CirebonRaya

Penanganan Kompleks Makam Sunan Gunung Jati, Antara Ketegasan dan Kearifan

KUNJUNGAN Bupati Cirebon H. Imron bersama Forkopimda dan Polres Cirebon Kota ke Kompleks Makam Sunan Gunung Jati patut diapresiasi sebagai langkah nyata pemerintah dalam merespons keresahan masyarakat. Sudah lama kawasan religi ini dikeluhkan peziarah karena keberadaan pengemis yang memaksa meminta sedekah, pengamen liar, hingga kotak-kotak amal yang tidak jelas pengelolaannya.

Langkah ini menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap marwah kawasan ziarah yang menjadi ikon spiritual Cirebon dan destinasi utama wisata religi nasional. Penertiban ini bukan hanya soal ketertiban fisik, tetapi juga soal menjaga nilai-nilai religius, kesakralan budaya, dan kenyamanan spiritual para peziarah.

Namun, tajamnya perhatian publik tidak berhenti pada tindakan represif. Budayawan lokal, seperti H. Sulama Hadi, mengingatkan bahwa penertiban tidak boleh sekadar menjadi rutinitas tahunan atau formalitas musiman. Tanpa keterlibatan penuh dari Kraton Kanoman, sebagai pemegang otoritas adat dan budaya di area tersebut, penataan hanya akan bersifat sementara. Pengemis akan kembali, kotak liar akan muncul lagi, dan wajah kota wali kembali tercoreng.

Di sisi lain, Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Cirebon secara jujur menyatakan keterbatasan kewenangan pemerintah daerah di kawasan makam. Mereka menyebutkan bahwa makam berada di bawah otoritas keraton, dan karena itu banyak keputusan strategis bergantung pada kesiapan internal keraton untuk berbenah. Bahkan disebutkan bahwa transaksi kotak amal di Sunan Gunung Jati adalah yang paling parah di antara sembilan situs wali ziarah di Indonesia.

Dari sini, terlihat bahwa persoalan di kawasan Sunan Gunung Jati tidak sesederhana razia pengemis. Ia adalah simpul masalah yang melibatkan kepentingan adat, pengelolaan ekonomi informal, lemahnya tata kelola budaya, serta minimnya transparansi lembaga adat. Maka penyelesaiannya pun harus bersifat komprehensif dan multisektor.

Pemerintah daerah, Forkopimda, dan instansi keamanan telah menunjukkan langkah awal yang baik. Namun ini belum cukup. Pemerintah harus berani mendorong dialog terbuka dengan pihak Kraton Kanoman, merumuskan tata kelola bersama yang mencakup zona-zona pengelolaan, alur sumbangan resmi, dan perlindungan terhadap nilai spiritual makam.

Selain itu, pembinaan sosial dan ekonomi terhadap warga lokal juga penting dilakukan. Penertiban yang tidak dibarengi dengan solusi ekonomi akan mendorong kemiskinan dan eksploitasi kembali terulang. Pengemis bukan hanya perlu ditertibkan, tetapi diarahkan, dibina, dan diberi alternatif yang lebih manusiawi.

Ziarah adalah jalan spiritual. Maka kawasan ziarah harus mencerminkan ketenangan, bukan kekacauan. Ini adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, keraton, masyarakat, dan seluruh elemen yang mencintai Cirebon sebagai Kota Wali.***

Related Articles

Back to top button