, seolah urusan keamanan identitas masyarakat tak ada harganya.
Sikap abai dalam menjaga dokumen pribadi ibarat menyimpan bom waktu. Fotokopi KK dan KTP yang hari ini diremehkan karena hanya dipakai sebagai bungkus makanan, bisa berubah menjadi pintu masuk pembobolan rekening pada masa mendatang. Tidak ada jaminan lembaran bekas itu aman dari incaran penipu. Para pemburu data pribadi memahami celah ini dengan sangat baik. Tragisnya, beban akibatnya selalu jatuh kepada masyarakat kecil yang tidak memiliki perlindungan memadai.
Yang paling mengherankan, kesadaran masyarakat dalam hal keamanan dokumen pribadi masih sangat rendah. Banyak orang dengan mudah menyerahkan fotokopi dokumen ke berbagai pihak tanpa mempertimbangkan dampaknya. Tidak ada perhatian terhadap bagaimana berkas itu dikelola setelah selesai dipakai. Kebiasaan untuk memikirkan risiko lanjutan hampir tidak pernah tumbuh. Bagi publik, lembaran itu tetap dianggap hanya sebagai fotokopi, bukan sebagai ancaman yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Padahal, di era digital, data pribadi adalah aset yang lebih berharga dari emas. Setiap nomor, tanda tangan, dan alamat bisa dipakai untuk mengendalikan identitas seseorang. Kejahatan siber sering berawal dari kebocoran sederhana di dunia nyata. Fotokopi yang tercecer menjadi awal dari bencana yang lebih besar. Namun, kesadaran ini belum tumbuh merata.
Sulit dipungkiri, negara masih gagal memberi teladan dalam menjaga kerahasiaan data warganya. Arsip-arsip lama dari lembaga pemerintah sering ditemukan berserakan. Tidak sedikit kantor kelurahan, kecamatan, hingga dinas besar sekalipun yang masih ceroboh dalam manajemen dokumen. Bukannya menjaga, mereka malah membuka jalan kebocoran. Ini jelas kontradiksi dari semangat perlindungan data pribadi yang selalu digaungkan.
Di atas kertas, pemerintah terlihat serius mendorong transformasi digital. E-KTP bahkan dijadikan bukti keberhasilan modernisasi birokrasi kependudukan. Akan tetapi, praktik sehari-hari justru berbanding terbalik karena masyarakat masih diwajibkan menyediakan fotokopi KTP untuk berbagai urusan kecil. Sebagai pengganti menuju sistem tanpa kertas, kita malah memproduksi lebih banyak dokumen fisik yang rawan terbuka. Peristiwa semacam ini jelas menambah daftar masalah birokrasi.
Penyalahgunaan data pribadi bukan ancaman fiksi. Kasus peminjaman uang online dengan identitas orang lain sudah banyak terjadi. Bahkan ada warga yang tiba-tiba dikejar debt collector karena KTPnya dipakai oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Bayangkan, betapa menderitanya sang korban akibat kelalaian sederhana soal kertas bekas. Ini tragedi birokrasi yang terlalu remeh untuk diabaikan.
Bagi pedagang kaki lima, mungkin kertas hanyalah bahan bungkus. Mereka membeli kiloan dari pengepul, tanpa tahu isi yang tercetak di atasnya. Sementara itu, pemilik identitas yang tercantum tidak pernah menyadari bahwa datanya sedang dipajang di jalanan. Inilah bentuk paling telanjang dari abainya negara terhadap warganya. Identitas manusia dijadikan piring makan publik.
Aturan yang baik selalu datang bersama solusi. Di sinilah pemerintah dituntut untuk tidak berhenti pada regulasi, melainkan aktif memberi edukasi. Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak warga yang menganggap robekan kertas sudah cukup untuk mengamankan data pribadi. Meski begitu, informasi di dalamnya tetap bisa dipulihkan dan disalahgunakan. Oleh karena itu, perlu diterapkan cara yang lebih aman dan disosialisasikan secara luas, mulai dari lingkungan sekolah, kantor desa, hingga ruang publik.
Masalah fotokopi dokumen sejatinya tidak sesederhana kisah jenaka yang kerap terdengar di warung makan. Situasi ini ialah cermin lemahnya perlindungan identitas di tanah air. Pemerintah harus hadir dengan aksi nyata, bukan sekadar menambah pasal dan aturan. Masyarakat pun tidak boleh abai, sebab keamanan identitas menjadi tanggung jawab bersama. Jika kesadaran itu tumbuh, maka data pribadi warga akan benar-benar aman, dan tidak berakhir sebagai bungkus lauk pauk.**

Related Articles

Back to top button