Ragam

Mendidik di Luar Kelas

KEBIJAKAN Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, yang membolehkan pelaksanaan study tour bagi siswa SD dan SMP di tengah pelarangan dari tingkat provinsi, menjadi langkah berani sekaligus reflektif.

Di tengah perdebatan antara keselamatan, efektivitas belajar, dan dampak ekonomi, muncul sikap yang tidak hanya mengedepankan kepentingan siswa, tetapi juga membuka ruang dialog antar-kebijakan yang sering kali timpang dalam pelaksanaannya.

Prinsip yang diusung Wali Kota, bahwa study tour adalah sarana pembelajaran yang tak tergantikan di dalam kelas, layak dipahami lebih dalam. Dalam konteks pendidikan modern, pengalaman lapangan merupakan komponen penting dari pembelajaran kontekstual.

Dunia luar bisa menjadi laboratorium hidup yang memberikan siswa wawasan, empati, dan pengalaman langsung yang tidak dapat diperoleh hanya dari buku teks atau layar proyektor.
Namun demikian, kelonggaran ini tidak boleh serta-merta dimaknai sebagai lampu hijau untuk kembali ke praktik-praktik lama, jalan-jalan berlabel edukatif yang minim substansi.

Sebagaimana ditekankan Edo, perencanaan matang, rambu-rambu yang jelas, serta muatan pembelajaran yang konkret harus menjadi prasyarat. Tanpa itu semua, study tour akan kembali menjadi beban, bukan manfaat, baik bagi siswa maupun sekolah.

Dari sisi lain, pelarangan total seperti yang dilakukan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memang lahir dari niat baik. Yakni, menekan potensi penyimpangan, menjaga keselamatan, serta mencegah praktik pungutan yang membebani orang tua.

Namun, pelarangan menyeluruh tanpa memberi alternatif dan solusi jelas justru dapat menimbulkan efek samping yang tidak kalah serius.

Seperti disampaikan pelaku industri wisata edukatif, pelarangan itu mematikan roda ekonomi sektor pariwisata yang selama ini bersandar pada kunjungan pelajar. Ekosistem belajar dan ekosistem ekonomi lokal turut terdampak.

Oleh karena itu, solusi bukanlah pelarangan total, melainkan penguatan tata kelola. Jika akar masalahnya adalah lemahnya kontrol dan akuntabilitas dalam pelaksanaan study tour, maka yang perlu dibenahi adalah sistem perencanaan, pengawasan, serta transparansi anggaran dan tujuan. Jangan karena segelintir tikus, seluruh rumah dibakar habis.

Langkah Pemerintah Kota Cirebon patut diapresiasi, namun tetap perlu pengawalan. Jangan sampai sikap terbuka ini justru dimanfaatkan oleh oknum penyelenggara yang menjadikan study tour sebagai ladang proyek.

Harapan kita, pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai transfer ilmu dalam kelas, tetapi juga pengalaman hidup yang membentuk karakter siswa di luar kelas—dengan tetap menjunjung akuntabilitas, keamanan, dan kejujuran.***

Related Articles

Back to top button