Ayumajakuning

Tradisi Rabu Wekasan Masih Dijaga dan Dilestarikan Kampung Kaputren

kacenews.id-MAJALENGKA-Warga Kampung Kaputren, Desa Putridalem, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka peringati Rabu wekasan (hari Rabu terakhir di bulan Safar) dengan cara membagikan apem kepada semua warga, Rabu (20/8/2025).

Tradisi Rabu Wekasan dengan membagikan apem di bulan Safar menurut penanggalan jawa ini dipercaya sebagai bentuk tolak bala atau menghindari beragam musibah yang mungkin menimpa pada diri dan lingkungan. Tradisi ngapem terus dijaga warga setempat dan terus ditanamkan kepada generasi muda.

Menurut keterangan salah selorang tokoh masyarakat Kampung Kaputren, Surya, pada masa nenek moyangnya pembuatan apem dilakulkan secara perorangan, setiap keluarga membuat apem dan dibagikan kepada tetangga walaupun tetangganya juga sama bembuat kue apem.

Related Articles

Atau terkadang warga membuat apem diwaktu yang berbeda tidak bertepatan dengan hari Rabu terakhir, namun di hari – hari terakhir bulan safar sehingga kue apem setiap hari selalu tersedia di rumah karena dikirim oleh tetangga atau saudara.

Sekarang menurutnya, membuat kue apem seringkali dilakukan bersama–sama dengan tetangga atau keluarga lain. Bahan baku untuk membuat kue apem juga di kumpulkan secara bersama – sama sehingga biaya lebih ringan dan sekaligus membagun sikap gotong royong.

Kue apem dibuat pagi hari, dan siangnya sudah bisa dibagikan kepada para tetangga dan warga lainnya di kampung. Wadah untuk membuat apempun menggunakan daun pisang dan kinca (gula) diwadahi dengan kobokan mangkuk seng).

“Orang tua dulu membuat apem sejak tengah malam, sehingga pagi hari begitu usai subuh atau bahkan sebelum subuh sudah dibagikan kepada tetangga, Sebagian dibawa ke masjid untuk dibagi ke mustami, kini kebiasaan terus berubah seiring waktu,” ungkap Surya.

Namun menurutnya, tradisi pembuat kue apem tetap Lestari karena hal itu adalah warisan nenek moyang secara turun temurun yang harus terus dijaga, karena filosifinya.

“Ini kan sebagai tolak bala, menghindari beragam musibah yang mungkin menimpa manusia, dan memohon keselamatan di dunia maupun diakhirat, masyarakat sangat meyakini tolak bala harus dilakukan,” ungkapnya.

Kini, menurut Suryati dan Ningkem yang membuat kue apem, pembuatan kue apem diajarkan kepada anak dan cuvu mereka agar kedepan bisa melanjutkan tradisi tesebut, baik tata cara pembuatannya maupun bahan baku yang harus disediakan.

”Pan urang oge baheula diajarkeuun ku kolot, ku nini jeung ema, jang nolak balai,” kata Ningkem.

Malah menurutnya, pada jaman dirinya masih kecil, selain membuat apem, juga di amsjid tersedia air yang telah di beri jampi dan yasinan. Airnya dipergunakan utuk membasuh muka dan membasahi rambut.

“Dulu kalau Rabu wekasan setelah solat asar semua anak berlarian ke masjid berebut air dibasokm untuk dipertgunakan membasuh wajah dan rambut. Tradisi itu sekarang hilang, tinggal tradisi napem,” katanya.

Sementara itu sejumlah anak sekolah Nampak antusias membuat apem disaksikan para orang tua mereka. Ketika pulang mereka membawa apem ke sekolah untuk dibagikan kepada teman – temannya.(Tat)

Back to top button