Jeritan Pelaku Pariwisata

GELOMBANG protes ribuan pelaku usaha jasa pariwisata di Gedung Sate, Bandung, menjadi potret nyata bahwa kebijakan publik, betapapun bertujuan mulia, tidak pernah lepas dari dampak sosial dan ekonomi yang menyertainya.
Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang melarang kegiatan study tour sekolah menuai reaksi keras. Bukan dari pihak sekolah, melainkan dari sektor yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas tersebut, industri pariwisata.
Dari sisi Gubernur, kebijakan ini jelas berpihak pada aspirasi orang tua siswa yang merasa terbebani dengan biaya study tour. Argumentasinya masuk akal, aktivitas tersebut sering kali bergeser dari esensi edukatif menjadi kegiatan rekreasi mahal yang tidak relevan dengan pembentukan karakter maupun peningkatan kualitas pendidikan. Di tengah tekanan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, mengurangi pengeluaran yang tidak esensial merupakan langkah berani dan populis.
Namun demikian, suara pelaku usaha pariwisata tidak bisa begitu saja disingkirkan. Sektor ini menampung ribuan pekerja formal dan informal di Jawa Barat, mulai dari sopir bus, agen perjalanan, pemandu wisata, hingga pelaku UMKM yang menggantungkan penghasilan pada kunjungan rombongan pelajar. Sebagian dari mereka, kini mengaku kehilangan pendapatan drastis, bahkan harus beralih profesi demi bertahan hidup.
Gubernur Dedi Mulyadi menyampaikan, dunia pariwisata harus tumbuh dari konsumen yang memang memiliki daya beli, bukan bergantung pada “paksaan sosial” anak sekolah untuk ikut piknik. Itu adalah pesan penting. Namun, perubahan paradigma semacam ini perlu dilakukan secara bertahap dan dengan pendampingan konkret, bukan sekadar larangan mendadak.
Di sinilah letak tantangannya, bagaimana pemerintah bisa tetap melindungi masyarakat dari tekanan biaya pendidikan tanpa sekaligus mematikan satu sektor ekonomi? Larangan tanpa solusi alternatif berpotensi menciptakan pengangguran baru dan memperbesar ketimpangan.
Daripada sepenuhnya melarang, opsi untuk mengatur ulang model study tour bisa menjadi jalan tengah yang lebih solutif. Pemerintah dapat mengeluarkan regulasi ketat soal waktu, lokasi, durasi, dan anggaran kegiatan agar tetap terjangkau dan berorientasi pada pembelajaran.
Di sisi lain, pelaku usaha pariwisata pun dituntut untuk berinovasi, menyediakan paket wisata edukatif yang terjangkau, atau merambah pasar di luar lingkungan sekolah.
Perubahan adalah keniscayaan. Tapi setiap perubahan kebijakan mesti dirancang dengan peta dampak yang matang dan komunikasi yang terbuka. Pemerintah tidak cukup hanya menyampaikan niat baik, namun juga perlu hadir memberi arah transisi yang adil bagi semua pihak yang terdampak.
Kebijakan publik harus berpijak pada kepentingan rakyat banyak, tapi juga jangan melupakan realitas ekonomi di lapangan. Larangan study tour yang dimaksudkan untuk meringankan beban pendidikan adalah niat baik yang patut dihargai. Namun, menutup mata terhadap jeritan para pekerja pariwisata bisa menciptakan masalah baru yang tak kalah serius.
Sudah saatnya kita berhenti melihat pendidikan dan pariwisata sebagai dua dunia yang terpisah. Dengan pendekatan bijak dan partisipatif, keduanya bisa berjalan beriringan, mendidik generasi, sekaligus menggerakkan roda ekonomi lokal.***