Ruang Publik Bukan Asbak Raksasa

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon
Gaya hidup sehat kini makin jadi pilihan banyak orang. Kita bisa melihat bagaimana masyarakat mulai rajin berolahraga pagi, lebih sadar soal asupan makanan, dan mulai mengurangi konsumsi gula. Meski demikian, di tengah semangat hidup bersih dan bugar itu, kebiasaan merokok di ruang publik masih terus dianggap biasa. Area seperti taman, angkot, halte, jalan raya, ruang perkantoran atau pelayanan publik, tablig akbar hingga area terbuka lainnya seolah-olah menjadi asbak raksasa, di mana asap rokok bebas mengepul dan mengabaikan hak orang lain untuk menghirup udara bersih.
Melihat masih banyaknya orang yang merokok di area publik, ini menandakan adanya kesenjangan antara pemahaman publik dan implementasi perlindungan hak atas udara bersih. Masalah ini memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih tegas dan berpihak pada kesehatan bersama.
Penulis menyaksikan sendiri bagaimana kebiasaan merokok di ruang publik membawa dampak yang merugikan banyak pihak. Persoalan ini tak bisa lagi dianggap ringan, karena menyangkut kesehatan orang banyak dan menyentuh ranah hak dasar setiap manusia untuk hidup dalam lingkungan yang aman. Kita tak boleh terus membiarkan kebiasaan semacam ini dianggap biasa. Dampaknya tak berhenti di bau tak sedap atau abu berserakan, tapi menjalar pada gangguan paru-paru, infeksi pernapasan, bahkan kematian dini yang seharusnya bisa dicegah.
Kita perlu jujur bahwa merokok di tempat umum masih menjadi gangguan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Banyak dari kita pernah menahan napas atau mempercepat langkah hanya untuk menghindari kepulan asap yang datang dari kerumunan perokok. Anak-anak pun kerap terbatuk karena udara yang tercemar oleh rokok yang dibakar sembarangan.
Di banyak negara maju, kebiasaan ini sudah tak lagi diterima, bahkan dilarang oleh hukum. Tapi di negeri kita sendiri, kebiasaan tersebut masih sering dibiarkan, seolah-olah semua orang telah terbiasa untuk tidak peduli.
Bahaya asap rokok pasif, atau yang dikenal sebagai secondhand smoke, kerap luput dari perhatian atau sengaja diacuhkan. Ini bukan sekadar mitos atau gangguan sepele. Asap yang ditimbulkan dari rokok mengandung lebih dari 7.000 zat kimia, dengan setidaknya 250 di antaranya terbukti berbahaya, dan lebih dari 69 diketahui dapat memicu kanker. Artinya, meski tidak merokok, seseorang tetap berisiko menghirup racun mematikan yang sama seperti yang masuk ke tubuh perokok.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat mengkhawatirkan. Diperkirakan setiap tahun, sekitar 1,2 juta kematian prematur di seluruh dunia disebabkan oleh paparan asap rokok pasif. Angka ini jauh lebih tinggi dari angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas di banyak negara. Di Indonesia sendiri, riset menunjukkan jutaan orang terpapar asap rokok pasif setiap harinya, dan kelompok yang paling rentan adalah anak-anak, ibu hamil, dan lansia.
Anak-anak, dengan sistem pernapasan dan kekebalan tubuh yang masih berkembang, menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak asap rokok pasif. Paparan tersebut dapat memicu gangguan kesehatan serius seperti ISPA, asma, pneumonia, infeksi telinga, hingga sindrom kematian bayi mendadak atau Sudden Infant Death Syndrome (SIDS). Tak hanya fisik, bahaya ini juga merambat ke sisi mental, seperti risiko masalah perilaku dan kesulitan belajar meningkat secara signifikan.
Penghentian normalisasi perilaku merokok di ruang publik memerlukan beberapa langkah konkret. Pertama, penegakan hukum harus lebih tegas. Regulasi tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sudah ada di banyak daerah, tetapi implementasinya masih lemah. Perlu ada sosialisasi yang masif dan sanksi yang jelas bagi pelanggar. Tanpa penegakan yang konsisten, kebijakan hanya akan menjadi dokumen administratif tanpa efektivitas di lapangan.
Kedua, pendidikan dan kampanye publik yang berkelanjutan. Masyarakat perlu terus-menerus diingatkan tentang bahaya asap rokok pasif dan hak mereka untuk lingkungan bebas asap. Kampanye harus didesain untuk menyentuh hati nurani perokok dan memberdayakan non-perokok untuk menyuarakan hak mereka tanpa rasa takut atau canggung.
Ketiga, peran aktif komunitas dan individu. Masyarakat harus berani menegur dengan santun, meminta perokok untuk menjauh atau memadamkan rokoknya di area publik. Ini bukan tindakan konfrontatif, melainkan upaya melindungi diri dan orang lain. Gerakan dari bawah, dari individu ke individu, akan sangat efektif dalam membangun budaya baru.
Melarang orang merokok secara total tentu bukan langkah yang realistis. Merokok merupakan pilihan personal, dan selama tidak merugikan orang lain, hak itu patut dihormati. Persoalan muncul ketika kebebasan pribadi mulai mengancam kesehatan dan hak orang lain di sekitarnya. Di titik inilah, batas toleransi harus ditegakkan secara tegas. Ruang publik seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi semua orang, bukan zona eksklusif bagi perokok.
Kita juga perlu melihat ini sebagai investasi jangka panjang dalam kesehatan generasi mendatang. Dengan menciptakan lingkungan yang bebas asap, kita tidak hanya melindungi mereka dari penyakit mematikan, tetapi juga memberikan contoh positif tentang pentingnya menjaga kesehatan dan menghormati hak sesama.
Perubahan cara pandang terhadap isu rokok pasif membutuhkan keterlibatan semua pihak. Pemerintah daerah, lembaga kesehatan, organisasi masyarakat sipil, dan individu memiliki tanggung jawab untuk mendorong pergeseran sikap publik. Sudah saatnya kita beranjak dari ungkapan lunak seperti “mari kita coba kurangi” menuju sikap tegas bahwa “ini sebuah keharusan.” Demikian pula, toleransi yang selama ini tersembunyi dalam ucapan “tidak apa-apa” harus digantikan dengan kesadaran bahwa “ini tidak dapat diterima.”
Mengakhiri normalisasi merokok di dekat non-perokok perlu dilihat sebagai langkah kemanusiaan yang nyata. Ruang publik bukan asbak raksasa. Sudah saatnya kita menjaga udara tetap bersih, menghargai kehidupan, dan melindungi mereka yang paling rentan. Setiap orang berhak menghirup udara tanpa dipaksa menelan racun yang tak mereka pilih. Kesehatan harus jadi prioritas, dan napas bersih layak diperjuangkan bersama.***