Dari Pati ke Cirebon, Warga Tolak Kenaikan PBB capai 1.000 Persen

kacenews.id-CIREBON-Masyarakat Kota Cirebon kembali menggelar aksi penolakan terhadap kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikeluarkan Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon. Kenaikan yang mencapai hingga maksimal 1.000 persen ini dinilai sangat memberatkan masyarakat dan tidak masuk akal.
Kebijakan PBB: Pemkot Cirebon menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan hingga maksimal 1.000% berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2024. Penolakan Warga: Warga tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon dan Pamaci memprotes, menilai kebijakan tidak masuk akal dan memberatkan.
Perbandingan Daerah: Di Pati, kenaikan 250% saja dibatalkan, warga mempertanyakan kenapa Kota Cirebon tidak bisa.
Tuntutan: Batalkan Perda No.1/2024, kembalikan tarif PBB seperti 2023, copot pejabat terkait, dan tuntut langkah nyata Wali Kota dalam 1 bulan.
Dampak Nyata: Ada warga yang PBB-nya naik dari Rp 6,4 juta menjadi Rp 64 juta.
Aksi Lanjutan: Jika tuntutan tak dipenuhi, siap gelar aksi 11 September 2025.
Isu Lain: Kritik pada BUMD yang dinilai tidak sehat dan tidak optimal menghasilkan pendapatan, membebani masyarakat lewat pajak tinggi.
Salah satu warga Cirebon, Hetta Mahendrati Latumeten menegaskan, pihaknya mendesak pemkot untuk membatalkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah tersebut.
“Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kenaikan PBB sebesar 250 persen saja dibatalkan. Kenapa di Cirebon yang hampir 1.000 persen tidak bisa dibatalkan?” ujarnya.
Sejak Januari 2024, masyarakat Kota Cirebon yang tergabung ke dalam Paguyuban Pelangi Cirebon telah mengirimkan protes ke berbagai pihak, mulai dari DPRD, melakukan aksi turun ke jalan, hingga menyampaikan aspirasi kepada Presiden dan Kementerian Dalam Negeri.
Hetta juga menyayangkan anggapan bahwa perjuangan mereka hanya mewakili ‘satu persen’ warga terdampak. Menurutnya, hampir semua warga mengalami kenaikan PBB dengan persentase bervariasi antara 100 hingga 200 persen, bahkan 1000 persen, tergantung lokasi jalan.
“Satu persen bahkan setengah persen pun tetap bagian dari masyarakat Kota Cirebon,” tegasnya.
Dalam aksi ini, mereka menyampaikan empat tuntutan utama yaitu membatalkan Perda No.1 Tahun 2024 dan mengembalikan tarif PBB seperti tahun 2023, menurunkan pejabat pemkot yang dianggap bertanggung jawab atas kenaikan PBB, dan meminta Wali Kota Cirebon menunjukkan langkah nyata dalam satu bulan terkait dua tuntutan pertama.
“Jika tidak ada respons, kami siap menggelar aksi turun ke jalan kembali,” ungkapnya.
Warga terdampak PBB naik lainnya, Surya Pranata mengatakan, saat ini ekonomi belum bangkit, dan kenaikan PBB sangat meresahkan.
“Kita ingin bangkit, jangan terus terpuruk, Pemda bisa bikin kebijakan yang lebih pro rakyat. Kita harapkan keresahan ini bisa dihapuskan, yaitu pembatalan Perda Nomor 1 Tahun 2024,” ujarnya.
Surya Pranata sendiri saat ini harus membayar PBB hingga 1.000 persen, dari semula hanya Rp 6,4 juta menjadi Rp 64 juta.
Warga lainnya, Hendrawan Rizal berharap Wali Kota Cirebon dapat membereskan dan menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya.
Sementara itu, Paguyuban Masyarakat Kota Cirebon (Pamaci) berencana menggelar aksi terkait kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada bulan depan.
Ketua Harian Pamaci Kota Cirebon, Adji Priyatna mengungkapkan, pihaknya tetap mengedepankan jalur dialog dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi di Kota Cirebon.
Akan tetapi, jika dialog tidak membuahkan hasil, pihaknya siap menggelar aksi pada 11 September 2025 mendatang.
“Satu wacana memang kita mengutamakan dialog. Andai kata pun dialog tidak ketemu, ya mungkin kita akan melakukan aksi di 11 September 2025. Dan itu kami serius,” ungkap Adji, Selasa (12/8/2025).
Menurutnya, perjuangan Pamaci tidak hanya menyangkut penolakan kenaikan PBB saja. Akan tetapi, berbagai permasalahan lain, terutama kinerja BUMD Kota Cirebon yang dinilai tidak optimal.
“BUMD sekarang kondisinya tidak sehat semua dan itu yang kami tuntut untuk diperbaiki. Jangan sampai masyarakat dibebani pajak tinggi hanya karena BUMD tidak bisa menghasilkan,” tuturnya.
Menurut Adji, seharusnya pemerintah daerah melihat masalah secara menyeluruh. Tidak hanya fokus pada kebijakan kenaikan pajak, tetapi juga membenahi sumber pendapatan daerah lain yang selama ini dinilai tidak maksimal.
“Kalau dilihat dari hulu ke hilir, tidak hanya melulu kenaikan PBB, tapi harus ada sumber lain yang menghasilkan. Yang saya lihat, BUMD sangat slow sekali,” ucapnya. (Fan/Jak)