Opini

TPA Kopiluhur, The Secret of Gate?

Oleh: Sutan Aji Nugraha
Pengamat Politik Cirebon

Pernahkah anda berpikir bagaimana nasib sampah-sampah yang menumpuk di depan rumah setelah diangkut petugas sampah? Ya, mereka akan membawanya ke suatu muara besar di mana sampah-sampah itu akan dikelola, yaitu di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).TPA merupakan tempat akhir yang digunakan untuk mengumpulkan semua sampah kota. Tujuan pengumpulan sampah adalah agar sampah dapat diisolasi secara aman dan tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Lantas, bagaimanakah kondisi TPA yang ada di Indonesia? Mari menilik lebih dalam realita ini! Indonesia pada tahun 2020 menempati posisi ke-5 penghasil sampah terbesar di dunia menurut catatan Bank Dunia dengan tajuk The Atlas of Sustainable Development Goals 2023. Pengelolaan sampah Kota/Kabupaten di Indonesia masih menjadi permasalahan yang tidak ada habisnya, belum lagi penduduk yang semakin bertambah secara otomatis akan menambah sampah tiap harinya. Banyaknya timbulan sampah ini sebagian besar berakhir di TPA yang tersebar di Indonesia.
Hadirnya TPA setidaknya dapat mengurangi timbulan-timbulan sampah yang berserakan di jalanan. Sebagian besar Kota dan Kabupaten di Indonesia memiliki TPA yang akan menampung limbah padat yang dihasilkan oleh rumah tangga, perkantoran, pasar, dan lain sebagainya. Pengolahan yang diterapkan dalam pengolahan sampah di TPA menggunakan metode open dumping yang masih memiliki banyak kekurangan, namun metode ini terhitung lebih ekonomis dan efisien dalam mengolah sampah secara sederhana. Sehingga secara aturan tertuang pelarangan ­Open Dumping yang merujuk pada larangan pembuangan sampah di tempat terbuka tanpa pengelolaan yang memadai, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban untuk menutup TPA (Tempat Pengelolaan Akhir) yang menerapkan sistem open dumping dan beralih ke metode yang lebih baik seperti sanitary landfill atau controlled landfill, khususnya termaktub pada Pasal 29 dan 44. Kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga. Dan apabila daerah yang tidak mematuhi aturan pelarangan open dumping dan tidak melakukan perbaikan sistem pengelolaan sampah dapat dikenai sanksi administratif, seperti paksaan pemerintah, hingga sanksi pidana
Ada beberapa TPA yang mendapat perhatian bahkan sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, salah satunya untuk TPA Kopi Luhur Kota Cirebon. Sanksi itu diberikan tenggat waktu 180 hari dan atau kurang lebih 6 (enam bulan) sejak surat sanksi dilayangkan. Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon langsung mendapat respon dari beberapa aktivis dan masyarakat Cirebon yang tergabung dalam Gugatan Rakyat Cirebon (GRC), yang dalam tuntutannya memiliki beberapa konsentrasi, yakni pertama mendesak Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon untuk membuat kebijakan terkait pengelolaan TPA Kopi Luhur dan penyelesaian konkret bagi masyarakat sekitar, kemudian tuntutan kedua mengevaluasi kinerja Pemkot Cirebon, mengusut dan mengadili jajaran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon yang bertanggung jawab untuk tidak merotasi/mutasi bahkan mempromosikan jabatan mereka sebelum masalah diselesaikan, dan terakhir adalah mendesak Pemkot Cirebon untuk segera merealisasikan visi – misi serta program kerja yang telah dijanjikan kepada rakyat.
Saya melihat bahwa tuntutan ini realistis sebagai salah satu bentuk “Gerakan Moral” yang memang diinisiasi oleh kaum intelektual seperti kawan-kawan mahasiswa dan elemen masyarakat, yang mana menjadi tanggung jawab sosial dalam bentuk pengabdian terhadap masyarakat. Seperti kutipan buku Madilog karya Tan Malaka sampaikan bahwa “bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”.
Dinamika gerakan moral selalu diiringi “aroma politis” yang entah dihembuskan atau memang sejarah berulang, akan tetapi saya masih meyakini dan percaya bahwa segala sesuatu yang benar pasti menghasilkan kebaikan bersama. Khususnya dalam hal pengelolaan TPA Kopi Luhur Kota Cirebon yang selama ini dijadikan komoditi politik serta masyarakat menjadi objek politik lima tahunan, yang sudah saatnya bangun dari iming-iming dan atau bergerak demi merubah tatanan yang selama ini dianggap mati suri. Pemkot Cirebon dan DLH pun seharusnya open mind set dalam menghadapi persoalan ini, bukan menganggap sebuah ancaman sebab di dalam jabatan disertai tanggung jawab besar. Ataukah ada “Gate of Secret ?? Entahlah.
Akhirnya, apabila kondisi terus dibiarkan, tumpukan-tumpukan sampah akan menjadi “monster sampah” yang siap menyerang lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pemerintah, masyarakat, dan stakeholder lain semestinya menaruh perhatian besar dengan permasalahan TPA Kopi Luhur ini. Paradigma yang tegas dibutuhkan dengan metode pengolahan sampah yang efektif dan efisien (sanitary landfill – controlled landfill), serta kerjasama yang kompak dari semua pihak menjadi modal besar dalam memperbaiki TPA Kopi Luhur Kota Cirebon.***

Related Articles

Back to top button