Opini

Ambivalensi Moral Dalam Pusaran Kekuasaan

Oleh: Syarifuddin
Pemerhati Praktik Komunikasi Politik

“Dalam politik tak ada moral. Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah. Kadang-kadang saat ini tiba, seperti dalam revolusi terdahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan ke lumpur ini”.
Kalimat-kalimat di atas tertulis di catatan harian Soe Hok Gie bertarikh 16 Maret 1964. Kalau diperhatikan, konteks sejarah yang melingkupi pikiran Gie ketika itu tentu saja soal semakin menguatnya kekuatan politik Presiden Sukarno pada pertengahan 1960-an. Dalam kegeraman pada hegemoni Sukarno kala itu, Gie dan beragam lokomotif gerakan mahasiswa masih memiliki kesadaran bahwa sulit meruntuhkan kekuasaan Presiden Sukarno tanpa kekuatan politik lain.
Aliansi dengan kekuatan politik anti-Sukarno faktanya memang berguna bagi gerakan mahasiswa kala itu untuk meruntuhkan kekuasaan Sukarno. Sukarno akhirnya jatuh. Namun, Gie sama sekali tidak merasa lega. Gie justru menangkap sinyal lain berupa tendensi fasistis setelah era Sukarno. Selanjutnya, sikap Gie semakin jelas terhadap pemerintahan Orde Baru. Kritik-kritik pedasnya tidak pernah surut menghantam tembok kokoh Orde Baru.
Ambivalensi adalah keadaan memiliki perasaan, keyakinan, atau sikap yang saling bertentangan secara bersamaan terhadap suatu objek, orang, atau situasi. Kembali pada catatan Gie di atas, tampak jelas ada ambivalensi Gie terhadap politik. Gie menciptakan paradoks yang kentara ihwal politik; kejijikan dan keharusan. Dari tepian “lumpur politik”, Gie menjadi subjek yang enggan masuk tetapi sadar kadang harus melangkah.
Gie tegas menyebut politik sebagai “barang paling kotor” sebagai ekspresi kemuakan pada praktik politik yang manipulatif. Di sisi lain, Gie sebagai seorang intelektual sejati menyadari bahwa akan selalu ada titik ketika seseorang tidak dapat lagi menghindar dan harus terlibat secara aktif demi perubahan.
Dari catatan Gie, kita dapat membaca bahwa Gie sama sekali tidak membenci politik dalam artian ideologis. Gie membenci kemunafikan, tipu daya, dan banalitas kekuasaan yang diselimuti oleh kata dan jargon yang membius. Titik ini yang akan selalu relevan sepanjang lini masa kehidupan politik negara ini; saat kekuasaan tampil seperti pertunjukan dan moral hanya menjadi properti politik elektoral.
Fakta praktik dan kehidupan politik yang semacam itu melahirkan apatisme politik dari beberapa kalangan. Enggan untuk terlibat dalam hajat politik (golput dalam pemilu) dan tidak begitu mengikuti perkembangan kebijakan politik hanya sedikit contoh dari apatisme itu. Secara lebih ekstrem, politik kadung dianggap urusan para penjilat dan oportunis yang hanya sibuk urusan berbagi panggung tanpa substansi yang berdampak bagi masyarakat.
Apatisme semacam itu tentu saja tidak dibenarkan. Sejarah telah mengingatkan bahwa yang menjauh dari politik, tetap akan menjadi korban kebijakannya. Hannah Arendt pernah menulis bahwa kejahatan terbesar tidak selalu lahir dari monster-monster bengis, tetapi justru dari manusia biasa yang memilih tidak berpikir. The banality of evil—itulah istilah Arendt—adalah wajah kekuasaan yang bekerja lewat rutinitas birokrasi tanpa kesadaran moral. Kerusakan yang ditimbulkan tidak menciptakan ledakan tetapi merayap perlahan hingga hancur seutuhnya. Dan di sinilah ironi kita: diam bisa berarti memberi ruang bagi kejahatan politik untuk bekerja dalam senyap.
Lalu bagaimana caranya terlibat tanpa menjadi bagian dari kebusukan itu?
Jawaban atas pertanyaan tersebut mungkin dapat ditemukan pada pernyataan Antonio Gramsci dalam suratnya (Desember 1929) “I’m a pessimist because of intelligence, but an optimist because of will”. Pernyataan ini sering diperpendek menjadi slogan “pesimisme akal, optimisme kehendak”.
Gramsci tahu bahwa akal sehat akan selalu menunjukkan keterbatasan politik sebagai ruang yang dikendalikan oleh elite. Karenanya, realitas dan idealisme politik tidak dapat diubah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, justru karena itu, kehendak tidak boleh padam. Harapan harus terus bekerja, meskipun akal memberitahu bahwa jalannya panjang dan terjal.
Kerumitan politik dengan segala bentuk jebakannya adalah wahana yang sepatutnya pula strategis. Rasa muak pada beragam praktik politik yang negatif disadari atau tidak adalah bentuk bahwa nurani kita sebagai manusia masih bekerja. Namun, rasa muak saja tidak cukup. Rasa muak harus diolah menjadi keberanian, harus diolah menjadi kesediaan untuk tetap berpikir di tengah keriuhan politik penuh citra bohong, dan harus diamplifikasi dengan menulis, berbicara, mengkritik, dan jika perlu terjun.
Baru-baru saya bertanya; memangnya ada yang berani muak terhadap politik? memangnya ada yang sempat merasa jijik pada politik? Berapa banyak pihak yang mendapat keuntungan bahkan hidup dari praktik politik yang penuh akrobat sampai kehilangan otentisitas. Sampai-sampai, kita sendiri bingung menentukan kebaikan murni atau kebaikan untuk kepentingan algoritma media sosial.
Berhentinya daya akal dalam menganalisis kemurnian politik sebatulnya dapat diukur secara sederhana. Kalau kita sudah sampai mewajarkan praktik-praktik penyalahgunaan politik untuk kepentingan segelintir golongan, itu adalah gejala awal dari matinya daya akal. Misalnya, kalau kita anggap “politik dinasti” (dengan alasan apapun) sebagai kewajaran, maka bisa jadi kita sedang dengan senang hati mematikan akal politik kita. Sebab, politik yang seharusnya menjadi ruang pengabdian tidak boleh diperlakukan seperti ladang keluarga; tertutup, eksklusif, dan hanya untuk yang “satu darah”. Nah, politik semacam itu adalah lumpur yang kotor. Namun bedanya, kini banyak yang berenang dengan sukacita di dalam lumpur itu, sambal berswafoto dan membagikannya sebagai pencapaian.
Oleh sebab itu, menurut saya, mengawinkan daya akal dan daya hasrat adalah pekerjaaan panjang yang pasti sulit dan membutuhkan keteguhan hati yang paripurna. Diri kita harus dibekali semacam rem moral yang harus selalu siap sedia. Sebab, tanpa itu, kita hanya akan berlomba-lomba menjadi bagian dari sistem tanpa pernah bertanya “apakah sistemnya sedang sakit?”
Ingat, kita punya aktivis yang dulunya lantang, kini justru berada di lingkar kekuasaan dan gemar membungkam kritik. Kita juga tidak pernah kekurangan akademisi yang fasih bicara soal integritas, tetapi tidak sedikit yang menjual otoritas ilmiahnya untuk beberapa jenis kepentingan politik.
Namun, tentu tidak semuanya begitu. Masih ada yang bertahan. Masih ada birokrat jujur yang menolak suap walau tahu risikonya tidak sederhana. Masih ada jurnalis yang tetap menulis fakta meski dikriminalisasi. Masih ada mahasiswa yang memilih mengorganisasi desa, bukan sekadar membuat konten untuk viral. Masih ada warga biasa yang menolak uang seratus ribu demi menjaga suara. Mereka ini yang harus terus kita rayakan. Mereka ini yang diam-diam sedang menyelamatkan makna politik itu sendiri—bukan dalam slogan, tetapi dalam tindakan kecil yang jujur.
Ya, tindakan kecil yang jujur adalah nyala lilin kecil yang tidak boleh padam di setiap hati masyarakat Indonesia; di setiap hati yang masih memiliki kesadaran politik. Kembali pada ambivalensi politik yang disiratkan oleh Gie, kita tentu harus sepakat bahwa diam terhadap politik adalah bahaya. Oleh sebab itu, kita harus mencari formula keterlibatan politik yang bermartabat. Kita tidak perlu menjadi calon legislatif. Kita tidak mesti berorasi dan turun ke jalan setiap pekan. Namun, setidaknya kita tidak boleh buta, tidak boleh pura-pura tuli, dan tidak lupa membaca ulang siapa yang hari ini sedang duduk di beragam singgasana kekuasaan dan bagaimana mereka semua sampai di sana.
Dalam konteks politik dan keterlibatan politik hari ini, tampaknya kita tidak boleh terlalu fokus pada siapa yang terpilih, tetapi bagaimana secara konsisten kita dapat menjaga jarak sadar dari kultus individu. Kita harus menggunakan hak politik dengan memilih, tetapi tidak untuk menyembah. Kita harus dapat menjaga hak untuk berkata “tidak” ketika fakta politik memang memiliki kecenderungan negatif. Sebab, politik tanpa etika hanya akan melahirkan elite tanpa jiwa; dan warga tanpa kesadaran politik hanya menjadi angka statistik lima tahunan.
Apalagi, konstelasi politik hari ini menyeret siapapun untuk mau menerima kedangkalan-kedangkalan yang diglorifikasi. Kesuksesan komunikasi politik diukur dari jumlah like, trending topic, dan viralitas. Maka, politik hari ini memang cenderung hanya menjadi komoditas tontonan, bukan ruang percakapan. Pertarungan ide mulai digantikan oleh saling sindir di media sosial. Perdebatan publik direduksi mendai gimmick murahan. Sebuah kritik dianggap serangan, sedangkan pujian menjadi alat tukar-tambah.
Melalui tulisan pendek ini, saya ingin mengingatkan kita semua bahwa kekuasaan berjalan dengan segala infrastrukturnya. Siapapun yang ada di dalam pusaran kekusaaan akan sangat senang memakain infrastruktur tersebut. Namun, kesadaran berjalan sendiri sambil memikul beban masa depan yang selalu menjadi misteri. Percayalah, sejarah tidak pernah dibangun oleh mereka yang hanya duduk manis di balik meja kekuasaan. Sejarah juga dibentuk oleh mereka yang berani menjaga jarak, mempertahankan kebeningan akal sehat, dan menolak tunduk pada atmosfer ketakutan.
Ambivalensi adalah bagian dari manusia. Dan dalam politik, barangkali ambivalensi moral adalah posisi paling jujur. Kita boleh kecewa, boleh ragu, boleh menghindar sesekali. Namun, berpolitik tetap harus paralel dengan berbagai upaya menjaga nilai. Sebab pada akhirnya, politik bukan soal seberapa besar kuasa yang diraih, tetapi seberapa besar ruang hidup yang bisa dijaga agar tetap bermoral.
Politik bukan hanya soal menang-kalah, tetapi tentang siapa yang tetap bisa memandang cermin tanpa merasa malu. Itulah yang dimaksud Gramsci dengan optimisme kehendak. Bahwa meskipun akal memberitahu kita bahwa politik adalah lumpur, hati harus tetap berani turun dengan membawa sapu. Bukan untuk membersihkan semuanya sekaligus, tetapi cukup untuk membuka jalan bagi yang lain agar berani melangkah, dengan kepala tegak dan hati waras.***

Back to top button