40% Anggaran untuk Pegawai tapi Pelayanan Publik Masih Setengah Hati?

Oleh: KH. Dr. M. Habib Khaerussani, M.Pd
Pemerhati Pendidikan
Lebih dari empat dari setiap sepuluh rupiah yang ada di APBD Kabupaten Cirebon dihabiskan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas pegawai negeri. Angkanya menembus 40%—porsi yang begitu besar sehingga jika dibayangkan, setara dengan mengorbankan sebagian besar belanja pembangunan demi memastikan para pegawai tetap nyaman bekerja. Namun, ironisnya, kenyamanan itu tidak selalu berbuah pada pelayanan publik yang lebih baik.
Masyarakat masih sering mengeluh: antrean yang panjang, prosedur yang berbelit, pelayanan yang lambat, dan sikap aparatur yang dingin. Lebih parah lagi, berita-berita memalukan tentang oknum ASN kerap menghiasi media—dari kasus asusila, penyalahgunaan wewenang, hingga korupsi. Semua itu seolah menjadi bukti bahwa membayar mahal belum tentu membeli integritas.
Padahal, mandat undang-undang sudah jelas. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menegaskan bahwa ASN adalah pelayan masyarakat, bukan sebaliknya. Mereka diwajibkan mengabdi dengan profesional, melayani tanpa pamrih, menjaga martabat jabatan, dan menjadi teladan. Tapi di lapangan, kita masih menemukan ASN yang melihat pekerjaannya sekadar sebagai kewajiban untuk hadir di kantor dan menunggu jam pulang, bukan panggilan hati untuk memberi yang terbaik bagi masyarakat.
Inilah paradoks yang merugikan kita semua: negara telah mengalokasikan hampir separuh anggaran untuk belanja pegawai, namun yang kembali ke rakyat sering kali hanya separuh dari pelayanan yang seharusnya mereka dapatkan. Lebih menyakitkan lagi, di tengah porsi belanja pegawai yang besar itu, pendidikan karakter pegawai justru sering diabaikan.
Pembinaan moral kerap diperlakukan sebagai formalitas belaka. Seminar setahun sekali, materi motivasi yang manis di telinga, lalu kembali pada rutinitas seperti biasa. Tidak ada sistem pembinaan yang berkelanjutan, tidak ada pengawasan yang konsisten, dan teladan dari pimpinan pun sering kali tidak terlihat. Padahal, membangun integritas membutuhkan lingkungan yang sehat, sanksi yang tegas, dan keteladanan nyata.
Kabupaten Cirebon punya modal besar untuk menanamkan nilai-nilai itu. Budaya lokal yang sarat etika, religiusitas yang kental, dan sejarah panjang sebagai pusat peradaban adalah aset moral yang tak ternilai. Tetapi semua itu tidak akan berarti jika pegawai pemerintahan sendiri gagal menjadikannya pedoman. Akibatnya, uang rakyat yang seharusnya menjadi investasi sumber daya manusia terbaik berubah menjadi beban yang sulit dipertanggungjawabkan.
Kalau situasi ini terus dibiarkan, kita hanya tinggal menghitung waktu sampai munculnya skandal berikutnya. Kepercayaan publik akan terus terkikis, dan angka 40% di pos belanja pegawai akan semakin sulit diterima masyarakat. Perubahan harus dimulai dari kesadaran bahwa integritas tidak pernah lahir dari slip gaji. Ia dibentuk oleh pembinaan yang konsisten, lingkungan kerja yang sehat, dan kemauan pribadi untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan sendiri.
Belanja pegawai yang besar seharusnya menjadi tanda bahwa daerah ini menaruh harapan besar pada manusianya. Tetapi harapan itu akan hancur jika para pelayan publik justru menjauh dari ruh pengabdian. Pelayanan publik yang kita dambakan hanya akan lahir dari hati yang bersih dan karakter yang kokoh—sesuatu yang tak bisa dibeli, tapi harus dibentuk setiap hari.***