Angka Bicara, Publik Tak Percaya
Syarifuddin
Pemerhati Praktik Komunikasi Politik
Di zaman yang dipenuhi banjir informasi, angka-angka resmi dari pemerintah sering kali justru tidak menimbulkan kelegaan, melainkan kecurigaan. Begitu rilis statistik diumumkan—misalnya tingkat kemiskinan menurun atau pengangguran terkendali—reaksi publik kerap bukan apresiasi, tetapi nyinyiran. Di jagat media sosial, komentar semacam “nggak sesuai kenyataan di sekitar saya” langsung membanjiri kolom diskusi. Fenomena ini menandakan bahwa yang sedang dipertaruhkan bukan semata validitas data, melainkan kepercayaan publik itu sendiri.
Pertanyaan mendasarnya: mengapa publik begitu cepat meragukan data resmi, bahkan yang bersumber dari institusi kredibel seperti Badan Pusat Statistik? Untuk menjawabnya, kita perlu masuk lebih dalam ke dimensi historis, politis, metodologis, psikologis, hingga konsekuensi legitimasi. Di tiap dimensi, ada benang merah yang sama: data kehilangan makna bila tidak disertai kepercayaan.
Ketidakpercayaan publik terhadap data pemerintah memiliki akar panjang yang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman historis bangsa. Sejak masa kolonial, angka-angka statistik pertanian, perdagangan, maupun pajak sering disajikan sebagai bukti “kemajuan” Hindia Belanda, padahal realitas yang dialami masyarakat adalah eksploitasi dan kemiskinan struktural. Pola ini berlanjut di era Orde Baru, ketika pertumbuhan ekonomi yang tinggi dipamerkan sebagai simbol stabilitas dan modernitas, sementara ketimpangan, represi politik, dan keterbatasan akses terhadap kesejahteraan tetap dirasakan luas. Pengalaman historis inilah yang menanamkan prasangka kolektif bahwa data pemerintah bukanlah cermin realitas, melainkan instrumen kekuasaan.
Dalam kerangka teori Max Weber, legitimasi kekuasaan modern bertumpu pada rasionalitas legal-birokratis, yakni kemampuan negara untuk menghadirkan bukti objektif, terukur, dan dapat diverifikasi. Namun, ketika angka-angka itu dicurigai sebagai produk manipulasi atau penyembunyian fakta, maka basis legitimasi tersebut justru melemah. Kita juga bisa melihat bahwa klaim rasionalitas teknokratis tidak otomatis menjamin keabsahan sosial, karena masyarakat menilai bukan hanya isi data, tetapi juga proses komunikatif dan partisipasi dalam penyusunannya. Bahkan, data justru bisa dibaca sebagai “rezim kebenaran” yang mengatur cara kita melihat dunia sesuai kepentingan kekuasaan.
Warisan sejarah ini beroperasi dalam memori kolektif. Banyak keluarga Indonesia menyimpan cerita tentang kesulitan ekonomi di masa lalu, meskipun media resmi kala itu menyiarkan kabar kemakmuran. Memori intergenerasional ini membentuk semacam refleks sosial: angka boleh saja menurun, misalnya angka kemiskinan atau pengangguran, tetapi pengalaman sehari-hari warga lebih dipercaya dibanding klaim pemerintah.
Ironisnya, ketika pemerintah Indonesia memasuki era reformasi birokrasi dan keterbukaan informasi, skeptisisme publik terhadap data justru tidak serta merta surut. Kehadiran berbagai inisiatif digitalisasi statistik merupakan langkah maju dalam konsolidasi tata kelola informasi. Namun, publik masih kerap mempertanyakan keabsahan angka-angka resmi. Misalnya, ketika pemerintah mengumumkan penurunan angka kemiskinan, respons yang muncul sering berupa keraguan: apakah angka itu benar-benar mencerminkan realitas di lapangan, atau sekadar hasil perhitungan teknokratis yang tidak menyentuh pengalaman sehari-hari? Di sinilah terbentuk trust deficit: jarak antara narasi negara dan pengalaman masyarakat.
Refleksi kritis dari situasi ini adalah bahwa membangun kembali kepercayaan publik tidak cukup dengan meningkatkan transparansi data atau memperbaiki metodologi statistik. Lebih penting lagi adalah bagaimana negara menghubungkan angka-angka dengan realitas sosial warga, melibatkan publik dalam proses penyusunan dan verifikasi, serta menyusun narasi kebijakan yang koheren dengan pengalaman hidup masyarakat. Dengan kata lain, data hanya akan bermakna jika hadir dalam ruang publik yang partisipatif dan komunikatif, bukan sekadar tabel atau grafik yang disajikan dari atas.
Dalam praktik kebijakan publik di Indonesia, data sering diperlakukan sebagai instrumen teknis untuk pengambilan keputusan—angka kemiskinan, inflasi, tingkat pengangguran, indeks pembangunan manusia, dan seterusnya. Angka-angka itu dijadikan tolok ukur kinerja pemerintah, sekaligus legitimasi bagi perumusan kebijakan. Namun, yang kerap terabaikan adalah dimensi komunikatif: bagaimana angka-angka itu diartikulasikan kepada publik, bagaimana publik dilibatkan dalam proses verifikasi, dan bagaimana pengalaman empiris warga diakomodasi dalam pembentukan narasi resmi.
Tanpa ruang dialog, data cenderung menjadi “bahasa elite”—bahasa teknokrat yang asing bagi sebagian besar warga. Hal ini memperlebar jarak antara tabel statistik dengan realitas yang dirasakan masyarakat. Di titik ini, kritik Habermas tentang distorsi komunikatif menjadi relevan: klaim objektivitas data bisa runtuh jika komunikasi antara negara dan warga gagal memenuhi prinsip keterbukaan, partisipasi, dan rasionalitas bersama.
Di Indonesia, misalnya, penggunaan data digital untuk pemetaan bantuan sosial menimbulkan polemik karena ketidaksesuaian antara daftar penerima resmi dan realitas kebutuhan di lapangan. Ketika warga miskin yang nyata-nyata membutuhkan justru tidak terdata, sementara mereka yang relatif mampu tercatat sebagai penerima, maka bukan hanya kredibilitas data yang dipertanyakan, tetapi juga moralitas negara dalam mengelola pengetahuan sosial.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa tantangan terbesar bukan semata validitas teknis data, tetapi legitimasi sosial dari data itu sendiri. Melalui tulisan sederhana ini, perlu disampaikan bahwa tampaknya data hanya akan dipercaya bila memenuhi tiga syarat (1) koherensi dengan realitas (angka harus beresonansi dengan pengalaman sehari-hari warga, (2) transparansi proses (publik perlu tahu bagaimana data dikumpulkan, siapa yang memverifikasi, dan sejauh mana metode yang dipakai bisa dipertanggungjawabkan, dan (3) dialog partisipatif (data harus dibuka ruang interpretasinya melalui diskusi publik, sehingga angka bukan hanya milik pemerintah, melainkan juga milik masyarakat)
Dengan kata lain, jalan rekonstruksi kepercayaan membutuhkan pergeseran paradigma: dari data sebagai “instrumen kontrol” menuju data sebagai “bahasa dialog” antara negara dan warga. Tanpa itu, setiap angka, betapapun canggih metodologinya, tetap akan dibaca dengan kacamata curiga.
Selanjutnya, data pemerintah seringkali dipersepsi publik bukan sebagai fakta netral, melainkan sebagai instrumen politik. Angka-angka statistik—seperti penurunan kemiskinan atau pengangguran—tidak jarang dibaca bukan sebagai cermin realitas, tetapi sebagai upaya pemerintah memperindah wajahnya. Francis Fukuyama (Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, 1995) menegaskan bahwa kepercayaan adalah modal sosial utama dalam relasi negara–masyarakat. Begitu masyarakat menganggap data hanyalah alat propaganda, maka yang runtuh bukan sekadar kredibilitas angka, tetapi juga fondasi kepercayaan. Fenomena ini dikenal sebagai instrumentalization of data: data dipakai bukan untuk menerangi kebijakan, melainkan untuk menjustifikasi kekuasaan.
Masalahnya tidak berhenti di dimensi politik. Ada juga kesenjangan metodologi yang membuat data semakin jauh dari pengalaman warga. Definisi “kemiskinan” menurut Badan Pusat Statistik berbeda dengan pemahaman masyarakat. BPS menetapkan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan kalori minimum dan pengeluaran nonmakanan esensial. Konsekuensinya, orang yang hidup sedikit di atas garis itu tak lagi dihitung miskin, meski kenyataannya masih kesulitan sehari-hari. Robert Putnam, lewat konsep social capital yang ramai diperbincangkan pada tahun 1990-an, menekankan bahwa kepercayaan lahir dari kesesuaian antara angka dan pengalaman. Jika realitas empiris berbeda dari tabel statistik, kepercayaan sosial pun patah. Di sinilah literasi menjadi penting. Karena publik jarang mendapat penjelasan metodologi, kekosongan pengetahuan diisi oleh prasangka: angka dianggap selalu “lebih indah” daripada kenyataan. Padahal sering kali kesenjangan itu lahir dari perbedaan definisi, bukan manipulasi.
Tantangan berikutnya datang dari era media sosial. Kini, cerita personal jauh lebih dipercaya daripada laporan resmi. Seorang warganet yang menulis kisah sulitnya mencari kerja lebih mudah meyakinkan publik daripada rilis statistik yang menyebut pengangguran menurun. Dalam psikologi sosial, ini disebut confirmation bias: orang cenderung percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinan dan pengalaman mereka. Akibatnya, angka resmi sering kalah gaung dari kisah viral. Maka, jangan heran bila data tenggelam di tengah derasnya narasi personal. Mempercayai cerita tetangga lebih daripada kurva statistik adalah hal yang manusiawi, namun jika kepercayaan sepenuhnya bergeser ke ranah narasi emosional, kita justru kehilangan fondasi objektif untuk merumuskan kebijakan.
Kondisi ini bermuara pada krisis legitimasi. Padahal, legitimasi adalah fondasi otoritas. Tanpa legitimasi, instrumen kekuasaan sekalipun menjadi rapuh. Jika data pemerintah tidak dipercaya, maka basis kebijakan ikut goyah. Program pengentasan kemiskinan yang sebenarnya efektif bisa kehilangan dukungan hanya karena publik menganggap datanya tidak valid. Inilah paradoksnya: kebijakan mungkin berhasil di atas kertas, tetapi gagal di ruang publik akibat krisis kepercayaan. Data yang tidak dipercaya ibarat kompas rusak: ia tidak lagi bisa menjadi penunjuk arah.
Oleh sebab itu, membangun kembali kepercayaan pada data berarti mengubah paradigma. Ada empat langkah yang patut ditawarkan untuk mengatasi situasi ini. Pertama, transparansi metodologi, yakni membuka indikator, sumber, keterbatasan, hingga margin of error agar publik memahami prosesnya. Kedua, bahasa data yang membumi, menerjemahkan angka ke dalam narasi konkret yang mudah dipahami. Ketiga, konsistensi lapangan, di mana data harus mendapat konfirmasi sosial dari pengalaman nyata masyarakat. Keempat, kolaborasi independen dengan universitas, lembaga riset, dan masyarakat sipil agar data lahir dari ekosistem bersama.
Data sejatinya bukan milik pemerintah, melainkan milik publik. Tugas negara adalah memastikan data tidak hanya sahih secara metodologis, tetapi juga sahih secara sosial. Tanpa itu, angka akan tetap dicurigai, kebijakan akan terus digugat, dan legitimasi negara akan melemah. Seperti diingatkan Fukuyama (1995), masyarakat hanya bisa makmur bila ada kepercayaan. Maka, pekerjaan besar pemerintah bukan hanya menurunkan angka kemiskinan atau pengangguran, tetapi juga menurunkan kemiskinan kepercayaan. Karena pada akhirnya, angka boleh naik-turun, tetapi bila kepercayaan publik hilang, semua capaian hanya akan menjadi ilusi di atas kertas.***





