Ragam

PBB: Kebijakan yang Kehilangan Nurani

KENAIKKAN Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 1.000 persen di Kota Cirebon sangat sulit diterima oleh akal sehat. Di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, langkah ini bukan saja menguras kantong warga, tetapi juga menggerus kepercayaan terhadap pemerintah daerah.

Seharusnya, pajak menjadi instrumen berkeadilan yang memperkuat daya hidup masyarakat, bukan malah mematikan. Fakta bahwa ada warga yang PBB-nya melonjak dari Rp 6,4 juta menjadi Rp 64 juta jelas bukan sekadar angka, ini adalah beban yang mengancam keberlangsungan ekonomi keluarga dan usaha.

Dalih meningkatkan pendapatan daerah tidak bisa dijadikan pembenaran ketika BUMD yang ada justru tidak sehat dan gagal memberikan kontribusi optimal. Memeras rakyat lewat pajak tinggi untuk menutup kebocoran dan ketidakmampuan mengelola aset publik adalah bentuk kemalasan struktural dalam manajemen pemerintahan.

Kenaikan pajak yang ekstrem ini menciptakan jurang ketidakpercayaan antara pemerintah dan warganya. Alih-alih menjadi pengayom, pemerintah terkesan seperti pemungut pajak yang kaku, tanpa empati pada realitas ekonomi rakyat. Padahal, kepercayaan publik adalah modal sosial yang tidak bisa dibeli dengan pendapatan pajak berapa pun besar nilainya.

Selain itu, kegagalan mencari sumber pendapatan daerah yang kreatif dan berkelanjutan menunjukkan lemahnya inovasi dalam tata kelola. Kota Cirebon memiliki potensi besar di sektor pariwisata, perdagangan, dan jasa yang jika dikelola dengan profesional dapat menjadi sumber PAD tanpa harus membebani warga. Membenahi BUMD dan memperkuat sektor produktif jauh lebih bijak daripada memilih jalan pintas dengan menaikkan pajak secara drastis.

Pemerintah Kota Cirebon harus belajar dari daerah lain yang berani membatalkan kebijakan serupa demi melindungi warganya. Dialog terbuka, evaluasi menyeluruh, dan reformasi manajemen BUMD adalah langkah realistis. Masyarakat bukan sekadar objek pajak; mereka adalah mitra yang harus dihargai, didengar, dan dilindungi.

Jika suara rakyat diabaikan, bukan hanya legitimasi kebijakan yang runtuh, tetapi juga kredibilitas kepemimpinan. Kebijakan yang kehilangan nurani pada akhirnya akan kehilangan dukungan. Dan ketika dukungan hilang, yang tersisa hanyalah resistensi dan perlawanan yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan itu sendiri.***

Related Articles

Back to top button