Menjaga Keseimbangan Rantai Pangan Nasional

AKSI mogok massal yang dilakukan para pengusaha penggilingan gabah di Kabupaten Majalengka selama dua hari terakhir merupakan peringatan kepada pemerintah atas dinamika kebijakan pangan nasional.
Ketidakpuasan ini mencuat sebagai respons terhadap kesenjangan harga antara gabah dan beras, serta praktik pembelian gabah oleh pemerintah yang dinilai merugikan pelaku usaha kecil-menengah di sektor penggilingan.
Di satu sisi, pemerintah telah menetapkan Harga Pokok Penjualan (HPP) gabah sebesar Rp6.500 per kilogram dan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras sebesar Rp12.500 per kilogram.
Di sisi lain, harga pasar gabah di tingkat petani sudah mencapai Rp7.300 per kilogram. Ketimpangan ini menempatkan pengusaha penggilingan pada posisi sulit, membeli gabah dengan harga tinggi, tetapi menjual beras dengan harga yang dibatasi.
Jika dilihat dari sisi pengusaha penggilingan, tuntutan mereka bukan tanpa dasar. Usaha mereka berada di tengah rantai distribusi, menjadi jembatan antara petani dan konsumen.
Ketika beban biaya tinggi tidak diimbangi dengan ruang untuk menetapkan harga jual yang wajar, keberlangsungan usaha menjadi terancam.
Terlebih, penggilingan kecil tidak memiliki fasilitas pengering dan tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar atau Bulog yang membeli langsung dari sawah melalui program “gerebek sawah”.
Namun demikian, dari perspektif pemerintah, penetapan HET beras merupakan upaya menjaga daya beli masyarakat dan menstabilkan inflasi, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Pemerintah juga perlu menjaga ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan.
Di sinilah pentingnya pendekatan kebijakan yang berimbang. Keseimbangan harga antara hulu (petani), tengah (penggilingan), dan hilir (konsumen) harus dijaga dengan cermat. Pemerintah perlu membuka ruang dialog dan mencari skema yang lebih adil. baik melalui penyesuaian HET, penyediaan subsidi, maupun fasilitasi infrastruktur penggilingan skala kecil agar mampu bersaing.
Kebijakan pangan tidak boleh berat sebelah. Semua pihak, petani, pengusaha, dan konsumen, memiliki kepentingan yang sah dan harus dihormati. Pemerintah sebagai pengatur kebijakan harus menjadi penengah yang adil, bukan justru memperlebar ketimpangan.
Jika tidak segera diatasi, dampaknya bisa jauh lebih luas yakni terganggunya rantai pasok beras nasional dan meningkatnya tekanan sosial ekonomi di daerah.***