Budaya Cirebon Bisa Punah Tanpa Regenerasi
Ki Dalang Mansyur: Mumpung Masih Ada Orang Tua, Silakan Berguru

BUDAYAWAN Ki Dalang Mansyur menyampaikan pesan penting terkait pelestarian budaya kepada generasi muda. Saat ditemui di kediamannya di Desa Gegesik Kidul, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap menurunnya minat anak muda terhadap budaya daerah.
Menurutnya, di tengah gempuran modernisasi, peluang untuk merawat dan meneruskan warisan leluhur masih terbuka lebar asal ada kemauan. Fenomena globalisasi dan perkembangan teknologi menyebabkan pergeseran minat generasi muda. Mereka lebih akrab dengan budaya luar daripada warisan lokal.
Ki Dalang menilai, bila tidak ada upaya regenerasi, banyak unsur budaya bisa punah. Perubahan zaman memang tak bisa ditolak, namun budaya tidak seharusnya ditinggalkan. Justru, tantangan zaman menjadi alasan penting untuk memperkuat identitas kultural bangsa.
“Saya mengharapkan minat anak muda untuk melestarikan budayanya masing-masing,” ujar Ki Dalang saat ditemui dalam suasana santai penuh kehangatan.
Ia percaya, budaya tidak akan bertahan tanpa keterlibatan generasi muda. Minat itu menjadi kunci awal agar mereka mau belajar, menghayati, lalu meneruskan warisan budaya yang ada di lingkungannya.
“Mumpung masih ada orang tua, silakan berguru. Kami juga dulu belajar dari orang tua,” tutur Kidalang.
Bagi Ki Dalang, sumber pengetahuan budaya yang paling otentik justru masih ada di tengah masyarakat, khususnya para sesepuh. Jika kesempatan ini tak dimanfaatkan, maka berbagai nilai luhur, teknik tradisional, dan kisah budaya bisa hilang tanpa sempat diwariskan.
Tak hanya soal pelestarian, Ki Dalang juga memberi ruang bagi anak muda untuk berinovasi. “Kreasi baru seniman muda silakan dihargai dan dikembangkan,” tuturnya.
Namun demikian, lanjutnya, inovasi tersebut tetap berpijak pada akar budaya. Jika dilakukan dengan kesadaran nilai, karya baru justru bisa menjadi jembatan budaya agar tetap hidup dan berkembang dalam konteks zaman modern.
Ki Dalang Mansyur juga bersyukur karena belum lama ini, pagelaran budaya Saptawara bisa ditampilkan di Alun-alun Gegesik. Tradisi yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat Cirebon itu, digelar dengan penuh khidmat dan antusiasme warga dari tanggal 11 hingga 16 Juli 2025.
Saptawara adalah sebuah tradisi pagelaran wayang yang telah menjadi elemen penting dalam budaya masyarakat Gegesik sejak tahun 1974. Tradisi ini digagas Ki Dalang Mansur serta seniman lokal lainnya, yang bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus melestarikan seni pedalangan khas daerah Gegesik.
Pertunjukan saptawara tidak hanya berfungsi sebagai hiburan seni, namun juga sebagai cara untuk memperkuat hubungan persaudaraan dan melestarikan tradisi leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dari segi filosofi, Saptawara menyimpan makna spiritual dan sosial yang menyoroti betapa pentingnya hidup harmonis, saling mendukung, dan juga menghargai tradisi serta norma-norma masyarakat.
Suasana pagelaran diselimuti kehangatan kebersamaan, iringan gamelan, dan interaksi antara dalang dan penonton yang membuat tradisi ini tetap hidup serta berkembang meskipun di tengah perubahan zaman.
Pagelaran Saptawara digelar di beberapa tempat. Yakni, Alun-alun Gegesik, Alun-alun Jagapura, Balai Desa Slendra, dan Sibubut. Tempat-tempat tersebut berfungsi sebagai titik fokus untuk kegiatan budaya yang menggabungkan masyarakat dan wisatawan dalam suasana yang hangat dan penuh makna.
Saptawara di Gegesik Kidul tidak hanya menghadirkan pertunjukan wayang kulit, namun juga dimeriahkan dengan prosesi seni lainnya yang unik, seperti tari topeng yang memukau penonton dengan gerakan serta kostum tradisionalnya.
Tari topeng ini tidak hanya menjadi pembuka tetapi juga pengiring pertunjukan wayang, yang menambah keindahan serta arti dari ritual budaya yang dilakukan. Di samping itu, pertunjukan juga dipenuhi dengan alunan gamelan dan interaksi antara dalang dan penonton, menciptakan suasana yang ceria dan bermakna.
Konsep Saptawara menekankan betapa pentingnya memelihara keharmonisan dalam kehidupan, kebersamaan, serta penghormatan terhadap tradisi dan nilai-nilai mulia yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun.
Lewat pertunjukan wayang kulit dalam acara Saptawara, penonton menerima pesan moral yang dalam tentang kejujuran, kesabaran, dan keadilan dengan cara yang lembut. Tradisi ini juga menekankan pentingnya menjaga hubungan antarwarga dan menghormati norma sosial sebagai dasar untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis.
Di era modern Saptawara menghadapi tantangan berupa menurunnya minat dari anak muda dan kompetisi dengan hiburan digital. Namun, sangat penting bagi komunitas untuk turut berperan serta dan melibatkan generasi muda dalam mempertahankan tradisi ini. Bantuan dari pemerintahan dan lembaga kebudayaan juga berkontribusi melalui acara dan promosi budaya lokal.
Masyarakat Gegesik berharap agar tradisi Saptawara dapat terus ada dan menjadi warisan budaya yang hidup di setiap generasi. Acara ini memperkuat identitas budaya lokal, meningkatkan rasa kebersamaan, dan menumbuhkan kebanggaan masyarakat terhadap kearifan dari nenek moyang. Dengan dukungan dari semua pihak, termasuk warga, generasi muda, dan pemerintah, Saptawara bisa terus berkembang dan menjadi lebih terkenal.(Lif)